Pengertian Penderitaan Dalam Alkitab dalam Filipi 1:29
Pengertian Penderitaan
Bila mendengar kata
“penderitaan”, pikiran seseorang akan membayangkan suatu keadaan yang tidak
menyenangkan, keadaan yang susah dan penuh masalah dan persoalan yang
membuat kesedihan. Sebab itu seseorang akan berusaha berbuat apa
saja untuk dapat menghindarinya.
Kata “penderitaan”
dalam kamus besar bahasa Indonesia yang berarti keadaan yang menyedihkan yang
harus ditanggung. Kata penderitaan
berasal dari kata dasar “derita”, yang berarti sesuatu yang menyusahkan yang
ditanggung dalam hati (seperti kesengsaraan, penyakit).
Penderitaan adalah
dampak dari kejatuhan manusia dalam dosa. Ketika Adam dan Hawa melanggar Firman
atau perintah Tuhan dalam Kejadian 2:16-17 yang mengatakan bahwa semua pohon
dalam taman ini boleh kamu makan buahnya, tetapi pohon pengetahuan tentang yang
baik dan yang jahat jangan kau makan buahnya. Tapi pada akhirnya mereka
diperdaya oleh Iblis dengan tipu muslihatnya, sehingga jatuh dalam dosa (Kej.
3:1-7). Karena pelanggarannya manusia terkena kutuk dosa, yang menyebabkan
manusia harus mengalami banyak susah payah dan penuh penderitaan dalam mencari
nafkah dan pada waktu melahirkan keturunan-keturunannya. Menurut Philip Yancey dalam
bukunya yang nerjudul Dimanakah Tuhan di
saat kita menderita,
menyatakan sebagai berikut:
Penderitaan adalah
suatu alarm tentang kondisi kehidupan manusia yang telah rusak. Sesuatu yang
salah telah terjadi di muka bumi ini, peperangan, kekerasan dan tragedi-tragedi
manusia. Seseorang yang ingin merasa puas dengan dunia ini, yang percaya bahwa
tujuan utama hidup adalah kenikmatan, harus menyumbat telinganya dengan kapas
karena “megafonnya” berteriak dengan keras.[1]
Putusnya hubungan
antara Allah dan manusia yang disebabkan oleh dosa membuat kehidupan manusia
diwarnai oleh berbagai masalah dan penderitaan. Penderitaan merupakan suatu
peringatan agar manusia menyadari bahwa hanya Allah yang sanggup menolongnya,
memberi kekuatan dan memberikan jalan keluar.
Efek dari kutuk dosa
adalah “penderitaan”. Kehidupan yang jauh dari Allah adalah penderitaan,
seperti yang digambarkan oleh nabi Yeremia: “ ......, dan yang hatinya menjauh
dari pada Tuhan! Ia akan seperti semak bulus di padang belantara, ia tidak akan
mengalami datangnya keadaan baik, ia akan tinggal di tanah angus di padang
gurun, di negeri padang asin yang tidak berpenduduk.” (Yer.17:5-6).
Penderitaan
adalah disiplin Allah untuk memproses kita menjadi seperti yang diinginiNya.
Sebagaimana bangsa Israel ketika keluar dari tanah perbudakan di Mesir, mereka
melintasi padang gurun selama 40 tahun, mengalami perjalanan yang diwarnai
kesukaran dan penderitaan. Dengan demikian Allah mengajar dan membentuk
umatnya, supaya memiliki iman/percaya dan bergantung pada-Nya. Menurut Charles Colson dan
Harol Ficklatt dalam bukunya The Faith, mengatakan:
Penderitaan dengan
tepat disebut “sekolah iman”, sebab hanya melalui kesukaran,
kesulitan, dan kemunduranlah kita dibawa ke akhir diri kita. Tetapi ketika
hal-hal itu tidak tersedia ketika segala sesuatu sudah gagal, ketika kita harus melepas semua
harapan lain, kita dipaksa untuk mempercayai Allah saja.[2]
Dalam terjemahan KJV
(King James Version) mengatakan, bahwa
segala sesuatu turut bekerja untuk mendatangkan kebaikan (Rm. 8:28). “Segala sesuatu” itu
berhubungan dengan banyak hal, bukan saja hal-hal baik, tetapi juga hal-hal
yang buruk yaitu “penderitaan” yang bisa dipakai oleh Allah untuk mendatangkan
kebaikan bagi kita yang mengasihi-Nya.
Dalam bukunya yang berjudul All Things
For Good,
Thomas Watson menyatakan sebagai berikut:
Pikirkanlah, jika
segala sesuatu yang terburuk saja turut bekerja untuk mendatangkan kebaikan
bagi orang percaya, apalagi hal-hal yang terbaik – Kristus dan sorga! Betapa
lebih besar lagi keduanya turut bekerja untuk mendatangkan kebaikan! Jika salib
memiliki begitu banyak kebaikan, apalagi mahkotanya?[3]
Sebuah pertunjukan
penderitaan yang luar biasa bisa kita lihat dalam diri Ayub. Ia kehilangan
semua harta bendanya, anak-anaknya semua
meninggal tertimpa musibah, bahkan istrinya akhirnya meninggalkan dia dan Ayub
sendiri terkena bisul bernanah seluruh tubuhnya. Keadaannya sangat menderita,
tetapi itu semua atas seijin Allah, sehingga kemudian Allah memberi kesaksian tentang integritasnya
sebagai orang beriman. Allah mengganti dengan memberkati Ayub dua kali lipat
lebih banyak dari apa yang pernah ia miliki sebelumnya (Ayb. 42:10).
Alkitab
memberitahu kita bahwa penderitaan bukan peristiwa kebetulan. Penderitaan
sebagaimana berkat datang dari Allah. Dalam Perjanjian Lama menyebutkan yaitu: “Siapakah dapat meluruskan
apa yang telah dibengkokkanNya ? Pada hari mujur bergembiralah, tetapi pada
hari malang ingatlah, bahwa hari malang inipun dijadikan Allah seperti juga
hari mujur, supaya manusia tidak dapat menemukan sesuatu mengenai masa
depannya,” (Pkt.
7:13-14). Yesaya 45:7: “yang menjadikan
terang dan menciptakan gelap, yang menjadikan nasib mujur dan menciptakan nasib
malang; Akulah Tuhan yang membuat semuanya ini.” Ratapan 3:38: “Bukankah dari
mulut Yang Maha tinggi
keluar apa yang buruk dan apa yang baik?” Dalam bukunya yang berjudul The Discipline of Grace, Jerry Bridgess
menyatakan sebagai berikut:
Sebagian orang Kristen
sulit memahami kebenaran ini, bahkan menyangkalnya karena mereka tidak dapat
percaya bahwa Tuhan yang “maha kasih” bertanggung jawab atas bencana publik
yang menimpa kita. Tetapi kesaksian kitab suci jelas bertentangan dengan segala
protes kita. Jadi kita perlu mengenali tangan Allah dalam semua penderitaan
yang kita jumpai dan tidak menganggap enteng disiplinNya.[4]
Dalam setiap masalah
ataupun penderitaan yang kita alami
pastilah ada rencana Tuhan yang indah, asal kita tetap berada dalam kehendak
dan rencana-Nya.
Allah tidak pernah memberikan rancangan kecelakaan , tetapi rancanganNya adalah
rancangan damai sejahtera yang memberikan hari depan yang penuh harapan (Yer. 29:11). Thomas Watson dalam
bukunya yang berjudul All Things for Good,
mengatakan:
Penderitaan mengajar
kita untuk mengenal diri kita. Di dalam keadaan makmur kita hampir sama sekali
asing bagi diri kita sendiri. Allah membuat kita mengalami penderitaan, supaya
kita dapat mengenal diri kita dengan lebih baik.[5]
Dalam Perjanjian Baru, Injil Lukas 9:22, Yesus
memberitahukan penderitaan yang akan dialami-Nya kepada murid-murid: Dan Yesus
berkata: “Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh
tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan dibangkitkan
pada hari ketiga. ”Sebanyak 3 (tiga)
kali Yesus mengingatkan murid-murid-Nya,
bahwa Ia harus menderita aniaya, diolok-olok kemudian disalibkan, untuk
menanggung dosa manusia. Namun murid-murid-Nya tidak mengerti semuanya itu.
Arti perkataan itu tersembunyi bagi mereka dan mereka tidak tahu apa yang dimaksudkan
(Luk. 18:34). Murid-murid
baru mengerti setelah semua terjadi yaitu setelah kebangkitanNya dari antara
orang mati.
Penderitaan juga
dialami oleh murid-murid Yesus setelah kenaikan-Nya ke sorga. Namun Yesus sudah
mengirimkan penolong yaitu Roh Kudus yang dicurahkan pada hari Pentakosta,
sehingga murid-murid tetap kuat menghadapi banyak tantangan dan penderitaan
pada saat mereka memberitakan Injil. Bahkan banyak yang menjadi martir, oleh
karena nama Yesus.
Paulus menulis bahwa
kesengsaraan kita menghasilkan ketabahan dan kemudian menghasilkan karakter (Rm. 5:3-4). Yakobus berkata bahwa ujian
terhadap iman kita menghasilkan ketekunan dan kemudian menghasilkan kematangan
(Yak. 1:2-5). Namun puncak harapan kita bukanlah kedewasaan karakter, melainkan
kesempurnaan karakter dalam kekekalan. Proses dijadikan serupa dengan gambar-Nya seringkali memang menyakitkan,
tetapi tujuannya adalah menuju kemuliaan. Paulus juga menulis, “Aku yakin bahwa
penderitaan jaman sekarang ini tidak
dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita” (Rm. 8:18).
Sewaktu memikirkan
perkataan Paulus, saya membayangkan sepasang daun neraca kuno. Paulus
pertama-tama menaruh di satu daun neraca segala kesengsaraan, segala kepiluan
dan kekecewaan kita, segala jenis penderitaan kita yang berasal dari sumber
manapun. Tentu saja neraca jadi miring ke sisi yang satu itu. Tetapi kemudian
ia menaruh di sisi lainnya kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita. Ketika
kita mengamati, neraca itu tidaklah menjadi seimbang ataupun menjadi tidak
seimbang secara setimbang seperti yang mungkin kita duga. Sebaliknya, sekarang
neraca itu miring ke sisi kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita.[6]
[1] Philip
Yancey, Di manakah Tuhan di Saat
Kita Menderita (Jakarta: Nafiri
Gabriel, 2000), 80.
[2]Charles Colson dan Harold Fickett, The Faith (Bandung: Pionir Jaya, 1993), 80.
[3]Thomas Watson, All Thing for Good (Surabaya: Momentum, 2004), 73.
[4]Jerry Bridges, The Discipline of Grsce (Bandung: Pionir Jaya, 2007), 246.
Posting Komentar untuk "Pengertian Penderitaan Dalam Alkitab dalam Filipi 1:29"
Berkomentar yg membangun dan memberkati.