Hal-Hal Yang Dapat Menghambat Pribadi dalam Pertumbuhan Rohani
Penghambat Pribadi dalam Pertumbuhan Rohani
Schweer menjelaskan
tentang pentingnya pertumbuhan rohani sebagai berikut:
Oleh karena itu, perlu disadari betapa pentingnya pertumbuhan rohani. Kita akan berkenan di hati Allah hanya kalau kita terus menerus mengalami pertumbuhan rohani dan menghasilkan buah.[1]
Namun
demikian pertumbuhan rohani itu tidaklah semudah yang diinginkan. Untuk semakin
mendekati keserupaan dengan Kristus tidaklah sesederhana itu. Namun demikian Dallas
Willard mengatakan bahwa transformasi mendekati keserupaan dengan Kristus itu
bukanlah suatu hal yang mustahil, walaupun dalam realitasnya transformasi
spiritual atas diri orang Kristen masih kurang umum terjadi.[2]
Permasalahan ini ditengarai terjadi karena adanya beberapa hambatan terhadap
pertumbuhan rohani sebagai berikut:
Kegagalan membina hubungan
intim dengan Kristus
Seringkali
orang Kristen mengabaikan kehidupan batin dengan Kristus dan mengutamakan
penampilan luarnya saja, bersandiwara seolah semua baik-baik saja, padahal
didalamnya sedang menghadapi masalah, hanya untuk menjaga image diri dihadapan orang lain.[3]
Kemunafikan ini seharusnya tidak terjadi dalam diri orang Kristen. Apa yang
seharusnya dilakukan adalah memperdalam kehidupan batin orang percaya dengan
Kristus, sehingga secara otomatis akan mengubah kehidupan orang percaya menjadi
lebih menyerupai Kristus. Kegagalan membina hubungan intim dengan Kristus ini,
akan mengakibatkan tidak bertumbuhnya kerohanian orang percaya. Sebaliknya keberhasilan
membina hubungan yang intim dengan Kristus, yang rutin dan berkesinambungan, baik
secara pribadi, dalam ruang lingkup keluarga, maupun secara umum, akan
memberikan dampak yang baik bagi pertumbuhan kerohanian orang percaya. Hubungan
yang intim dengan Kristus ini diyakini salah satunya dapat dibina melalui pelaksanaan
mezbah keluarga dalam kehidupan orang percaya.
Kegagalan menyatukan diri
dengan tubuh Kristus
Hambatan
yang kedua adalah ketika orang-orang Kristen mencoba untuk berhasil (dalam
pertumbuhan rohani) dengan memisahkan diri dari tubuh Kristus (persekutuan).[4]
“Just Jesus and I” adalah ungkapan
yang dapat menggambarkan kegagalan ini, dimana orang percaya menghindari
persekutuan dengan sesama orang percaya, entah karena alasan apapun, sehingga
kehidupan rohani tidak dapat bertumbuh. Dan inilah alasan yang kuat bagi orang
percaya untuk bersekutu dan tidak saling menjauhkan diri dengan saudara seiman
seperti yang tertulis dalam Ibrani 10:24-25. Orang percaya adalah bagian dari
tubuh Kristus, seperti layaknya dalam sebuah keluarga dimana setiap anggotanya
memiliki peran dan fungsinya masing-masing yang saling memperlengkapi, seperti
yang dituliskan dalam kitab Roma 12:4-5 yang demikian tertulis:
Sebab sama seperti pada satu tubuh kita
mempunyai banyak anggota, tetapi tidak semua anggota itu mempunyai tugas yang
sama, demikian juga kita, walaupun banyak, adalah satu tubuh di dalam Kristus;
tetapi kita masing-masing adalah anggota yang seorang terhadap yang lain.
Tanpa
bersekutu dengan orang-orang percaya lain, dalam ruang lingkup persekutuan
terkecil yaitu ibadah keluarga, ataupun dalam ruang lingkup manapun yang lebih
besar, maka pertumbuhan itu mustahil terjadi.
Kegagalan mengintegrasikan
Kristus dalam kehidupan
Seringkali
orang percaya menjalani kehidupannya seperti layaknya orang yang berkepribadian
ganda. Orang percaya gagal mengintegrasikan Kristus dalam setiap segi
kehidupan.[5]
Dalam waktu ibadah atau aktivitas kerohanian, orang percaya dapat berlaku
seperti layaknya malaikat, tetapi dalam kehidupan sekulernya, kelakuan itu
dapat berubah drastis menjadi seperti iblis. Inilah yang disebut sebagai
kegagalan dalam mengintegrasikan Kristus dalam seluruh aspek hidup orang
percaya.
Dalam
kondisi seperti ini, seakan-akan orang percaya mengkotak-kotak kehidupannya.
Urusan rohani, biarlah Kristus bekerja didalamnya, namun untuk urusan sekuler,
jangan kiranya Kristus ikut campur disana, sehingga akhirnya muncullah dua
kepribadian orang percaya, yakni pribadi yang rohani dan pribadi yang sekuler.[6] Hal inilah yang menyebabkan pertumbuhan
kerohanian orang percaya terhambat karena “pribadi” yang satu menghambat
pertumbuhan “pribadi” yang lain. Ketika orang percaya mampu menghilangkan
hambatan ini dengan mengintegrasikan Kristus dalam seluruh aspek kehidupannya,
maka niscaya orang percaya akan dapat bertumbuh dalam kerohaniannya. Mezbah
keluarga yang mana bukanlah sebuah ibadah yang formal sifatnya, ditengarai
dapat menjadi penghubung antara kehidupan kerohanian yang formal dan kehidupan
kerohanian dalam keseharian orang percaya (sekuler), sehingga diharapkan mampu
mengatasi problema “kepribadian ganda” orang percaya.
Kegagalan mengenali ancaman eksternal terhadap
pertumbuhan
Seringkali
orang percaya secara sadar ataukah tidak, telah terpengaruh oleh lingkungan
disekitarnya. Persekutuannya dengan orang lain dalam kehidupannya sehari-hari
dapat membawa dampak negatif bagi dirinya. Ini sejalan dengan apa yang
dijelaskan oleh Tom Allen bahwa
seringkali orang percaya tidak menyadari kuasa dari persekutuan yang tidak
kudus.[7]
Seringkali pula karena kurang waspada, hal ini menghambat pertumbuhan mereka karena
membiarkan pengaruh-pengaruh yang tidak baik mempengaruhi mereka.
Namun
demikian, pada ekstrim yang lain, orang percaya memagari dirinya sedemikian
rupa dengan tidak bersedia masuk dalam persekutuan sekuler apapun, dalam jenis
pergaulan apapun yang tidak rohani. Hal ini sebenarnya juga membawa dampak
negatif bagi pertumbuhan mereka. Orang percaya akan terisolasi dan tidak dapat
menjadi berkat bagi lingkungannya. Mereka hanyalah tinggal dalam “kepompong”
keKristenan mereka, dan ini bukanlah seperti yang dikehendaki Tuhan seperti
tertulis dalam Yohanes 17:18 demikian: “Sama seperti Engkau telah mengutus Aku
ke dalam dunia, demikian pula Aku telah mengutus mereka ke dalam dunia.” Idealnya
orang percaya haruslah mampu menjadi pusat pengaruh yang baik bagi
lingkungannya, sementara ia sendiri tidak sampai terpengaruh oleh pengaruh
buruk lingkungan. Itu semua dapat terjadi dengan memperkuat diri melalui
persekutuan-persekutuan rohani, baik bersekutu secara pribadi dengan Kristus,
maupun bersekutu dengan Kristus melalui ibadah-badah rohani dalam ruang lingkup
keluarga, seperti penyelenggaraan mezbah keluarga, maupun ruang lingkup yang
lebih besar lagi. Ketika orang percaya telah bertumbuh disana, tugas untuk
menjadi pusat pengaruh di persekutuan sekuler telah menanti, sembari tetap
mempertahankan persekutuan rohani.
Kegagalan mengutamakan
hal yang utama
Ketika
orang percaya akan mendekat kepada Tuhan dan bertumbuh, segala macam pengalih
perhatian diadakan oleh iblis untuk menghalangi. Orang percaya sering dibuat
menyimpang dari pokok utama panggilan Tuhan, yakni mengenal Kristus dan
membagikan kasih-Nya kepada dunia yang terhilang.[8]
Tradisi, norma-norma duniawi, pernak-pernik keKristenan, bahkan aturan-aturan
gerejawi, dan masih banyak lagi lainnya, semuanya dapat dipakai oleh iblis
sebagai pengalih perhatian. Bukannya semua itu buruk, namun bila semua itu
telah menjadi perhatian utama, maka iblis telah berhasil memperdaya orang
percaya. Ini yang seharusnya selalu diwaspadai dan dihindari oleh setiap orang
percaya.
Kegagalan menyalurkan berkat
rohani
Asupan
rohani yang berlebihan tanpa adanya penyaluran keluar, ternyata dapat membawa
seseorang pada stagnasi rohani. Seperti halnya sistem pencernaan manusia,
makanan yang masuk kedalam tubuh juga membutuhkan penyaluran keluar agar tubuh
tetap sehat, demikian pula halnya makanan rohani juga harus memiliki saluran
keluar agar tubuh rohani juga tetap sehat.[9]
Saluran rohani tersebut dapat berupa sharing,
pemberitaan Injil, serta banyak lagi kegiatan pelayanan lainnya. Di gereja
dimana penulis beribadah, untuk mengajar sekolah minggu yang diadakan bersamaan
dengan ibadah raya kedua, guru yang bersangkutan haruslah mengikuti terlebih
dulu ibadah raya pertama dengan tujuan agar sang guru mendapat asupan rohani
yang mencukupi sebelum menyalurkannya pada murid-muridnya. Dengan demikian
kekurangan asupan rohani akan menimbulkan masalah, seperti halnya kelebihan
asupan juga akan dapat menimbulkan masalah.
Didalam
gereja yang tidak cukup memiliki pelayanan keluar yang aktif, akan cenderung
memperbanyak jemaat menyerap bagi dirinya sendiri. Kondisi ini sangat
berpotensi untuk memunculkan konflik internal. Bila tubuh Kristus tidak sibuk,
mereka cenderung menjadi “sok sibuk” dan suka mencampuri urusan orang lain.
Mezbah keluarga dapat menjadi solusi untuk menyalurkan kelebihan asupan rohani
itu selain daripada kegiatan-kegiatan lainnya.
Seorang
yang telah mendapat asupan rohani yang cukup, dapat saja mengambil peranan
sebagai pemimpin atau melayani ibadah informal seperti yang dapat dilakukan
pada mezbah keluarga ataupun persekutuan-persekutuan informal lainnya, sehingga
dapat menjadi saluran keluar yang menyehatkan tubuh rohani sehingga tetap dapat
bertumbuh dengan baik.
Kegagalan menjalani hidup
dalam iman
Selanjutnya
Allen menyatakan bahwa orang-orang Kristen hanya hidup berdasarkan perasaan,
bukannya berdasarkan iman. Pertumbuhan rohani dapat terhambat karena kurangnya
iman ini, dan dominannya perasaan.
Peristiwa ketika Yesus menghardik badai dalam Matius 8:23-27, menjelaskan para
murid yang terlalu dikuasai perasaan (takut) dan kekurangan iman, walaupun
mereka tahu Yesus bersama mereka.[10]
Kondisi lack of faith ini jelas dapat
menjadi penghambat pertumbuhan kerohanian umat Allah, karena walaupun mereka
mengetahui bahwa Allah itu berkuasa, tetapi mereka masih terlalu mengandalkan
diri sendiri dan tidak beriman penuh kepada-Nya. Memang wajar bahwa manusia
memiliki ketakutan dan kekuatiran, namun demikian hendaknya ketakutan dan
kekuatiran ini tidak sampai mengalahkan iman, sehingga membuat orang percaya
tidak dapat mempercayakan diri sepenuhnya pada Tuhan. Namun demikian sebenarnya
iman ini dapat dibangun melalui sharing
diantara sesama orang percaya, termasuk melalui penyelenggaraan mezbah keluarga.
Dengan mendengar dan melihat tangan Tuhan bekerja dalam hidup orang lain, maka
iman itu dapat semakin tumbuh dari waktu ke waktu, karena dengan mendengar dan
melihat tangan Tuhan bekerja dalam hidup orang lain, maka seseorang akan
menjadi lebih peka melihat pekerjaan tangan Tuhan dalam hidup mereka sendiri.
Kegagalan melupakan kepahitan
hati
Tuhan
tidak menjanjikan taman bunga mawar tanpa duri kepada anak-anak-Nya. Namun
demikian perlu dipahami bahwa dalam segala situasi kehidupan orang percaya,
Allah sedang bekerja kearah tujuan yang baik, yaitu menjadikan umat-Nya semakin
serupa dengan-Nya. Bilamana dalam mengalami kesukaran-kesukaran orang percaya
dapat menjadi semakin serupa dengan-Nya, tentu saja itu adalah merupakan suatu
hal yang baik.[11] Ketika
Yusuf diperlakukan buruk oleh saudara-saudaranya dengan dijual ke Mesir, Tuhan
mereka-rekakannya untuk kebaikan, yakni untuk menyelamatkan bangsa Israel dari
bencana kelaparan. Yusuf tidak memiliki kepahitan pada saudara-saudaranya, atau
setidaknya ia telah berhasil mengatasi kepahitannya itu, sehingga Yusuf dipakai
Tuhan untuk sebuah rencana besar yang indah bagi Israel. Dalam hal ini mezbah
keluarga terlihat memiliki peranan penting untuk menyelaraskan pertumbuhan
kerohanian diantara seluruh anggota keluarga sehingga tidak sampai terjadi
adanya kepahitan yang biasanya sangat sering muncul dalam kehidupan keluarga
yang tidak harmonis. Mezbah keluarga diharapkan dapat menjadi pengharmonis
hubungan antar keluarga (secara horizontal) selain mengharmoniskan hubungan
seluruh anggota keluarga dengan Tuhannya (vertikal).
Kegagalan membereskan dosa
Umat
Kristus seringkali terjebak untuk tidak membereskan dosa dengan cepat, tuntas
dan menyeluruh, sehingga dengan mudahnya justru membuat orang percaya akan
terjerumus semakin dalam tanpa disadarinya.[12]
Umat Allah harus belajar menghadapi dosa dan tidak sekali-kali meremehkannya,
karena dosa bukan hanya dapat menghambat pertumbuhan kerohanian orang percaya,
tetapi dapat menghancurkannya.
Kegagalan menerima kasih
karunia dan pengampunan Tuhan
Didalam
mengikut Tuhan, tentunya semua orang pernah mengalami jatuh bangun didalam
keberdosaan. Ketika umat Allah menyadari bahwa mereka telah melakukan
keberdosaan dihadapan-Nya, seringkali mereka merasa terlalu kotor untuk
mendekat kembali pada Tuhan, sehingga justru semakin lari menjauhi-Nya.
Pertumbuhan rohani akan terhenti pada titik ini, karena umat Allah gagal untuk
memahami kasih karunia dan pengampunan yang telah Tuhan berikan.[13]
1 Samuel 12:20-25 mengingatkan umat-Nya agar menyadari bahwa setiap orang
percaya telah menerima jaminan keselamatan kekal yang daripada-Nya. Umat Allah
diingatkan untuk tidak merasa kecil hati mengakui keberdosaan mereka, memohon
pengampunan-Nya dan kembali dalam tuntunan-Nya. Namun demikian umat Allah juga
diingatkan melalui perikop tersebut untuk tidak “memelihara” keberdosaan.
Ketika orang percaya mampu mengatasi hal ini, maka pertumbuhan itu dapat
berjalan kembali.
Baca Juga:
Pengertian Pertumbuhan Rohani dan Prinsipnya
Pentingnya Pertumbuhan Rohani Dalam Kehidupan Orang Percaya
[1] Schweer, Langkah-langkah Menuju Kedewasaan Rohani,
16
[2] Dallas Willard, Renovation The Heart (Malang: Literatur
SAAT, 2011), 92
[3] Tom Allen, 10 Hambatan Terhadap Pertumbuhan Iman
(Bandung: Kalam Hidup, 2006), 22
[4] Allen, 10 Hambatan Terhadap Pertumbuhan Iman,
33
[5] Allen, 10 Hambatan Terhadap Pertumbuhan Iman, 42-43
[6] Ibid, 43
[7] Allen, 10 Hambatan Terhadap Pertumbuhan Iman,
52-53
[8] Allen, 10 Hambatan Terhadap Pertumbuhan Iman,
60
[9] Ibid, 67-68
[10] Allen, 10 Hambatan Terhadap Pertumbuhan Iman,
76-77
[11] Allen, 10 Hambatan Terhadap Pertumbuhan Iman,
86-87
[12] Allen, 10 Hambatan Terhadap Pertumbuhan Iman,
92-93
[13] Ibid,
103
Posting Komentar untuk "Hal-Hal Yang Dapat Menghambat Pribadi dalam Pertumbuhan Rohani"
Berkomentar yg membangun dan memberkati.