Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tentu Ia Membunuh Aku 1 Raja-raja Pasal 18 – 22 - Renungan Harian Tahun 2023

 Renungan Harian Tahun 2023 – 1 Raja-raja Pasal 18 – 22.


Tentu Ia Membunuh Aku

1 Raja-raja 18:1-15

Dalam kerajaan Ahab, ternyata ada kelompok yang setia kepada Yahweh. Obaja, nama yang berarti "Abdi Yahweh", dengan cepat mengenali Elia ketika bertemu dengannya. Namun, berpihak pada Yahweh dapat membahayakan nyawa. "Tentu ia membunuh aku", kata Obaja ketika Elia minta dipertemukan dengan Ahab.

Hidup setia kepada Tuhan memang selalu menantang bahaya. Obaja menyembunyikan banyak nabi Allah yang setia di gua-gua agar tidak dibunuh Izebel, istri Ahab. Inilah juga nasib yang akan menimpa Elia karena menantang Ahab dan nabi-nabi Baal. Dia pun harus bersembunyi di gua.

Mengikut Tuhan dapat mengakibatkan berbagai kesulitan dan ancaman riil. Obaja memang setia kepada Yahweh. Namun, terang-terangan menentang Ahab atau kelihatan berpihak kepada Elia dapat menyebabkan Obaja kehilangan nyawanya. Permintaan sederhana Elia kepada Obaja sangat berisiko.

Di sini Elia dan Obaja tetap setia. Ketika Allah menyuruh Elia menghadap Ahab, dia pun pergi. Dan Obaja, walau gemetar, dia tetap melakukan apa yang diminta dan mempertemukan Elia dengan Ahab. Beriman kepada Tuhan memaksa kita untuk berhadapan dengan Ahab dan Baal dalam hidup kita.

Setiap pilihan mempunyai konsekuensi. Ada pilihan yang secara riil menyebabkan kematian. Obaja tidak naif. Dia bekerja untuk Ahab sebagai kepala istana. Dalam situasinya, dia setia kepada Tuhan. Bukan pilihan mudah bagi Obaja.

Hidup ini menyajikan tekanan tersendiri dan kita harus memilih kepada siapa kita loyal. Obaja berhasil menjalankan tugasnya. Namun, Elia harus bersiap menghadapi konfrontasi frontal dengan Ahab dan nabi-nabi Baal. Kejelasan dalam menangkap misi dan tugas yang Tuhan bebankan akan menolong kita dalam mengambil keputusan yang sulit.

Elia tahu panggilan dan misinya. Katakan kepada Ahab, "Elia ada", katanya kepada Obaja. Elia dan Obaja memilih masuk ke pekerjaan Allah dalam perang antara Yahweh dan Baal. Apakah kita mengenali misi Tuhan yang dibebankan pada kita sekarang?

 

Allah Air dan Api

1 Raja-raja 18:16-46

Elia tampak sengaja membuat tugasnya bertambah sulit. Dituangnya air ke atas daging persembahannya berkali-kali; mana mungkin api akan menyala?

Kemudian di lain pihak, nabi-nabi Baal mengusahakan yang terbaik, bahkan menoreh diri dan mencurahkan darah untuk persembahan kepada Baal (ay. 28). Namun, tak ada api yang menyala. Sebaliknya, ketika Elia memanggil nama Allah, persembahannya yang kuyup disambar api dari langit dan menyala hebat. Jelaslah sudah siapa penguasa air dan api yang sebenarnya! Bukan Baal, melainkan Yahweh!

Pertempuran yang dialami Elia terus dihadapi juga oleh orang Kristen. Banyak orang Kristen mengakui Allah, tetapi dalam hidup kesehariannya tetap seolah tak ada Allah. Apalagi jika kekeringan melanda batin, kita diam-diam mengharapkan hal dari dunia untuk memenuhi kebutuhan kita. Seperti Ahab, raja Israel yang mengandalkan Izebel dan nabi-nabi Baal, bukan Allah Israel!

Bagi Ahab, berharap dan menanti Allah adalah sikap yang tidak praktis. Sebab, Allah sejati tak bisa dimanfaatkan untuk agenda pribadi. Menurutnya, menyenangkan Izebel dan Baal lebih berguna daripada harus mengikut Allah yang tak bisa diramalkan dan dimanfaatkan.

Walau banyak rakyat Israel sujud menyembah Tuhan saat melihat pekerjaan Allah melalui Elia, Ahab tetap saja tak bertobat. Ternyata pertobatan adalah pilihan; satu pilihan saja, yaitu memilih memihak kepada Allah dengan kesadaran penuh setiap saat. Memang bukan hal mudah. Bahkan, menyaksikan mukjizat spektakuler seperti yang dilakukan Elia juga bukan jaminan bagi seseorang untuk mengalami pertobatan.

Namun, seperti kasus Ahab dan Israel, ada saatnya Allah melakukan intervensi dan mengingatkan. Ketika saat itu datang bagi kita, baiklah kita menenangkan hati dari segala ketakutan dan mengarahkan diri kepada Tuhan.

Memilih ikut Tuhan tidak menjamin hidup mudah. Elia tetap menghadapi ancaman. Namun seperti Elia, kita bisa memandang awan pengharapan dari Tuhan, dan membiarkan hujan berkat-Nya menolong kita.

 

Nabi yang Minta Mati

1 Raja-raja 19:1-18

 

Walaupun Elia adalah seorang nabi besar, perjalanannya bersama Tuhan tidaklah mudah. Nabi Tuhan yang dicatat minta mati di dalam Alkitab di antaranya adalah Elia, Yunus (Yun 4:3), dan Musa (Bil 11:14, 15). Apakah Elia ditimpa depresi? Jika ya, maka Allah justru menolong Elia dengan hal-hal yang sederhana. Membiarkan Elia tidur, makan roti bakar, dan minum air kendi untuk kekuatan fisik. Hal-hal sederhana semacam itulah yang justru dibutuhkan banyak orang yang diserang depresi.

Bahkan mendengarkan suara Tuhan menjadi tantangan tersendiri bagi Elia. Allah tak hadir dalam angin hebat yang membelah gunung dan memecah bukit, atau gempa dan api. Allah justru hadir dalam suara angin yang hening (sepoi-sepoi). Suara dan keheningan adalah dua kata yang berkontradiksi yang muncul dalam kalimat ini, yang menggambarkan misteri ilahi yang tak mampu diselami Elia.

Allah juga meluruskan ketakpahaman Elia. Nabi Elia tidak sendiri, masih ada tujuh ribu orang di Israel yang setia. Perintah-perintah yang diberikan Allah kepada Elia juga berdampak terhadap nasib Israel dan Elisa yang akan meneruskan tugasnya.

Mengikut Tuhan yang hidup memang penuh risiko dan dapat diselubungi ketidakpahaman. Elia pun harus bergulat dengan keheningan angin Tuhan. Namun, di tengah ketidakmengertian itu terdapat pilihan untuk mengikut Tuhan atau meninggalkan Dia. Sejarah raja-raja Israel menceritakan konsekuensi pilihan-pilihan ini. Elia pun memilih sikapnya. Ia menjalankan misi yang diberikan kepadanya, bahkan ketika kematian terasa lebih baik.

Berbeda dari Elia, Yesus justru minta dilewatkan dari cawan kematian di Taman Getsemani. Namun, baik Elia maupun Yesus tak mendapat apa yang mereka minta. Allah punya rencana melalui misi yang diemban Elia dan Yesus. Mereka pun memilih taat menyelesaikan misi dari Allah.

Mengikut Tuhan memang tidak menjamin kita paham sepenuhnya misteri rencana Allah. Namun, kita punya banyak teladan untuk tetap taat walaupun tak sepenuhnya paham.

 

Taat Ikut Panggilan

1 Raja-raja 19:19-21

 

Elisa, pemilik dua belas pasang lembu, tampaknya cukup berada dan mapan. Panggilan Tuhan menghampirinya ketika Elia melemparkan jubah kepadanya sebagai tanda otoritas kenabian.

Elisa lalu menyembelih pasangan lembunya sebagai tanda syukur dan membagikannya kepada para pekerjanya. Hal itu dilakukannya sebelum masuk ke pelayanan penuh waktu. Kemudian Elisa melangkah mengikuti Elia.

Berbagai kisah panggilan Tuhan tertulis di dalam Alkitab. Ada yang berusaha menolak seperti Musa, bahkan ada yang berusaha melarikan diri seperti Yunus. Namun, dalam kasus Elisa, yang ada hanya ketaatan. Cuma satu permintaannya, mencium ayah dan ibunya dulu sebelum terjun sepenuhnya ke dalam pelayanan.

Kisah berbagai orang yang dipanggil ke dalam pelayanan sering penuh pergumulan. Ada pergulatan dengan diri sendiri, ada yang bergumul dengan keluarga dekat yang tidak bisa menerima. Dan ada pula yang harus bergulat dengan gereja yang memandang mereka sebagai penyesat, seperti yang dialami oleh Luther dan Calvin. Namun, respons yang benar akan panggilan Tuhan adalah taat dan melontarkan diri ke dalam pimpinan Tuhan.

Ketaatan bisa saja seringkas kisah Elisa, atau serumit kisah Musa atau Yunus. Setiap kita dipanggil dengan cara dan untuk misi yang unik. Setiap orang harus menjalani proses panggilannya sendiri. Ada yang bergumul keras untuk masuk ke seminari, tetapi ada yang justru harus pindah ke seminari lain karena perubahan arah dalam mencerna panggilan Tuhan.

Kisah panggilan Elisa memang terkesan lurus dan sederhana. Namun, kita semua tahu kesulitan meninggalkan hidup yang mapan. Sangat diperlukan keberanian untuk terjun ke dalam ketidakpastian. Terlebih lagi kalau harus menghadapi kekuasaan penindas seperti Ahab dan Izebel.

Ketika suara panggilan itu menghampiri kita. Ketika kita sudah selesai dengan kemapanan dan orang tua kita, semoga Tuhan menolong kita melangkah seperti Elisa, ikut dalam tuntunan Tuhan.

 

Intervensi Allah Yang Mahabaik

1 Raja-raja 20:1-22

 

Kebaikan Allah nyata dalam perjalanan hidup yang sedang kita jalani. Pemeliharaan dan kasih setia-Nya ditunjukkan dalam setiap peristiwa. Namun kenyataannya, terkadang sulit bagi kita untuk melihat dan datang bersandar kepada-Nya.

Dalam situasi pengepungan yang dihadapi oleh Ahab, tetap sulit bagi dia untuk menyandarkan harapannya kepada Tuhan yang telah berbicara melalui Nabi Elia dengan berbagai peristiwa yang bersifat adi kodrati. Benhadad sebagai raja Aram, berlaku sewenang-wenang terhadapnya dengan mengubah syarat-syarat untuk Ahab takluk kepadanya (ay. 1-6). Ahab kehilangan martabat di negaranya sendiri. Ia putus asa, sehingga memberikan jawaban terhadap utusan raja Aram yang berupa ancaman (ay. 9, 11). Ahab tidak memiliki dasar pengharapan yang kepadanya ia dapat bergantung.

Dalam situasi seperti itu, Tuhan tetap melakukan intervensi sekalipun Ahab tidak meminta pertolongan kepada-Nya. Tuhan berbicara melalui perantaraan nabi-Nya untuk memberi jalan keluar bagi permasalahan yang dihadapi oleh Ahab. Kemenangan dapat mereka peroleh karena pertolongan Tuhan. Namun, teks tidak memberikan catatan bahwa Ahab merespons kebaikan Tuhan dengan cara yang tepat. Teks hanya memberikan peringatan yang diberikan oleh sang nabi kepada Ahab mengenai Aram yang akan menyerang Samaria pada pergantian tahun (ay. 22). Ahab telah menyaksikan kedahsyatan kuasa Allah, namun ia tidak mau bersandar kepada-Nya.

Sering kali dalam kehidupan, kita tidak ubahnya seperti Raja Ahab. Kita telah merasakan kuasa-Nya, tetapi tidak mau mencari pertolongan kepada Allah yang telah berulang kali mendekatkan diri-Nya kepada kita.

Jika kita punya waktu untuk duduk sejenak dan memikirkan segala bentuk kebaikan Tuhan, maka akan kita sadari, sungguh dahsyat apa yang telah Dia perbuat. Allah senantiasa menghampiri kita, mendampingi kita dan mencurahkan berkat-Nya kepada kita, namun kadang kita lupa mengandalkan Dia. Dahulukanlah Tuhan dalam setiap situasi karena Dia setia menolong.

 

Keputusanmu dan Firman Allah

1 Raja-raja 20:23-34

 

Dalam menjalani hidup sering kali kita diperhadapkan pada keputusan-keputusan penting yang harus diambil. Tak jarang kita meminta masukan untuk dapat mempertimbangkan keputusan yang harus kita pilih. Keputusan yang tidak tepat bisa membawa kerugian, sebaliknya keputusan yang tepat bisa membawa keuntungan.

Raja Aram dan pegawai-pegawainya telah kalah dalam peperangan pada saat pengepungan Samaria (1 Raj 20:1-22). Tidak terima akan kekalahan yang mereka alami, penasihat-penasihat itu memberikan nasihat yang merugikan dengan melihat bahwa Allah Israel adalah Allah gunung dan bukan Allah dataran. Dalam sejarahnya, pemahaman yang dimiliki oleh para penasihat itu telah ada sejak zaman Yosua, yang melihat bahwa Israel selalu memenangkan perang di gunung daripada di tanah datar karena keterbatasan kereta-kereta perang.

Sementara itu, raja Israel menerima pesan dari abdi Allah tentang motif dan serangan yang dilakukan oleh raja Aram terhadap orang Israel. Allah menunjukkan kepada raja Israel bahwa Dialah Allah dan tidak ada yang lain. Dia bukan allah gunung maupun allah dataran. Dia adalah Allah yang patut disembah. Firman-Nya harus didengarkan dan ditaati.

Sering kali setiap keputusan yang kita ambil dalam hidup sangat mengandalkan kekuatan dan pengertian kita sendiri. Kita sering melupakan bahwa Allah adalah penguasa dari segala sesuatu. Dia berdaulat penuh atas segala yang diciptakan. Tak ada apa pun yang luput dari pandangan-Nya.

Firman-Nya merupakan kunci bagi kemenangan kita dalam menghadapi setiap pergumulan. Firman-Nya merupakan sandaran bagi kita untuk mengambil setiap keputusan penting. Tuhan selalu campur tangan dalam hidup kita; Dia berdaulat mengintervensi keputusan kita demi kebaikan kita.

Allah menghendaki kita masuk ke dalam pengenalan yang lebih mendalam tentang siapa Diri-Nya yang sejati. Biarlah hidup kita senantiasa bergantung pada setiap firman yang keluar dari mulut Allah; niscaya kemenangan menjadi bagian hidup kita.

 

Kesempatan Adalah Anugerah Tuhan

1 Raja-raja 20:35-43

 

Kesempatan merupakan salah satu bentuk anugerah yang diberikan Tuhan. Namun, tidak semua orang dapat melihat kesempatan sebagai peluang untuk memuliakan Tuhan. Sering kali kesempatan yang hadir di depan mata terbuang percuma karena kedegilan kita.

Ahab adalah raja yang kisahnya dicatat sampai beberapa pasal di dalam Alkitab. Padahal dia adalah raja yang paling jahat di mata Tuhan jika dibandingkan dengan raja-raja Israel lain yang juga berbuat jahat. Tuhan terus memberikan kebaikan dan kesempatan kepadanya, tetapi ia melakukan kebodohan dengan melepaskan Benhadad, orang yang sudah dikhususkan Tuhan untuk ditumpas. Akibatnya, Tuhan memberi hukuman kepada Ahab (ay. 42).

Sang Nabi menyatakan bahwa ia telah gagal dalam bertanggung jawab terhadap tugas yang diberikan kepadanya untuk menjaga tawanan di medan pertempuran (ay. 39, 40). Ahab memberikan jawaban bahwa sudah seharusnya orang yang lalai dengan tugasnya itu menanggung akibatnya (ay. 40). Ahab menjadi galau ketika sang nabi menunjukkan siapa dirinya dan maksud dari gambaran yang dikemukakannya.

Ahab tidak mempergunakan kesempatan yang diberikan oleh Tuhan kepadanya dengan baik. Orang yang berniat membinasakan umat Allah dan menjadikan kotanya sebagai puing-puing justru dijadikan sebagai sekutu. Ahab sibuk mengurus kemungkinan-kemungkinan yang saling menguntungkan di antara kedua belah pihak. Ia begitu sembrono dalam mengambil keputusan dan menghilangkan kesempatan yang telah diberikan Tuhan.

Saat Tuhan menghadirkan kesempatan dalam hidup kita, itu wujud dari kemurahan-Nya. Ketika kesempatan hadir, tanggung jawab kita adalah mengembalikan segala hormat dan kemuliaan hanya bagi nama Tuhan. Sudah semestinya kita berhati-hati dalam menggunakan kesempatan yang diberikan Tuhan.

Dalam hidup yang kita jalani, apakah kita sudah bertanggung jawab dalam menggunakan setiap kesempatan yang hadir? Ataukah, kita begitu sembrono sehingga tidak memanfaatkannya?

 

Tuhan yang Berbelas Kasihan

1 Raja-raja 21:1-29

 

Tak ada manusia yang tak pernah berbuat salah di mata Tuhan. Kita lahir dengan natur dosa yang melekat. Bahkan setelah kita hidup di dalam Kristus, kita masih sering berbuat dosa dan kondisi itu menjauhkan kita dari Allah. Akibatnya, sering kali kita merasa terlalu kotor untuk dapat diterima oleh Allah.

Dalam sejarah Israel, Ahab merupakan salah satu raja yang jahat di mata Tuhan. Ia sering mengambil keputusan tidak tepat ketika hatinya berada dalam suasana campur aduk. Salah satunya, ia mengambil kebun anggur Nabot dengan cara yang keji dalam kesepakatannya bersama dengan Izebel istrinya.

Nabot dibunuh dalam pemufakatan keji dengan fitnah yang dilontarkan kepadanya. Ahab merespons dengan mendatangi kebun anggur Nabot setelah kabar kematian Nabot disampaikan kepadanya. Tak ada penyesalan atas dosa yang dilakukannya, sehingga Tuhan menyatakan penghukuman kepadanya melalui Elia.

Alkitab mencatat bahwa tidak pernah ada orang seperti Ahab yang memperbudak dirinya sedemikian rupa. Ia juga melakukan tindakan keji lainnya di mata Tuhan, yakni menyembah berhala.

Ahab memberikan respons yang tepat ketika ia mendapat teguran dari Nabi Elia. Ia merendahkan diri di hadapan Tuhan dengan mengoyakkan pakaiannya, mengenakan kain kabung dan berpuasa. Tuhan pun menunjukkan belas kasihan-Nya kepada Ahab.

Dalam hidup yang kita jalani, seberapa burukkah tindakan jahat yang pernah kita lakukan di hadapan Tuhan? Ahab yang begitu jahat tetap memperoleh belas kasihan Tuhan. Melalui nabi-nabi-Nya, Tuhan terus memperlihatkan Diri-Nya kepada Ahab.

Tidak ada kata terlambat bagi kita untuk merendahkan diri di hadapan Tuhan. Berpalinglah dari dosa-dosa kita dan kembalilah kepada Tuhan. Mintalah pengampunan dari pada-Nya. Dia tak pernah menolak anak-anak-Nya yang berbalik dengan sepenuh hati kepada-Nya. Ingatlah, pada-Nya ada kemurahan dan belas kasihan.

 

Bijaksanalah dalam Bergaul

1 Raja-raja 22:1-40

 

Alkitab menyatakan bahwa pergaulan yang buruk merusak kebiasaan yang baik. Terkadang sebagai orang percaya, kita tidak cukup bijak dalam memilih pergaulan. Jika ada hal-hal yang menguntungkan, beberapa orang Kristen rela menggadaikan prinsip-prinsip yang dipegang.

Persahabatan antara Yosafat, raja Yehuda dan Ahab, raja Israel, terjadi ketika Yosafat menikahkan anaknya dengan anak perempuan Ahab. Yosafat dikenal sebagai raja yang saleh. Tetapi, Ahab adalah raja yang jahat di mata Tuhan.

Tiga tahun lamanya orang Israel hidup tanpa peperangan. Tetapi, Ahab mengajak Yosafat untuk mengadakan peperangan melawan Aram. Ahab mencari gara-gara yang menyebabkan kematiannya sendiri; itu sesuai firman Allah.

Yosafat meminta raja Israel untuk memohon petunjuk Tuhan terlebih dahulu sebelum mereka pergi berperang. Namun, respons sang sahabat justru mengumpulkan nabi-nabi Baal yang berbicara untuk memuaskan keinginan telinga sang raja semata. Kemudian, Yosafat menanyakan apakah masih ada nabi Tuhan di Samaria. Prinsip dan keyakinan Yosafat berbeda jauh dibanding Ahab.

Setelah mendengarkan sabda Allah melalui sang nabi, Ahab meminta sahabatnya memakai pakaian kebesaran. Sementara itu, ia menyamar agar firman Allah tidak tergenapi. Cara berpikir yang picik telah ditunjukkan Ahab dalam menjalin persahabatan.

Persahabatan dengan orang-orang yang tidak mengenal Allah sering kali berujung tidak sejalan dalam pengambilan keputusan. Nilai-nilai yang dimiliki lebih menekankan pada kepuasan diri daripada kemuliaan Allah. Orang-orang yang tidak mengenal Allah lebih menyukai hal-hal yang sedap didengar oleh telinga daripada fakta kebenaran. Seperti Ahab, demi kepentingan keselamatan diri sendiri, ia tidak segan mengorbankan sahabatnya.

Bagaimana cara kita, sebagai orang percaya, membangun relasi dengan orang-orang yang tidak percaya dalam sebuah kerja sama tanpa mengorbankan prinsip-prinsip kebenaran Allah?

 

Apa yang Hendak Kauwariskan?

1 Raja-raja 22:41-53

 

Pendidikan moral dan keagamaan merupakan hal yang penting untuk diwariskan kepada anak cucu dalam sebuah keluarga. Kegagalan orang tua sebagai teladan dalam keluarga dapat menjadi contoh buruk bagi masa depan seorang anak. Hal seperti ini banyak diceritakan kepada kita dalam kisah Alkitab.

Bacaan kita hari ini menceritakan tentang kisah kehidupan Yosafat dan Ahazia --raja Yehuda dan raja Israel. Sebagai raja yang saleh, Yosafat hidup sesuai dengan ketetapan Tuhan. Ia cukup lama memerintah sebagai raja. Sepanjang hidupnya, Yosafat tak menyimpang dari jalan Tuhan.

Sementara itu, Ahazia berbeda dari Yosafat. Dirinya digambarkan sebagai raja yang jahat di hadapan Tuhan. Kelakuannya mengikuti Ahab dan Izebel, ayah dan ibunya. Ia tidak takut akan Tuhan dalam kehidupannya. Setiap tindak tanduknya menimbulkan sakit hati Tuhan, persis seperti yang dilakukan oleh leluhurnya.

Hidup takut akan Allah merupakan sikap hidup yang dapat diwariskan kepada generasi berikutnya. Jejak yang ditinggalkan orang tua yang saleh menjadi teladan yang akan diikuti oleh generasi di bawahnya. Asa sebagai seorang raja yang takut akan Tuhan dicontoh oleh anaknya, Yosafat. Prinsip hidup takut akan Tuhan begitu nyata dalam kisah hidup Yosafat. Petunjuk Tuhan diandalkannya dalam setiap pengambilan keputusan. Hal itu terlihat dari peperangan bersama Ahab melawan bangsa Aram.

Sebaliknya, Ahazia selalu berbuat dosa. Ia menyebabkan orang Israel berdosa di hadapan Tuhan. Lalu, bagaimana dengan kehidupan kita? Apa yang hendak kita wariskan kepada generasi selanjutnya? Akankah perjalanan iman kita menjadi harta karun rohani bagi generasi di bawah kita?

Mari kita ikuti teladan kehidupan keluarga Yosafat, bukan Ahazia. Mari kita terus berusaha menerapkan prinsip hidup takut akan Tuhan. Mari kita juga terus-menerus belajar menaati perintah Tuhan dalam setiap langkah hidup yang kita jalani. Kiranya perjuangan iman kita meninggalkan warisan yang bermanfaat bagi generasi-generasi di bawah kita selanjutnya.

Posting Komentar untuk "Tentu Ia Membunuh Aku 1 Raja-raja Pasal 18 – 22 - Renungan Harian Tahun 2023"