Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Teologi: Kristologi Yudaisme

Teologi: Kristologi Yudaisme

A. LATAR BELAKANG

Agama Yahudi (Yudaisme)     

Yudaisme yang ada pada awal abad masehi sebagian besar adalah hasil masa pembuangan. Pada abad sembilan sebelum masehi seluruh kerajaan utara telah beralih pada pemujaan Baal di bawah pengaruh Isebel , seorang Fenesia yang menjadi istri Ahab. Kemudian berbalik kepada ibadat Yehova berkat usaha gigih Nabi Elia. Begitu pula ibadat dalam bait-Nya di selatan ditelantarkan dan ditinggalkan dalam masa pemerintahan Manasye dan Amon pada abad ke delapan sebelum masehi, yang mendukung masuknya pengaruh dewa-dewa asing. Selama rakyat masih tinggal di Palestina, dan dikelilingi serta dipengaruhi oleh negara-negara kafir yang kuat dan jaya, mereka akan terus tergoda untuk mencoba-coba kepercayaan asing dan meninggalkan Tuhan nenek moyangnya.

Pada waktu penduduk kerajaan selatan ditawan di Babilonia itulah Yudaisme mulai terbentuk. Pemujaan terhadap berhala adalah yang mula-mula dilarang, dan mengingat pemujaan terhadap Baal dan dewa-dewi Kanaan sudah digandrungi sejak sebelum kekalahan Yerusalem, hukuman yang pahit berupa penawanan itu telah menyadarkan penduduk yang selamat untuk berpaling kepada Yehova. Semangat yang terkandung dalam kitab Daniel, dimana segala bentuk keikutsertaan dalam penyembahan berhala dicaci-maki dan di mana dikisahkan bahwa Daniel dan kawan-kawan dengan segala resiko bersumpah hanya kepada Yehova.

Dalam zaman Kristus para ahli Taurat memegang peranan penting dalam agama Yudaisme. Suatu pusat peribadatan yang baru terbentuk dengan berdirinya sinagoge. Di dalam sinagoge-sinagoge inilah mereka berkumpul untuk berdoa dan beribadat pada hari ketujuh dalam setiap minggu.  Kehidupan keagamaan di seputar sinagoge adalah suatu penyesuaian antara tata cara lama dan ibadat Yudaisme pada keadaan mereka sekarang di tempat  mereka tinggal. Pengaruh baru dari kehidupan kafir di sekeliling mereka sangat besar kekuatannya, maka ada perubahan-perubahan yang tidak terhindarkan, tetapi inti Yudaisme tetap mempertahankan prinsip-prinsip utama dari ibadat turun temurun yang berdasarkan kepada hukum Taurat dan yang diajarkan oleh para nabi.

Philo, penganut Yudaisme dari sayap Helenis mempunyai suatu konsepsi yang lebih dalam mengenai Allah. Allah itu kekal , tidak berubah, kudus, bebas dan sempurna. Konsep ini menggambarkan suatu kecenderungan ke arah depersonalisasi Allah hal mana masih bertahan dalam Yudaisme modern. Oleh karenanya, Allah menjadi sesuatu yang nyata tetapi samar-samar dan kabur karena tidak ada suatu kepastian yang dapat menjelaskan sifat dan sikapnya.

Sinagoge mempunyai peranan besar dalam pertumbuhan dan kelestarian Yudaisme. Orang-orang Yahudi berserakan mendirikan sinagoge-sinagoge di setiap kota di seluruh negara Romawi, dan sinagoge-sinagoge bangsa asing tumbuh subur di Yerusalem. Galiliea yang pada masa Makabe sebagian besar penduduknya adalah bangsa asing (1 Makabe 5:21-23), sudah dipenuhi oleh sinagoge-sinagoge pada zaman Kristus. Sinagoge berfungsi sebagai balai sosial di mana penduduk Yahudi di kota yang bersangkutan berkumpul setiap minggu untuk saling berhandai-handai. Merupakan media pendidikan untuk mendidik masyarakat dalam hukum agama dan memperkenalkan anak-anak pada kepercayaan nenek moyangnya. 

 B. PEMBAHASAN 

Arti Kata

Mesias.           

               Jadi bayangan orang Yahudi tentang sosok yang disebut Mesias itu harus seperti Musa dalam kepemimpinannya, secara spiritual dan juga kenegarawanannya. Mesias haruslah menjadi sosok yang lebih besar dari Musa sebagai pembebas, lebih besar dari Daud sebagai raja, lebih besar dari Harun sebagai imam, lebih besar dari Elia sebagai nabi, pendeknya, Mesias adalah manusia super dibanding semua manusia. Mereka berpikir seharusnya sosok Mesias itu akan memenuhi kriteria sebagai berikut:

  • Membebaskan bangsa Yahudi dari penjajahan (Romawi).
  • Mengumpulkan kembali bangsa Israel dari segala penjuru bumi.
  • Memimpin pada penyembahan pada Tuhan Allah yang benar.
  • Membawa era perdamaian.
  • Mendirikan kembali negara Israel.       

Pengharapan Mesias dalam Perjanjian Baru

I. Tokoh dan tujuan pengharapan Mesias dalam PB menurut Yahudi.      

            Jika dilihat dari kata pengharapan Mesias dalam PB, bahwa tokoh dari pengharapan Mesias adalah kedatangan dari Mesias itu sendiri. Dan itu jelas sekali sudah terpenuhi atau sudah digenapi melalui kelahiran Yesus ke dunia. Akan tetapi karena adanya pengertian yang salah mengenai Sang Mesias itu, maka bangsa Yahudi sampai sekarang masih menantikan kedatangan Mesias.

            Sebelum kehancuran Bait Suci kedua pada tahun 70 M, telah ada pelbagai aliran keagamaan Yahudi, seperti Farisi, Saduki, Eseni, dan Zelot.[1] Pelbagai aliran tersebut, kecuali Saduki, mewarisi kepercayaan mesianis yang berbeda-beda, sebab berakar dari dua tradisi mesianik masa sebelumnya. Orang-orang Eseni mempercayai akan datangnya dua orang mesias, yakni mesias imam yang berasal dari keturunan Zadok dan mesias prajurit yang merupakan keturunan Daud. Keduanya akan bekerja sama dalam memerintah umat serta membawa umat Yahudi kepada kemenangan terakhir.[2]

            Ada pula pemahaman mesianik yang mengharapkan pembebas Israel secara politis seperti sosok Daud. Pemahaman seperti ini terdapat dapat dilihat pada kaum Zelot. Karena itulah, ketika ada gerakan perlawanan bersenjata terhadap pemerintah Romawi, seringkali tokoh utamanya diyakini sebagai mesias.

            Setelah Bait Suci dihancurkan, masa Yudaisme Rabinik dimulai dengan nilai-nilai utama yang tadinya dipegang oleh kaum Farisi. Pemahaman mesianik yang berkembang saat itu adalah pengharapan mesianik berkenaan ketaatan yang keras terhadap hukum-hukum Taurat. Mereka percaya bahwa dengan mempelajari dan menaati hukum-hukum Taurat, maka kedatangan Mesias akan dipercepat.

            Pada masa-masa setelah itu, aspek penantian akan kedatangan mesias tetap bertahan hingga saat ini, walaupun bentuknya berbeda-beda. Sebagai contoh, di abad ke-5 ketika kekristenan menjadi agama negara, kaum Yahudi mengalami tekanan akibat sentimen anti-semit sehingga pengharapan akan kedatangan mesias yang akan membebaskan mereka kembali menguat. Kemudian pada abad pertengahan, kepercayaan tersebut juga masih bertahan sebagaimana terlihat di dalam butir ke-12 dari pengakuan iman yang disusun oleh Moses ben Maimon atau Maimonides. Di dalam aliran Kabalah juga terdapat kepercayaan terhadap mesias yang akan datang. Kemudian gerakan zionisme yang dimulai pada awal abad ke-20 juga didasarkan pada kepercayaan akan datangnya Mesias.[3]

II. Perjanjian Lama

Di dalam metode Perjanjian Lama, berbagai pribadi diurapi dengan minyak dan dengan cara itu mereka diasingkan untuk menduduki beberapa jabatan rohani dalam pemerintahan teokrasi. Pengurapan ini menunjukkan penugasan ilahi untuk jabatan teokrasi tertentu dan dengan demikian menunjukkan bahwa oleh pengurapan itu mereka digolongkan dalam kelompok hamba Tuhan yang khusus, dan pribadi mereka itu suci dan tidak dapat diganggu-gugat (1 Taw. 16:22). Orang yang diurapi itu dipandang sedang berpartisipasi dalam kesucian jabatannya (1 Sam. 24:6). Penggunaan mula-mula dari “Mesias“ dalam konteks mesianis adalah nyanyian Hana (1 Sam. 2:10) ketika dia berdoa, “Tuhan mengadili bumi sampai keujung-ujungnya; ia memberi kekuatan kepada raja yang diangkat-Nya dan meninggikan tanduk kekuatan orang yang diurapinya.

            PL menjelaskan mengenai pengharapan mesianik. Arti kata Meshiah-diterjemahkan dalam bahasa Yunani Khristos, arti kata Meshiah dalam PL dipakai secara luas untuk siapapun yang diurapi Allah, yaitu yang diberi panggilan dan misi istimewa oleh Allah. Istilah tersebut sering dipakai untuk raja Israel (1 Sam. 2:10, 35, 24:6, 26:9, 11, 16, 23), juga dipakai untuk imam-imam (Imamat 4:3, 5, 16, 18:12, Maz 84:10), nabi-nabi (1 Raja 19:16), bapa-bapa leluhur  (1 Taw. 16:22, Maz 105:15), bahkan dipakai untuk raja Persia Koresy Yes 45:1, yang diberi peranan sebagai agen keselamatan bagi umat Allah. Dalam Daniel 9:25 konteks Meshiah Nagiyd (Mesias Raja) dipakai sebagai terminus technicus untuk Mesias yang akan menyelamatkan umat Allah pada akhir zaman. Mesias Raja ini akan datang pada akhir zaman, ditemukan dalam Kej. 49:10, Bil. 24:17, Yes. 9:6-7. Mikha 5:2, Zakharia 9:9, Maz. 2:2, 110:1, dan ditafsirkan dalam PB sebagai Mesias-Kristus – Mat. 22:44, Mark. 12:36, Luk. 20:42, Kis. 2:34, Kis. 4:25-26. Walaupun ada beberapa ayat dalam PL menyebutkan seorang Raja yang akan datang pada akhir zaman, beberapa pasal PL menggambarkan zaman mesianis dan aktivitas Allah pada waktu itu. Contoh Yes. 26-29, 40-42, Yeh. 40-48. Dan. 12, Yoel 2:28 – 3:21. 

III. Perjanjian Baru

              Dalam Perjanjian Baru, kata Khristos dengan sangat sedikit pengecualian muncul dalam keempat injil sebagai satu nama sebutan dan bukan satu nama biasa. Di empat tempat kata itu dipakai sebagai nama biasa dalam cerita, dan hal itu masih bisa diterima. Pilatus rupanya memakai kata itu sebagai sindiran yang tajam. Sumber informasi pengharapan Mesianis orang Yahudi pada masa PB ada beberapa, yaitu Mazmur Salomo 17-18 (tahun 70-45 SM) di Yerusalem, Mesias digambarkan dengan lengkap. Tulisan Qumran – IQS 9:11, IQS 4Qpatr. 3: CDC 19:10-11, 20:1, 12:23-24, 14:19. Ada juga dalam Benediction 14 dari Shemoneh Esreh, beberapa nats dalam Targum, IV Ezra 12:32, II Bar 29:3, 30:1, I Henokh 48:10, 52:4. Tetapi relevansi pengajaran dokumen-dokumen ini terhadap kepercayaan orang Yahudi belum disetujui para penafsir karena waktu penulisannya sesudah masa PB.

              Dalam penulisan ini digambarkan bahwa Mesias adalah orang tokoh yang sangat diurapi Allah, punya hubungan sangat dekat dengan Allah, sehingga kehidupannya kudus. Ia tidak sombong, bergantung kepada Allah, penuh belas kasihan terhadap semua orang, sangat kuat dalam Tuhan sehingga kata-kata-Nya berkuasa. Jelas Ia adalah seorang tokoh yang unik, tetapi orang Yahudi tidak menyangka bahwa Ia akan menyamakan diri-Nya dengan Allah sehingga layak disebut Anak Allah.

              Dalam masa PB mula-mula, Mesias punya pelayanan yang unik, Mesias akan mengalahkan, menghukum, dan memerintah musuh-musuh bangsa orang Yahudi, sehingga bangsa Yahudi akan merdeka. Pelayanan Mesias adalah pelayanan militer, karena Ia akan menghakimi, mendisiplin, dan menyempurnakan bangsa Yahudi, kemudian membimbing serta memerintah dan memberkati sebagai umat Allah. Pemahaman ini berkembang pada masa penjajahan bangsa Yahudi, sehingga banyak orang Yahudi pada masa PB menantikan dengan sangat kedatangan Mesias. Ada unsur pengharapan itu benar, namun kurang lengkap, kurang seimbang dan kurang Alkitabiah sehingga ada tabrakan pengertian antara pengharapan Yahudi dengan pengajaran Yesus mengenai diri-Nya.

TERABAIKANNYA MESIAS ESKATOLOGIS

Selanjutnya adalah perbedaan persepsi dan tafsiran Yudaisme dengan keKristenan tentang penggenapan nubuatan-nubuatan dalam Perjanjian Lama. Sementara keKristenan dengan kokoh menerima pribadi Yesus Kristus sebagai penggenapan dari nubuatan-nubuatan dalam PL, sekokoh itu pula Yudaisme menolaknya.

Umat Yahudi, memiliki konsep tentang mesias yaitu sebuah konsep lama yang mendambakan kedatangan seorang tokoh Yahudi, yang mampu membawa bangsa Yahudi menuju pada kejayaan. Mereka berkeyakinan bahwa Mesias yang diidam-idamkan itu akan datang kemudian dan berasal dari keturunan Daud (Yeremia 23:5; 33:15). Secara harafiah, arti kata Mesias adalah “seseorang yang diurapi dengan minyak yang kudus” atau “seseorang yang ditahbiskan”. Dalam catatan-catatan Perjanjian Lama, ada banyak orang yang disebut sebagai Mesias, seperti misalnya Koresh dan Daud. Jadi bila mengingat pengharapan mesianik mereka, tentunya tidak mengherankan kalau kaum Yahudi menolak Yesus sebagai tokoh mesianik yang mereka nantikan. Dalam pemahamannya, walaupun Yudaisme memang menanti-nantikan kehadiran Mesias seperti yang banyak dinubuatkan dalam PL, namun demikian apa yang mereka nanti-nantikan adalah sosok yang sama sekali berbeda dengan yang terwujud dalam diri Yesus. 

Pengharapan akan datangnya Mesias bagi mereka adalah dalam sosok yang penuh kuasa yang akan menaklukkan dunia bagi kejayaan kerajaan Allah (Yes.4:2a, Yes.63:1, Dan.7:14). Namun yang mereka dapati dalam sosok Yesus justru adalah kelahiran di kandang domba sebagai ganti pengharapan di istana yang megah, demikian juga kehidupan sebagai anak tukang kayu sebagai ganti anak raja, bahkan siksaan dan pelecehan yang mendahului kematian-Nya sebagai ganti penaklukan dunia bagi kemuliaan kerajaan Allah dan diri mereka selaku bangsa pilihan Allah. Oleh karena itulah, maka Yudaisme menolak sosok Kristus sebagai penggenapan atas pengharapan mesianik versi mereka.

Selain itu, umat Yahudi tidak mengakui Yesus sebagai nabi ataupun mesias, karena mereka menganggap Yesus sebagai manusia yang lahir dari hasil perzinahan Maria dengan laki2, dan oleh karenanya bagi umat Yahudi, Yesus tidak pantas menjadi mesias, bahkan mereka menganggap Yesus sebagai nabi palsu hingga membunuhnya di kayu salib.

Pemahaman mesianik yang seperti demikian tentunya tidak sesuai dengan yang dimengerti dan diimani oleh orang Kristen. Yang pertama adalah pengharapan akan sosok raja yang akan datang membawa kemuliaan. Pengharapan yang demikian tidaklah sepenuhnya salah, karena pengharapan ini mengacu pada kedatangan Yesus untuk yang kedua kalinya. Seperti pada Yesaya 4 ayat 2, ayat ini merujuk secara kuat pada nubuatan akhir jaman yang akan tergenapi pada masa kerajaan seribu tahun itu. Demikian pula dengan Yesaya 63:1 dan Daniel 7:14 yang juga merujuk pada masa pemerintahan millennium, yaitu ketika Tuhan Yesus datang untuk kali kedua.

Banyak nubuatan tentang Yesus Kristus termaktub dengan cukup jelas, khususnya bila dipandang dari pernyataan Perjanjian Baru di mana penggenapannya membantu memberikan keterangan tentang isi nubuatan di dalam Perjanjian Lama itu. Namun demikian nubuatan tentang Mesias ini juga memiliki masalah-masalah tertentu seperti bentuk-bentuk nubuatan tentang Mesias yang mana sering dilihat secara horisontal dan bukannya secara vertikal. Dengan perkataan lain, walaupun urutan peristiwa dalam nubuatan itu pada umumnya dinyatakan dalam Kitab Suci, tetapi nubuatan tidak selalu memberikan jarak waktu yang mestinya ada di antara dua peristiwa besar yang disebutnya. Sebagaimana biasa dinyatakan, “puncak-puncak gunung nubuatan” dinyatakan begitu saja tanpa menyebutkan adanya lembah-lembah yang terdapat di antaranya. Oleh karena itu, nubuatan Perjanjian Lama bisa saja melompat dari peristiwa penderitaan Kristus langsung kepada kemuliaan-Nya tanpa menyebutkan jangka waktu yang terbukti dari waktu riil yang memisahkan kedua peristiwa besar itu. 

Fakta bahwa nubuatan tentang Mesias tidak selalu menyebutkan jangka waktu di antara beberapa peristiwa, digambarkan dalam kutipan Kristus dari Yesaya 61:1-2 di dalam Lukas 4:18-19. Ayat-ayat di Yesaya menghubungkan kedatangan pertama dan kedua dari Kristus tanpa sesuatu petunjuk bahwa di antara keduanya terdapat jangka waktu yang lebar. Kristus dalam kutipan-Nya menyebutkan aspek-aspek kedatangan pertama-Nya. Tetapi secara tiba- tiba berhenti tanpa menyebutkan ayat selanjutnya mengenai "hari pembalasan Allah" yang menunjuk kepada hukuman di saat kedatangan-Nya yang kedua kali.

Tapi mengapa banyak nubuatan seringkali dinyatakan dalam bentuk yang samar-samar ? Maksud Allah dalam kesamaran ini sebenarnya adalah untuk menjadikan nubuatan itu dapat dimengerti hanya oleh orang-orang percaya sejati yang diterangi oleh Roh Kudus, tepat seperti yang terjadi pada Lidia dari Tiatira yang dapat  mengerti akan perkataan-perkataan Paulus ketika Tuhan telah membuka dan menerangi hatinya.



[1] Bart D. Ehrman. The New Testament: A Historical Introduction to the Early Christian Writings. (New York, Oxford: Oxford University Press, 2004).

[2] Lawrence E. Toombs. Di Ambang Fajar Kekristenan. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1978), 84-85.

[3] https://id.wikipedia.org/wiki/Mesias (25 Agustus 2015), mengutip Bart D. Ehrman. 2004. The New Testament: A Historical Introduction to the Early Christian Writings. New York, Oxford: Oxford University Press.  (25 Agustus 2015).


Posting Komentar untuk "Teologi: Kristologi Yudaisme"