Tentu Ia Membunuh Aku 1 Raja-raja Pasal 18 – 22 - Renungan Harian Tahun 2023
Tentu Ia Membunuh Aku
1 Raja-raja 18:1-15
Dalam kerajaan Ahab, ternyata ada kelompok yang setia kepada Yahweh. Obaja, nama yang berarti "Abdi Yahweh", dengan cepat mengenali Elia ketika bertemu dengannya. Namun, berpihak pada Yahweh dapat membahayakan nyawa. "Tentu ia membunuh aku", kata Obaja ketika Elia minta dipertemukan dengan Ahab.
Hidup setia kepada Tuhan
memang selalu menantang bahaya. Obaja menyembunyikan banyak nabi Allah yang
setia di gua-gua agar tidak dibunuh Izebel, istri Ahab. Inilah juga nasib yang akan
menimpa Elia karena menantang Ahab dan nabi-nabi Baal. Dia pun harus
bersembunyi di gua.
Mengikut Tuhan dapat
mengakibatkan berbagai kesulitan dan ancaman riil. Obaja memang setia kepada
Yahweh. Namun, terang-terangan menentang Ahab atau kelihatan berpihak kepada
Elia dapat menyebabkan Obaja kehilangan nyawanya. Permintaan sederhana Elia
kepada Obaja sangat berisiko.
Di sini Elia dan Obaja tetap
setia. Ketika Allah menyuruh Elia menghadap Ahab, dia pun pergi. Dan Obaja,
walau gemetar, dia tetap melakukan apa yang diminta dan mempertemukan Elia
dengan Ahab. Beriman kepada Tuhan memaksa kita untuk berhadapan dengan Ahab dan
Baal dalam hidup kita.
Setiap pilihan mempunyai
konsekuensi. Ada pilihan yang secara riil menyebabkan kematian. Obaja tidak
naif. Dia bekerja untuk Ahab sebagai kepala istana. Dalam situasinya, dia setia
kepada Tuhan. Bukan pilihan mudah bagi Obaja.
Hidup ini menyajikan tekanan
tersendiri dan kita harus memilih kepada siapa kita loyal. Obaja berhasil
menjalankan tugasnya. Namun, Elia harus bersiap menghadapi konfrontasi frontal
dengan Ahab dan nabi-nabi Baal. Kejelasan dalam menangkap misi dan tugas yang
Tuhan bebankan akan menolong kita dalam mengambil keputusan yang sulit.
Elia tahu panggilan dan
misinya. Katakan kepada Ahab, "Elia ada", katanya kepada Obaja. Elia
dan Obaja memilih masuk ke pekerjaan Allah dalam perang antara Yahweh dan Baal.
Apakah kita mengenali misi Tuhan yang dibebankan pada kita sekarang?
Allah Air dan Api
1 Raja-raja 18:16-46
Elia tampak sengaja membuat tugasnya bertambah sulit. Dituangnya air ke atas daging persembahannya berkali-kali; mana mungkin api akan menyala?
Kemudian di lain pihak,
nabi-nabi Baal mengusahakan yang terbaik, bahkan menoreh diri dan mencurahkan
darah untuk persembahan kepada Baal (ay.
28).
Namun, tak ada api yang menyala. Sebaliknya, ketika Elia memanggil nama Allah,
persembahannya yang kuyup disambar api dari langit dan menyala hebat. Jelaslah
sudah siapa penguasa air dan api yang sebenarnya! Bukan Baal, melainkan Yahweh!
Pertempuran yang dialami Elia
terus dihadapi juga oleh orang Kristen. Banyak orang Kristen mengakui Allah,
tetapi dalam hidup kesehariannya tetap seolah tak ada Allah. Apalagi jika
kekeringan melanda batin, kita diam-diam mengharapkan hal dari dunia untuk
memenuhi kebutuhan kita. Seperti Ahab, raja Israel yang mengandalkan Izebel dan
nabi-nabi Baal, bukan Allah Israel!
Bagi Ahab, berharap dan
menanti Allah adalah sikap yang tidak praktis. Sebab, Allah sejati tak bisa
dimanfaatkan untuk agenda pribadi. Menurutnya, menyenangkan Izebel dan Baal
lebih berguna daripada harus mengikut Allah yang tak bisa diramalkan dan
dimanfaatkan.
Walau banyak rakyat Israel
sujud menyembah Tuhan saat melihat pekerjaan Allah melalui Elia, Ahab
tetap saja tak bertobat. Ternyata pertobatan adalah pilihan; satu pilihan saja,
yaitu memilih memihak kepada Allah dengan kesadaran penuh setiap saat. Memang
bukan hal mudah. Bahkan, menyaksikan mukjizat spektakuler seperti yang dilakukan
Elia juga bukan jaminan bagi seseorang untuk mengalami pertobatan.
Namun, seperti kasus Ahab dan
Israel, ada saatnya Allah melakukan intervensi dan mengingatkan. Ketika saat
itu datang bagi kita, baiklah kita menenangkan hati dari segala ketakutan dan
mengarahkan diri kepada Tuhan.
Memilih ikut Tuhan tidak
menjamin hidup mudah. Elia tetap menghadapi ancaman. Namun seperti Elia, kita
bisa memandang awan pengharapan dari Tuhan, dan membiarkan hujan berkat-Nya
menolong kita.
Nabi yang Minta Mati
1 Raja-raja 19:1-18
Walaupun Elia adalah seorang
nabi besar, perjalanannya bersama Tuhan tidaklah mudah. Nabi Tuhan yang dicatat
minta mati di dalam Alkitab di antaranya adalah Elia, Yunus (Yun 4:3), dan Musa (Bil 11:14,
15). Apakah Elia ditimpa depresi?
Jika ya, maka Allah justru menolong Elia dengan hal-hal yang sederhana.
Membiarkan Elia tidur, makan roti bakar, dan minum air kendi untuk kekuatan
fisik. Hal-hal sederhana semacam itulah yang justru dibutuhkan banyak orang
yang diserang depresi.
Bahkan mendengarkan suara
Tuhan menjadi tantangan tersendiri bagi Elia. Allah tak hadir dalam angin hebat
yang membelah gunung dan memecah bukit, atau gempa dan api. Allah justru hadir dalam suara
angin yang hening (sepoi-sepoi). Suara dan keheningan adalah dua kata
yang berkontradiksi yang muncul dalam kalimat ini, yang menggambarkan misteri
ilahi yang tak mampu diselami Elia.
Allah juga meluruskan ketakpahaman Elia. Nabi Elia tidak sendiri, masih ada tujuh ribu orang di Israel yang setia. Perintah-perintah yang diberikan Allah kepada Elia juga berdampak terhadap nasib Israel dan Elisa yang akan meneruskan tugasnya.
Mengikut Tuhan yang hidup
memang penuh risiko dan dapat diselubungi ketidakpahaman. Elia pun harus
bergulat dengan keheningan angin Tuhan. Namun, di tengah ketidakmengertian itu
terdapat pilihan untuk mengikut Tuhan atau meninggalkan Dia. Sejarah raja-raja
Israel menceritakan konsekuensi pilihan-pilihan ini. Elia pun memilih sikapnya.
Ia menjalankan misi yang diberikan kepadanya, bahkan ketika kematian terasa
lebih baik.
Berbeda dari Elia, Yesus
justru minta dilewatkan dari cawan kematian di Taman Getsemani. Namun, baik
Elia maupun Yesus tak mendapat apa yang mereka minta. Allah punya rencana
melalui misi yang diemban Elia dan Yesus. Mereka pun memilih taat menyelesaikan
misi dari Allah.
Mengikut Tuhan memang tidak
menjamin kita paham sepenuhnya misteri rencana Allah. Namun, kita punya banyak
teladan untuk tetap taat walaupun tak sepenuhnya paham.
Taat Ikut Panggilan
1 Raja-raja 19:19-21
Elisa, pemilik dua belas
pasang lembu,
tampaknya cukup berada dan mapan. Panggilan Tuhan menghampirinya ketika Elia
melemparkan jubah kepadanya sebagai tanda otoritas kenabian.
Elisa lalu menyembelih
pasangan lembunya sebagai tanda syukur dan membagikannya kepada para pekerjanya. Hal itu
dilakukannya sebelum masuk ke pelayanan penuh waktu. Kemudian Elisa melangkah
mengikuti Elia.
Berbagai kisah panggilan Tuhan
tertulis di dalam Alkitab. Ada yang berusaha menolak seperti Musa, bahkan ada
yang berusaha melarikan diri seperti Yunus. Namun, dalam kasus Elisa, yang ada
hanya ketaatan. Cuma satu permintaannya, mencium ayah dan ibunya dulu sebelum terjun sepenuhnya ke dalam
pelayanan.
Kisah berbagai orang yang
dipanggil ke dalam pelayanan sering penuh pergumulan. Ada pergulatan dengan
diri sendiri, ada yang bergumul dengan keluarga dekat yang tidak bisa menerima.
Dan ada pula yang harus bergulat dengan gereja yang memandang mereka sebagai
penyesat, seperti yang dialami oleh Luther dan Calvin. Namun, respons yang
benar akan panggilan Tuhan adalah taat dan melontarkan diri ke dalam pimpinan
Tuhan.
Ketaatan bisa saja seringkas
kisah Elisa, atau serumit kisah Musa atau Yunus. Setiap kita dipanggil dengan
cara dan untuk misi yang unik. Setiap orang harus menjalani proses panggilannya
sendiri. Ada yang bergumul keras untuk masuk ke seminari, tetapi ada yang
justru harus pindah ke seminari lain karena perubahan arah dalam mencerna
panggilan Tuhan.
Kisah panggilan Elisa memang
terkesan lurus dan sederhana. Namun, kita semua tahu kesulitan meninggalkan
hidup yang mapan. Sangat diperlukan keberanian untuk terjun ke dalam
ketidakpastian. Terlebih lagi kalau harus menghadapi kekuasaan penindas seperti
Ahab dan Izebel.
Ketika suara panggilan itu
menghampiri kita. Ketika kita sudah selesai dengan kemapanan dan orang tua
kita, semoga Tuhan menolong kita melangkah seperti Elisa, ikut dalam tuntunan
Tuhan.
Intervensi Allah Yang Mahabaik
1 Raja-raja 20:1-22
Kebaikan Allah nyata dalam
perjalanan hidup yang sedang kita jalani. Pemeliharaan dan kasih setia-Nya
ditunjukkan dalam setiap peristiwa. Namun kenyataannya, terkadang sulit bagi
kita untuk melihat dan datang bersandar kepada-Nya.
Dalam situasi pengepungan yang
dihadapi oleh Ahab, tetap sulit bagi dia untuk menyandarkan harapannya kepada
Tuhan yang telah berbicara melalui Nabi Elia dengan berbagai peristiwa yang
bersifat adi kodrati. Benhadad sebagai raja Aram, berlaku sewenang-wenang
terhadapnya dengan mengubah syarat-syarat untuk Ahab takluk kepadanya (ay. 1-6). Ahab kehilangan martabat di
negaranya sendiri. Ia putus asa, sehingga memberikan jawaban terhadap utusan
raja Aram yang berupa ancaman (ay. 9,
11). Ahab tidak memiliki dasar pengharapan yang kepadanya ia dapat bergantung.
Dalam situasi seperti itu,
Tuhan tetap melakukan intervensi sekalipun Ahab tidak meminta pertolongan
kepada-Nya. Tuhan berbicara melalui perantaraan nabi-Nya untuk memberi jalan
keluar bagi permasalahan yang dihadapi oleh Ahab. Kemenangan dapat mereka
peroleh karena pertolongan Tuhan. Namun, teks tidak memberikan catatan bahwa
Ahab merespons kebaikan Tuhan dengan cara yang tepat. Teks hanya memberikan
peringatan yang diberikan oleh sang nabi kepada Ahab mengenai Aram yang akan
menyerang Samaria pada pergantian tahun (ay. 22). Ahab telah menyaksikan kedahsyatan
kuasa Allah, namun ia tidak mau bersandar kepada-Nya.
Sering kali dalam kehidupan,
kita tidak ubahnya seperti Raja Ahab. Kita telah merasakan kuasa-Nya, tetapi
tidak mau mencari pertolongan kepada Allah yang telah berulang kali mendekatkan
diri-Nya kepada kita.
Jika kita punya waktu untuk
duduk sejenak dan memikirkan segala bentuk kebaikan Tuhan, maka akan kita
sadari, sungguh dahsyat apa yang telah Dia perbuat. Allah senantiasa
menghampiri kita, mendampingi kita dan mencurahkan berkat-Nya kepada kita,
namun kadang kita lupa mengandalkan Dia. Dahulukanlah Tuhan dalam setiap
situasi karena Dia setia menolong.
Keputusanmu dan Firman Allah
1 Raja-raja 20:23-34
Dalam menjalani hidup sering
kali kita diperhadapkan pada keputusan-keputusan penting yang harus diambil.
Tak jarang kita meminta masukan untuk dapat mempertimbangkan keputusan yang
harus kita pilih. Keputusan yang tidak tepat bisa membawa kerugian, sebaliknya
keputusan yang tepat bisa membawa keuntungan.
Raja Aram dan pegawai-pegawainya telah kalah dalam peperangan pada saat pengepungan Samaria (1 Raj 20:1-22). Tidak terima akan kekalahan yang mereka alami, penasihat-penasihat itu memberikan nasihat yang merugikan dengan melihat bahwa Allah Israel adalah Allah gunung dan bukan Allah dataran. Dalam sejarahnya, pemahaman yang dimiliki oleh para penasihat itu telah ada sejak zaman Yosua, yang melihat bahwa Israel selalu memenangkan perang di gunung daripada di tanah datar karena keterbatasan kereta-kereta perang.
Sementara itu, raja Israel
menerima pesan dari abdi Allah tentang motif dan serangan yang dilakukan oleh
raja Aram terhadap orang Israel. Allah menunjukkan kepada raja Israel bahwa
Dialah Allah dan tidak ada yang lain.
Dia bukan allah gunung maupun allah dataran. Dia adalah Allah yang patut
disembah. Firman-Nya harus didengarkan dan ditaati.
Sering kali setiap keputusan
yang kita ambil dalam hidup sangat mengandalkan kekuatan dan pengertian kita
sendiri. Kita sering melupakan bahwa Allah adalah penguasa dari segala sesuatu.
Dia berdaulat penuh atas segala yang diciptakan. Tak ada apa pun yang luput
dari pandangan-Nya.
Firman-Nya merupakan kunci
bagi kemenangan kita dalam menghadapi setiap pergumulan. Firman-Nya merupakan
sandaran bagi kita untuk mengambil setiap keputusan penting. Tuhan selalu
campur tangan dalam hidup kita; Dia berdaulat mengintervensi keputusan kita
demi kebaikan kita.
Allah menghendaki kita masuk
ke dalam pengenalan yang lebih mendalam tentang siapa Diri-Nya yang sejati.
Biarlah hidup kita senantiasa bergantung pada setiap firman yang keluar dari
mulut Allah; niscaya kemenangan menjadi bagian hidup kita.
Kesempatan Adalah Anugerah
Tuhan
1 Raja-raja 20:35-43
Kesempatan merupakan salah
satu bentuk anugerah yang diberikan Tuhan. Namun, tidak semua orang dapat
melihat kesempatan sebagai peluang untuk memuliakan Tuhan. Sering kali
kesempatan yang hadir di depan mata terbuang percuma karena kedegilan kita.
Ahab adalah raja yang kisahnya
dicatat sampai beberapa pasal di dalam Alkitab. Padahal dia adalah raja yang
paling jahat di mata Tuhan jika dibandingkan dengan raja-raja Israel lain yang
juga berbuat jahat. Tuhan terus memberikan kebaikan dan kesempatan kepadanya,
tetapi ia melakukan kebodohan dengan melepaskan Benhadad, orang yang sudah
dikhususkan Tuhan untuk ditumpas. Akibatnya, Tuhan memberi hukuman kepada Ahab
(ay. 42).
Sang Nabi menyatakan bahwa ia
telah gagal dalam bertanggung jawab terhadap tugas yang diberikan kepadanya
untuk menjaga tawanan di medan pertempuran (ay. 39, 40). Ahab memberikan jawaban bahwa
sudah seharusnya orang yang lalai dengan tugasnya itu menanggung akibatnya (ay. 40). Ahab menjadi galau ketika sang nabi
menunjukkan siapa dirinya dan maksud dari gambaran yang dikemukakannya.
Ahab tidak mempergunakan
kesempatan yang diberikan oleh Tuhan kepadanya dengan baik. Orang yang berniat
membinasakan umat Allah dan menjadikan kotanya sebagai puing-puing justru
dijadikan sebagai sekutu. Ahab sibuk mengurus kemungkinan-kemungkinan yang
saling menguntungkan di antara kedua belah pihak. Ia begitu sembrono dalam
mengambil keputusan dan menghilangkan kesempatan yang telah diberikan Tuhan.
Saat Tuhan menghadirkan kesempatan dalam hidup kita, itu wujud dari kemurahan-Nya. Ketika kesempatan hadir, tanggung jawab kita adalah mengembalikan segala hormat dan kemuliaan hanya bagi nama Tuhan. Sudah semestinya kita berhati-hati dalam menggunakan kesempatan yang diberikan Tuhan.
Dalam hidup yang kita jalani,
apakah kita sudah bertanggung jawab dalam menggunakan setiap kesempatan yang
hadir? Ataukah, kita begitu sembrono sehingga tidak memanfaatkannya?
Tuhan yang Berbelas Kasihan
1 Raja-raja 21:1-29
Tak ada manusia yang tak
pernah berbuat salah di mata Tuhan. Kita lahir dengan natur dosa yang melekat.
Bahkan setelah kita hidup di dalam Kristus, kita masih sering berbuat dosa dan
kondisi itu menjauhkan kita dari Allah. Akibatnya, sering kali kita merasa
terlalu kotor untuk dapat diterima oleh Allah.
Dalam sejarah Israel, Ahab merupakan salah satu raja yang jahat di mata Tuhan. Ia sering mengambil keputusan tidak tepat ketika hatinya berada dalam suasana campur aduk. Salah satunya, ia mengambil kebun anggur Nabot dengan cara yang keji dalam kesepakatannya bersama dengan Izebel istrinya.
Nabot dibunuh dalam pemufakatan keji dengan fitnah yang dilontarkan kepadanya. Ahab merespons dengan mendatangi kebun anggur Nabot setelah kabar kematian Nabot disampaikan kepadanya. Tak ada penyesalan atas dosa yang dilakukannya, sehingga Tuhan menyatakan penghukuman kepadanya melalui Elia.
Alkitab mencatat bahwa tidak pernah ada orang seperti Ahab yang memperbudak dirinya sedemikian rupa. Ia juga melakukan tindakan keji lainnya di mata Tuhan, yakni menyembah berhala.
Ahab memberikan respons yang
tepat ketika ia mendapat teguran dari Nabi Elia. Ia merendahkan diri di hadapan
Tuhan dengan mengoyakkan pakaiannya, mengenakan kain kabung dan berpuasa. Tuhan pun menunjukkan belas
kasihan-Nya kepada Ahab.
Dalam hidup yang kita jalani,
seberapa burukkah tindakan jahat yang pernah kita lakukan di hadapan Tuhan?
Ahab yang begitu jahat tetap memperoleh belas kasihan Tuhan. Melalui
nabi-nabi-Nya, Tuhan terus memperlihatkan Diri-Nya kepada Ahab.
Tidak ada kata terlambat bagi
kita untuk merendahkan diri di hadapan Tuhan. Berpalinglah dari dosa-dosa kita
dan kembalilah kepada Tuhan. Mintalah pengampunan dari pada-Nya. Dia tak pernah
menolak anak-anak-Nya yang berbalik dengan sepenuh hati kepada-Nya. Ingatlah,
pada-Nya ada kemurahan dan belas kasihan.
Bijaksanalah dalam Bergaul
1 Raja-raja 22:1-40
Alkitab menyatakan bahwa
pergaulan yang buruk merusak kebiasaan yang baik. Terkadang sebagai orang
percaya, kita tidak cukup bijak dalam memilih pergaulan. Jika ada hal-hal yang
menguntungkan, beberapa orang Kristen rela menggadaikan prinsip-prinsip yang
dipegang.
Persahabatan antara Yosafat,
raja Yehuda dan Ahab, raja Israel, terjadi ketika Yosafat menikahkan anaknya
dengan anak perempuan Ahab. Yosafat dikenal sebagai raja yang saleh. Tetapi,
Ahab adalah raja yang jahat di mata Tuhan.
Tiga tahun lamanya orang
Israel hidup tanpa peperangan. Tetapi, Ahab mengajak Yosafat untuk mengadakan
peperangan melawan Aram. Ahab
mencari gara-gara yang menyebabkan kematiannya sendiri; itu sesuai firman
Allah.
Yosafat meminta raja Israel untuk
memohon petunjuk Tuhan terlebih dahulu sebelum mereka pergi berperang. Namun,
respons sang sahabat justru mengumpulkan nabi-nabi Baal yang berbicara untuk
memuaskan keinginan telinga sang raja semata. Kemudian, Yosafat menanyakan
apakah masih ada nabi Tuhan di Samaria.
Prinsip
dan keyakinan Yosafat berbeda jauh dibanding Ahab.
Setelah mendengarkan sabda
Allah melalui sang nabi, Ahab meminta sahabatnya memakai pakaian kebesaran.
Sementara itu, ia menyamar agar firman Allah tidak tergenapi. Cara berpikir
yang picik telah ditunjukkan Ahab dalam menjalin persahabatan.
Persahabatan dengan
orang-orang yang tidak mengenal Allah sering kali berujung tidak sejalan dalam
pengambilan keputusan. Nilai-nilai yang dimiliki lebih menekankan pada kepuasan
diri daripada kemuliaan Allah. Orang-orang yang tidak mengenal Allah lebih
menyukai hal-hal yang sedap didengar oleh telinga daripada fakta kebenaran.
Seperti Ahab, demi kepentingan keselamatan diri sendiri, ia tidak segan
mengorbankan sahabatnya.
Bagaimana cara kita, sebagai
orang percaya, membangun relasi dengan orang-orang yang tidak percaya dalam
sebuah kerja sama tanpa mengorbankan prinsip-prinsip kebenaran Allah?
Apa yang Hendak Kauwariskan?
1 Raja-raja 22:41-53
Pendidikan moral dan keagamaan
merupakan hal yang penting untuk diwariskan kepada anak cucu dalam sebuah
keluarga. Kegagalan orang tua sebagai teladan dalam keluarga dapat menjadi
contoh buruk bagi masa depan seorang anak. Hal seperti ini banyak diceritakan
kepada kita dalam kisah Alkitab.
Bacaan kita hari ini
menceritakan tentang kisah kehidupan Yosafat dan Ahazia --raja Yehuda dan raja
Israel. Sebagai raja yang saleh, Yosafat hidup sesuai dengan ketetapan Tuhan.
Ia cukup lama memerintah sebagai raja.
Sepanjang hidupnya, Yosafat tak menyimpang dari jalan Tuhan.
Sementara itu, Ahazia berbeda
dari Yosafat. Dirinya digambarkan sebagai raja yang jahat di hadapan Tuhan.
Kelakuannya mengikuti Ahab dan Izebel, ayah dan ibunya. Ia tidak takut akan Tuhan dalam
kehidupannya. Setiap tindak tanduknya menimbulkan sakit hati Tuhan, persis
seperti yang dilakukan oleh leluhurnya.
Hidup takut akan Allah
merupakan sikap hidup yang dapat diwariskan kepada generasi berikutnya. Jejak
yang ditinggalkan orang tua yang saleh menjadi teladan yang akan diikuti oleh
generasi di bawahnya. Asa sebagai seorang raja yang takut akan Tuhan dicontoh
oleh anaknya, Yosafat. Prinsip hidup takut akan Tuhan begitu nyata dalam kisah
hidup Yosafat. Petunjuk Tuhan diandalkannya dalam setiap pengambilan keputusan.
Hal itu terlihat dari peperangan bersama Ahab melawan bangsa Aram.
Sebaliknya, Ahazia selalu
berbuat dosa. Ia menyebabkan orang Israel berdosa di hadapan Tuhan. Lalu,
bagaimana dengan kehidupan kita? Apa yang hendak kita wariskan kepada generasi
selanjutnya? Akankah perjalanan iman kita menjadi harta karun rohani bagi
generasi di bawah kita?
Mari kita ikuti teladan
kehidupan keluarga Yosafat, bukan Ahazia. Mari kita terus berusaha menerapkan
prinsip hidup takut akan Tuhan. Mari kita juga terus-menerus belajar menaati
perintah Tuhan dalam setiap langkah hidup yang kita jalani. Kiranya perjuangan
iman kita meninggalkan warisan yang bermanfaat bagi generasi-generasi di bawah
kita selanjutnya.
Posting Komentar untuk "Tentu Ia Membunuh Aku 1 Raja-raja Pasal 18 – 22 - Renungan Harian Tahun 2023"
Berkomentar yg membangun dan memberkati.