Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Konsep Tuhan dan Keselamatan dalam agama Buddha - Keselamatan Agama Buddha

 

Konsep Tuhan dan Keselamatan dalam agama Buddha - Keselamatan Agama Buddha

Keselamatan Agama Buddha

Orang Buddha mempercayai akan adanya kelahiran kembali, seperti yang terjadi pada diri Siddharta Gautama, pada tahun SM.[1] Menurut Siddharta Gautama yang kemudian mendapat kebebasan hidup dan disebut Buddha, penyebab penderitaan adalah nafsu dan keinginan yang mencari kepuasan diri dalam kesenangan, milik, dan kuasa. Maka jalan untuk membebaskan diri dari penderitaan ialah melepasakan segala keinginan.[2] Itu bisa terjadi melalui delapan marga: kepercayaan yang benar (kepada Buddha); maksud yang benar, yang terwujud dalam tiga yang berikut: perkataan, perbuatan, dan hidup yang benar; usaha yang benar (dalam arti pengawasan atas nafsu); ingat yang benar (artinya, pengawasan akal budi, kehendak dan emosi); dan akhirnya samadhi yang benar. Secara konkret, “perkataan yang benar” berarti tidak salah omong, khususnya tidak bohong; “perbuatan yang benar” ia tidak membunuh, tidak mencuri, tidak berzinah, dan tidak minum minuman keras; “akhirnya hidup benar”, yakni hidup damai, tidak berperang, tidak merampok dan sebagainya.[3]

Secara etimologi kata Buddha berasal dari kata kerja “buddh”, artinya “bangun”. Orang Buddha adalah “Yang bangun” artinya: orang yang bangun dari malam kesesatan dan sekarang berada ditengah-tengah cahaya pemandangan yang benar. Selain itu mereka juga disebut “bhagava”, artinya “yang Luhur”, Tathagatha, artinya “sempurna”, seorang yang suci, yang merupakan salah satu dari Antara banyak orang suci.[4]

Menurut Agama Buddha konsep keselamatan adalah usaha dari mahluk itu sendiri, entah manusia, siluman, mahluk halus dan lain-lain. Untuk mencapai suatu kondisi yang disebut “Nibbana” sehingga tidak perlu mengalami siklus hidup, mati, dilahirkan kembali (tumimbal lahir).

Menurut Mahayana, seorang dapat berdoa kepada Budha untuk pelepasan. Belas kasihan dan anugerahnya dapat menyelamatkan setiap orang, bahkan orang jahat sekalipun, tetapi menurut mereka yang terpenting adalah tujuan utamanya untuk menolong orang lain mencapai surga.[5]

Sang Buddha pernah bersabda: oleh diri sendiri kejahatan dilakukan, oleh diri sendiri seseorang menjadi suci. Suci atau tidak suci tergantung pada diri sendiri. Tak seseorang pun yang dapat mensucika orang lain. (Dhammapada 165).

Untuk pertama kalinya dalam sejarah dunia, sang Budha memprolamasikan suatu keselamatan yang dapat dicapai oleh setiap orang untuk dirinya sendiri di dunia ini dalam kehidupan sekarang ini, tanpa pertolongan sedikitpun dari suatu Tuhan sebagai pribadi ataupun para dewa.[6]

Dari sabda beliau tersebut di atas, dapat dimengerti bahwa tak peduli apapun agama dan kepercayaan seseorang, Umat Kristiani, Muslim, Hindu, Yahudi, Tao, Kong Hu Cu, Buddhis maupun ateis, semuanya mempunyai hak dan kebebasan yang sama untuk dapat menikmati hidup yang bahagia dan kelak masuk ke “Alam Surga”, asalkan ia banyak berbuat kebaikan melalui pikiran, ucapan dan jasmani serta senantiasa menghindari kejahatan. Dan semua ini tidak bergantung kepada sosok makhluk Adikuasa manapun juga, semua semata-mata kembali kepada usaha kita sendiri.

Menurut ajaran Buddha, “Keselamatan” adalah kondisi dimana seseorang manusia sudah mencapai kondisi tak ada kemerdekaan atau yang disebut Nibbana, kondisi ini tercapai saat seseorang sudah terpisah dengan sifat-sifat duniawian.[7]

Penekanan pada kemampuan manusia untuk dapat menyelamatkan diri sendiri merupakan ajaran Budha. Jika sang Budha disebut sebagai seorang “Juruselamat” sepenuhnya, hal ini hanya dalam pengertian bahwa ia menemukan dan menunjukkan jalan menuju pembebasan, Nibbana. Tapi diri kita sendirilah yang harus menelusuri jalan tersebut.

Buddha berarti seorang yang telah mencapai penerangan atau pencerahan sempurna dan sadar akan kebeneran kosmos serta Alam semesta. “Hyang Buddha” adalah orang yang telah mencapai penerangan luhur, cakap dan bijak menuaikan karya-karya kebijakan dan memperoleh kebiksanaan kebenaran mengenai nirwana serta mengumumkan doktrin sejati tentang kebebasan atau keselamatan kepada dunia semesta sebelum periniwana.[8] Untuk memperoleh penerangan harus yakin dan bersatu kepada Buddha supaya dapat diterangi dan mendapatkan gelar Buddha.[9]

Bagi Buddha, semua penderitaan di dalam dunia akhirnya berakar pada kehausan untuk hidup, kelekatan pada eksistensi. Keselamatan dalam Buddhis dalam aspek negatifnya berarti pembebasan dari jahatnya kedukaan dan dalam aspek positifnya berarti tercapainya nirwana. Dalam nirwana ada pemadaman, terhentinya penderitaan dan kemalangan. Hal ini berarti tercapainya kebahagiaan sejati yang tidak terdapat keinginan yang kuat, hasrat untuk menjadi, dan ketidaktahuan. Namun, tidak hanya kebahagiaan sejati saja yang dicapai, terlebih lagi ambil bagian dalam kebijaksanaan, belas kasih, dan cinta yang tidak terbatas.[10]

Pada kesimpulannya, agama Buddha mengajarkan keselamatan yang bergantung pada perbuatan manusia “diperoleh dengan ber-samadhi untuk meniadakan keinginan. Diperoleh dengan usaha sendiri, tanpa campur tangan Tuhan”[11] yang artinya manusia menjadi “tuhan” atas dirinya sendiri dan yang menentukan keselamatannya sendiri pula, olehnya manusia harus terus berusaha dengan keras untuk menjadi orang yang baik, karena pada dasarnya mereka sedang dalam perjuangan agar kehidupan mereka berikutnya tidaklah semakin menderita, tetapi sebaliknya semakin mendapatkan hidup lebih baik, walaupun penderitaan tidak akan pernah selesai selama masih ada di dalam dunia ini.

 



[1] Tony TEDJO, Mengenal Agama Hindu, Budha, Khong Hu Cu (Bandung: Pionir Jaya, 2011), 55.

[2] Bukkyo, Dendo Kyokai, The Teaching Of Buddha (Tokyo: Buddhist Promoting Foundation, 1978),74-75.

[3] Damien Keown, Buddhism. A very short Indroduction (Oxford: Univ. Press, 2000), 44-45.

[4] Ibid, 63.

[5] Mudji Sutrisno. SJ, Buddhisme, Pengaruh Dalam Abad Modern (Yogyakarta: Kanisius, 1993), 312.

[6] Sri Dhammananda, Ajaran Budha Dimata Cendekiawan (N.K: Yayasan Karaniya, 2003), 27.

[7] http://www.indoforum.org/showthread.php?t=110267, diakses tanggal 19 desembar 2019.

[8] Budiman Sudharma, Buku Pedoman Umat Buddha Edisi Ke-5 (Jakarta: Grafindo, 2007), 72.

[9] Harun Hadiwijono, Ajaran Agama Hindu dan Buddha (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994), 65.

[10] Mariasusai Dhavamoni, Fenomenologi Agama (Yogyakarta : Kanisius, 1995), 309-313.

[11] Tony TEDJO, Mengenal Agama Hindu, Budha, Khong Hu Cu (Bandung: Pionir Jaya, 2011), 104.

Posting Komentar untuk "Konsep Tuhan dan Keselamatan dalam agama Buddha - Keselamatan Agama Buddha"