Arti BAPTISAN AIR Makna dan Macam-Macam Baptisan
Baptisan Air
PENDAHULUAN
Secara
etimologi, baptis berasal dari bahasa Yunani baptiso (Matius 28:19, Markus 10:38, dll), yang dalam bahasa Inggrisnya diterjemahkan sebagai immerse atau dip, yang sama-sama
memiliki arti dicelupkan, dibenamkan atau
mandi/masuk ke dalam air. Tetapi selain itu kata tersebut juga memiliki
arti jewish ritual washings, wash one's
hands, yang artinya adalah mencuci/menyiram.
Sedang dalam Perjanjian Lama, juga dikenal sebuah kegiatan yang serupa
dengan baptis, yang berasal dari bahasa Ibrani
(zaraq) yang artinya dalam
bahasa Inggris adalah sprinkle, strew
yang memiliki arti menabur atau memercik
(Keluaran 24:6).
Juga dalam Imamat 14:27, dijumpai pula kata nazah yang dalam bahasa Inggrisnya memiliki arti sprinkle (memercik).
Selain itu dalam PL, dijumpai kata tabal (2 Raja-Raja 5:14), yang sepadan
artinya dengan kata βαπτίζω dalam PB.
Ada lagi sebuah upacara "baptis" dalam PL yang dinamakan tevilah, dimana calon yang dibaptis
adalah non-Yahudi yang akan masuk menjadi pengikut agama Yahudi. Kalangan
non-Yahudi yang dibaptis itu disebut kalangan proselit. Menurut Talmud dan sudut pandang Parisi-Palestina, di
samping harus dibenamkan ke dalam air (dibaptis), kalangan proselit itu harus disunat dan mempersembahkan korban. Pengertian
ini selaras dengan arti βαπτίζω dalam PB.
ARTI DAN MAKNA KATA
Dalam KBBI, baptis diartikan
sebagai penggunaan air untuk penyucian keagamaan, khususnya sebagai sakramen
penerimaan seseorang ke dalam agama Kristen.
Sedang menurut Full Life,
baptis diartikan sebagai suatu ikrar untuk meninggalkan semua kedursilaan,
dunia, dan perangai yang berdosa, dan dengan terang-terangan mengabdi kepada
Kristus.
Dalam Wycliffe disebutkan arti
baptis yakni sebagai suatu upacara simbolik dengan mana seseorang secara
terbuka mengakui komitmen pribadinya terhadap berita Kristiani.
Dalam Moody Handbook of Theology,
baptis diartikan sebagai tanda dan meterai dari kovenan (perjanjian) dan simbol
keselamatan, yakni bahwa baptisan hanya merupakan tanda luar dari perubahan
yang terjadi didalam. Berfungsi sebagai kesaksian dari iman kepada Kristus.
Dalam pengartian secara bebas dari beberapa sumber lainnya, baptis dapat
didefinisikan sebagai berikut :
- Baptisan
merupakan deklarasi iman kepada dunia dan juga kepada Iblis bahwa kita
adalah milik dari Kristus. Dan menunjuk kepada tanda milik yang
dimeteraikan dalam nama Bapa, Anak dan Roh Kudus.
- Baptisan
adalah kesaksian dari apa yang terjadi di dalam kehidupan orang percaya.
- Baptisan
adalah tanda, bahwa seseorang menerima perjanjian tanda iman/kepercayaan
(ende).
- Baptisan
adalah langkah ketaatan, pernyataan iman seseorang secara terbuka bahwa
dia percaya kepada Kristus sebagai satu-satunya jalan keselamatan.
5. Dan
masih banyak lagi pengartian lainnya.
MACAM-MACAM BAPTISAN
Dijumpai adanya
3 macam baptisan dalam Alkitab, yakni sebagai berikut :
- Baptisan
Air, yang dapat dibagi lagi menurut caranya, yakni baptisan siram,
baptisan selam dan baptisan percik. Dukungan ayat Alkitab terhadap baptis
siram, antara lain dari KPR 10:48 ; 16:33. Sedangkan baptisan selam
biasanya mempergunakan dukungan ayat yang sama. Hal ini disebabkan karena
terjemahan dari βαπτίζω
dapat diartikan sebagai selam ataupun siram. Sedangkan dasar pemikiran
dari baptis percik akan dibahas kemudian.
- Baptisan
Roh Kudus dapat didefinisikan sebagai karya Roh Allah yang mempersatukan
orang percaya dengan Kristus dan dengan orang-orang percaya lainnya dalam
Tubuh Kristus pada saat orang itu diselamatkan (1 Korintus 12:12-13). Baptisan
Roh Kudus menggenapi dua hal, (1) menyatukan kita dengan Tubuh Kristus,
dan (2) mengaktualisasikan penyaliban kita bersama dengan Kristus. Berada
dalam tubuh Kristus berarti kita bangkit bersama dengan Dia dalam hidup
yang baru (Roma 6:4).
- Baptisan
api dapat
ditafsirkan sebagai sama dengan baptisan Roh Kudus melalui simbol lahiriah
berupa api", atau "lidah api yang menyala-nyala", yang
merujuk kepada baptisan Pentakosta. Tetapi Baptisan
Api (dalam Matius 3:11) dapat juga ditafsirkan sebagai lambang
pembersihan sehabis-habisnya dan tidak
tanpa kepedihan, seperti emas dalam api dibersihkan dari segala
campuran yang tidak murni (ende),
yang terdengar seperti istilah purgatory
dalam Katolik. Namun ada pula yang menafsirkannya berbeda lagi sebagai
berikut : Menurut konteksnya, api di sini bukanlah api dalam KPR 2:3, yang
berhubungan dengan Roh Kudus, melainkan api yang sama dengan yang
disebutkan dalam ay. 10 dan 12, tempat orang yang tidak percaya mengalami
kebinasaan kekal. Perkataan Yohanes yang ditujukan kepada orang Farisi dan
Saduki di sini berarti, jika orang Farisi dan orang Saduki mau
sungguh-sungguh bertobat dan percaya kepada Tuhan, Tuhan akan membaptis
mereka dengan Roh Kudus supaya mereka bisa mendapatkan kehidupan kekal; namun
kalau tidak, Tuhan akan “membaptis” mereka dengan api, dengan menaruh
mereka dalam telaga api untuk dihukum selamanya, neraka abadi.
PENTINGNYA BAPTISAN
Pentingnya
baptisan ditegaskan dalam beberapa pertimbangan sebagai berikut :
1. Kristus
dibaptis (Matius 3:16). Walaupun arti baptisanNya berbeda sama sekali dari arti
baptisan orang Kristen, namun hal itu berarti bahwa kita mengikuti teladan
Tuhan bila kita dibaptis.
2. Tuhan
menyetujui murid-muridNya untuk membaptiskan (Yohanes 4:1-2)
3. Kristus
memerintahkan supaya orang percaya dibaptiskan pada jaman ini (Matius 28:19).
Perintah ini jelas bukan hanya untuk para rasul yang mendengarnya, namun
berlaku juga untuk setiap pengikutNya di sepanjang jaman.
4. Gereja
mula-mula sangat mementingkan baptisan (KPR 2:38,41 ; 8:12 ; dll).
5. PB
menggunakannya untuk menggambarkan atau melambangkan kebenaran teologis yang
penting (Roma 6:1-10, Galatia 3:27).
6.
Penulis surat Ibrani
mengatakan bahwa baptisan merupakan suatu kebenaran yang mendasar (Ibrani
6:1-2).
Masalah-Masalah Yang Ada Seputar Baptis
Apakah baptis hanya sebagai simbol atau sarana keselamatan?
Ada sementara
orang dan aliran yang menyatakan bahwa upacara baptisan adalah mutlak
diperlukan sebagai syarat mencapai keselamatan. Salah satu ayat yang dipakai
sebagai pendukung adalah Markus 16:16, dengan argumentasi sebagai berikut:
Dalam Markus 16:16, Yesus berkata, "Siapa yang percaya dan dibaptis akan
diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum." Menurut
perkataan Yesus ini, siapa yang akan diselamatkan? Seorang yang percaya
sajakah? Tidak, seorang yang dibaptis sajakah? Tidak, tetapi seorang yang
percaya dan dibaptiskan. Selanjutnya mereka juga mengambil dari KPR 22:16, yang
ditafsirkan bahwa baptis dapat membasuh dosa-dosa menjadi bersih. Dengan kata
lain mereka menganggap baptis sebagai sarana mencapai keselamatan.
Sementara yang
lain tidaklah menganggapnya demikian, dan beranggapan bahwa baptis adalah
sebagai simbolisme atas pengakuan kepercayaan mereka pada Kristus sebagai
Juruselamat. Baptisan adalah langkah ketaatan yang penting bagi seorang
Kristen, namun bukanlah sebagai sesuatu yang diperlukan untuk keselamatan.
Segala sesuatu yang ditambahkan kepada iman kepada Kristus sebagai syarat
keselamatan, adalah keselamatan yang berdasarkan pekerjaan (usaha manusia). Ini
berarti bahwa kematian Yesus di atas kayu salib tidak cukup untuk membeli
keselamatan kita.
Mengatakan
bahwa kita mesti dibaptis supaya diselamatkan adalah mengatakan bahwa kita
mesti menambahkan perbuatan baik dan ketaatan kita kepada kematian Kristus,
supaya cukup untuk menyelamatkan kita. Padahal sebenarnya adalah kematian Yesus
sendiri sudah -amat sangat teramat- cukup untuk membayar hutang dosa kita (Roma
5:8; 2 Korintus 5:21). Memang
ada beberapa ayat yang sepertinya mengindikasikan bahwa baptisan adalah
persyaratan untuk keselamatan. Namun karena Alkitab dengan begitu jelas
memberitahu kita bahwa keselamatan hanya diterima berdasarkan iman semata
(Yohanes 3:16; Efesus 2:8-9; Titus 3:5), maka penafsiran yang benar untuk
ayat-ayat tersebut adalah sebagai berikut: Dalam zaman Alkitab, seseorang yang
baru bertobat dari satu agama ke agama lainnya biasanya dibaptis untuk
menyatakan pertobatan. Baptisan adalah cara untuk membuat keputusan itu
diketahui oleh umum.
Mereka yang
menolak untuk dibaptiskan, berarti
mengatakan bahwa mereka tidak sungguh-sungguh percaya. Karena itu, dalam benak
para rasul dan murid-murid mula-mula, konsep mengenai orang percaya yang tidak
dibaptiskan adalah tidak ada sama sekali. Ketika seseorang mengaku percaya
kepada Yesus Kristus, namun malu untuk mengumumkan imannya di depan umum, hal
itu mengindikasikan bahwa dia tidak memiliki iman yang sejati.
Selain itu
dengan menganggap bahwa ritual baptis sebagai syarat untuk mencapai
keselamatan, berarti menganggap ritual itu sendiri sebanding atau bahkan diatas
penebusan Yesus. Bahkan didalam Markus 16:16 yang dipakai sebagai ayat
pendukung orang-orang yang mempercayai baptis sebagai sarana keselamatan,
argumentasi merekapun terlihat tidak sempurna, karena dalam penggalan kalimat
bagian yang kedua, disebutkan “… tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum”, bukannya
“… tetapi siapa yang tidak percaya dan
tidak dibaptis akan dihukum”. Ini saja telah menunjukkan bahwa percaya
adalah hal utama, sedangkan baptis adalah sebagai tanda/deklarasi iman saja
bagi orang-orang percaya. Sehingga orang yang percaya namun belum sempat
dibaptis, seperti penjahat yang disalibkan disebelah Yesus, akan tetap
mendapatkan keselamatannya (Lukas 23:43).
Mana Baptis yang Benar, Selam atau Percik?
Seperti telah
diuraikan dalam studi etimologi diatas pada bagian pendahuluan, maka dapat kita
lihat bahwa arti kata βαπτίζω tersebut lebih kuat mengarah pada arti masuk kedalam air (selam). Namun
sebenarnya arti kata itu sendiri telah mengalami perkembangan arti, sehingga
disebutkan pula memiliki arti wash one's
hands yang artinya adalah mencuci
tangan. Perluasan arti ini dapat diilustrasikan sebagai berikut: Sebagai
contoh kata berlayar. Pada mulanya berlayar hanya mempunyai satu arti yaitu
mengarungi lautan/sungai dengan menggunakan kapal layar. Tetapi saat ini
mengarungi lautan dengan menggunakan kapal bermesin (tanpa layar) bisa juga
disebut sebagai berlayar. Jadi, berlayar tidak harus menggunakan layar.
Demikian juga dengan kata baptis. Dalam tata bahasa Yunani, kata baptis telah
mengalami perluasan arti sehingga tidak hanya berarti diselamkan saja, tetapi
juga dapat diartikan sebagai membasuh dengan air (wash one’s hand), mencuci, membersihkan diri sendiri, dan mandi.
Alasan lainnya yaitu bahwa Yohanes Pembaptis, sepupu Tuhan Yesus,
bukanlah pencetus gagasan tentang baptisan selam. Yohanes Pembaptis hanya
mengikuti tradisi yahudi yang sudah dilakukan sepanjang dua abad sebelum
kelahirannya maupun kelahiran Tuhan Yesus. Jika kita menelusuri sejarah
baptisan selam, maka kita akan menemukan maknanya yaitu bahwa baptisan selam
itu dilakukan atas orang-orang non-Israel, sebelum mereka menjadi warga
kerajaan Israel. Baptisan seperti itu disebut baptisan proselitos. Sesudah seorang asing menerima baptisan proselit, kemudian ia harus disunat
menurut ketentuan Hukum Taurat. Dalam Matius 3:5-6, Yohanes Pembaptis memaknai
baptisan proselitos yang diwarisinya dari tradisi yahudi, sebagai baptisan
untuk pertobatan dan pengakuan dosa. Dengan demikian, Alkitab tidak pernah
memberikan kesaksian, bahwa orang-orang yang dibaptis dengan cara diselamkan
menerima Roh Allah, tetapi sebaliknya, mereka bisa dibaptis, jika mengakui
kesalahan dan dosanya. Sebab Yohanes Pembaptis tidak memiliki kuasa sebagaimana
yang dimiliki oleh “Ia yang datang kemudian,” yaitu: Yesus. Sedangkan Tuhan
Yesus sendiri menyatakan rumusan pembaptisan: “Dalam nama Bapa, dan Anak dan
Roh Kudus”. Hal itu berarti, bahwa tiap Gereja dapat menentukan cara
pembaptisan menurut tradisinya masing-masing, akan tetapi yang menjadi penting
adalah rumusan pernyataannya tidak boleh berbeda dan tidak boleh diubah.
Oleh karena itu seharusnyalah kita belajar dari Markus 7:1-9, yang
menceritakan tentang adat istiadat yang dipakai oleh bangsa Yahudi, yang
diantaranya menggunakan kata βαπτισμός (baptismos) yang merupakan
perkembangan kata dari βαπτίζω. Konteksnya adalah membersihkan diri. Ayat yang perlu disorot adalah
ayat 8 “Perintah Allah kamu abaikan untuk
berpegang pada adat istiadat manusia”. Jadi kalau kita telah setuju bahwa
baptis adalah bukan sebagai sarana mencapai keselamatan, maka apa
signifikansinya mempertentangkan cara baptis itu sendiri? Namun bilamana kita
mengharuskan/ memaksakan ritual baptis selam ataupun percik itu sendiri, maka
kita akan jatuh pada asumsi bahwa baptis selam/percik itu harus dilakukan untuk
mendapat keselamatan, sehingga kembali berarti merendahkan arti pengorbanan
Yesus di kayu salib. Dengan kata lain bahwa adat istiadat lebih dimenangkan
daripada perintah Allah.
Baptisan
ulang apakah dapat dibenarkan?
Ada sebagian ajaran yang mengatakan bahwa pembaptisan ulang dapat
dibenarkan yakni dengan argumentasi sebagai berikut :
“ Banyak orang yang tidak pernah membaca Alkitab
alergi dengan istilah baptis ulang. Di dalam Kisah Para Rasul 19: 1-7 terjadi
kronologi pembaptisan ulang; orang-orang yang telah dibaptis oleh Yohanes
pembaptis namun belum bertobat maka saat bertemu dengan Rasul Paulus mereka
dibaptis ulang karena baptisan mereka yang pertama tidak memenuhi syarat-syarat
yang benar. Itulah sebabnya orang yang menuduh baptis ulang sesat sama dengan
menuduh Alkitab salah dan Rasul Paulus sesat. Dari tindakan Paulus tersebut
bahwa adalah hal yang sangat bijaksana dan berkenan di mata Tuhan bila orang
yang belum memenuhi syarat-syarat dibaptis dengan benar dinasehati untuk
memberi diri dibaptis dengan benar, dan orang yang memberi nasehat demikian
adalah orang yang telah berada dalam jemaat yang Alkitabiah”.
Bilamana kita telaah lebih dalam, maka dapat kita ketahui bahwa Rasul
Paulus menjumpai orang-orang yang telah dibaptis tanpa secara lengkap
mengetahui kebenaran tentang Kristus. Mereka dibaptis hanya dengan dasar
pertobatan saja, bukan atas pengakuan bahwa Yesus telah menjadi Juruselamat
mereka. Oleh karena itu Paulus menanyakan apakah mereka telah menerima Roh
Kudus, karena dalam PB, ketika seseorang bertobat dan percaya pada Yesus
sebagai Juruselamatnya, maka pada saat itulah Roh Kudus hadir dalam diri orang
tersebut (Wycliffe). Faktanya adalah
bahwa mereka belum menerima Roh Kudus, sehingga dapat disimpulkan bahwa mereka
belum mengenal dan mengakui Yesus, sehingga untuk itulah Paulus membaptis ulang
mereka. Memang mereka telah menerima baptisan dari Yohanes Pembaptis oleh
karena pertobatan mereka. Namun pertobatan itu belumlah lengkap (belum
mendapatkan keselamatan) kalau tidak melangkah pada perpalingan dan iman pada
Kristus.
Seperti diuraikan oleh Pdt. Chris
Marantika dalam bukunya yang berjudul Doktrin
Keselamatan dan Kehidupan Rohani, pertobatan memiliki arti repentance, yang dapat dijabarkan
sebagai berikut :
- Pengenalan diri sebagai orang berdosa
- Kesadaran akan kesalahan disertai rasa malu dan
takut
- Kesadaran akan penghukuman
- Daya tarik dosa dilemahkan
- Cinta pada dosa sudah mulai mati
- Kebencian terhadap dosa
- Tindakan tegas untuk mengundurkan diri dari dosa
Namun seseorang yang telah bertobat dalam artian repentance tadi belumlah mendapatkan keselamatan sebelum ia
melakukan perpalingan (conversion)
untuk menuju pada iman (faith)
terhadap Kristus. Pada tahap setelah faith
inilah baru seharusnya baptisan dilakukan seseorang untuk mendeklarasikan
imannya.
Jadi dalam kasus diatas, pembaptisan ulang yang dilakukan Paulus menjadi
sah-sah saja dilakukan, tapi bukan karena caranya yang dianggap tidak
Alkitabiah (selam ataupun percik), namun karena orang-orang ini belum berpaling
dan beriman kepada Kristus.
Baptisan Anak Antara Pro Dan Kontra
Dalam Moody Handbook of Theology, dijelaskan
bahwa baptisan anak dilakukan dengan berdasar pada teologi kovenan. Sebagaimana bayi-bayi
di Israel disunat dan melalui itu mereka masuk kedalam komunitas orang percaya,
demikian pula baptisan anak, sebagai pengganti dari sunat, membawa anak-anak
itu kedalam komunitas Kristen.
Tetapi juga ada
pendapat yang berseberangan, yakni yang beranggapan bahwa karena anak atau bayi
belum dapat mengerti makna baptis, dan belum dapat melakukan pengakuan iman
percaya, maka anak tersebut tidak bisa mendapatkan sakramen baptisan hingga ia
mencapai usia dewasa.
Namun ternyata
ada satu lagi pendapat, yang kelihatannya dapat menyatukan kedua pendapat yang
berseberangan tersebut diatas, dengan dasar pemikiran sebagai berikut :
Ketika berumur
8 hari, Yesus disunat, ini menandakan bahwa Perjanjian Allah pada Abraham
(bangsa Israel) masih berlaku, karena bilamana tidak, maka niscaya akan ada
perintah Allah melalui MalaikatNya untuk melarangnya. Ketika Yesus dibaptis,
disitulah Yesus memperbarui perjanjian Allah itu, yakni bukan lagi dengan sunat
melainkan dengan baptis, sebagai tanda perjanjian. Tapi apa sebenarnya janji
Allah pada Abraham? Apakah berkaitan dengan keselamatan? Apakah bahwa dengan
perjanjian ini setiap keturunan Abraham (bangsa Israel) pasti mendapatkan
keselamatan? Sepertinya
tidaklah demikian, karena kita mengenal keselamatan dalam PL adalah berdasarkan
pengharapan pada kedatangan Mesias. Jadi sunat sebagai tanda perjanjian, sama
sekali tidak terkait dengan janji keselamatan.
Bila kita
cermati lebih lanjut, maka sebenarnya perjanjian Allah terhadap Abraham adalah
salah satunya menekankan pada janji penyertaan dan berkat (Kejadian 26:3-5)
disamping janji-janji lainnya. Namun sama sekali tidak dijumpai adanya janji
keselamatan itu sendiri. Bila janji ini berbicara tentang keselamatan, maka
seharusnya semua orang Israel pada jaman PL akan diselamatkan, karena Allah
setia pada janjiNya. Berarti
bahwa baik sunat maupun baptis bukanlah sebagai tanda keselamatan. Benarkah? Sunat memang
bukan tanda keselamatan, namun baptis, selain sebagai tanda perjanjian (yang
selaras dengan sunat) ternyata mengalami pengembangan makna dalam PB, sehingga
baptis dapat pula berarti tanda keselamatan, seperti yang termaktub dalam
Kolose 2:11-12 : “Dalam Dia kamu telah
disunat, bukan dengan sunat yang dilakukan oleh manusia, tetapi dengan sunat
Kristus, yang terdiri dari penanggalan akan tubuh yang berdosa, karena dengan
Dia kamu dikuburkan dalam baptisan, dan di dalam Dia kamu turut dibangkitkan
juga oleh kepercayaanmu kepada kerja kuasa Allah, yang telah membangkitkan Dia
dari orang mati.”
Jadi telah
jelas sekarang bahwa dalam era PB, baptisan telah memiliki 2 makna, yaitu (1)
sebagai tanda perjanjian bahwa Tuhan akan senantiasa menyertai dan memberkati
dalam kapasitasnya menggantikan tanda sunat, dan (2) sebagai tanda keselamatan.
Sehingga dalam hal ini baptisan anak dapat diterima dan diakomodasi, sama
halnya sunat dalam PL. Namun perlu diketahui bahwa walaupun baptisan anak telah
dilakukan, hal ini tidaklah menjamin keselamatan, yang juga selaras dengan
sunat pada PL. Keselamatan tetap pribadi sifatnya, pilihan Tuhan, berdasarkan kedaulatannya. Keselamatan pada baptisan
PB hanya dijamin sampai dengan anak tersebut mampu mengerti dan percaya. Jadi bilamana seorang
anak/bayi dari keluarga Kristen meninggal dunia sebelum ia mampu mengerti dan
percaya, dan bahkan sebelum ia dibaptis sekalipun, maka ia akan mendapatkan
keselamatan, lain halnya dengan anak/bayi dari keluarga non Kristen.
Hal ini dapat dijelaskan
bukan dengan konsep “keselamatan warisan”, melainkan dijelaskan dengan konsep
“umat pilihan”. Jadi bayi/anak yang lahir dari keluarga Kristen lalu kemudian
meninggal dini, maka berarti ia telah dipilih Tuhan untuk menjadi umatNya,
mendapatkan keselamatan dariNya. Tetapi bilamana bayi yang lahir dari keluarga
Kristen itu tidak mati secara dini, melainkan ia bertumbuh menjadi dewasa, maka
keselamatan itu tidak lagi melekat pada dirinya bilamana ia ternyata tidak
percaya dan menerima Yesus sebagai Juruselamat. Bisa saja anak tersebut bukan
merupakan umat pilihan, melainkan hanya “numpang
lewat” saja di sebuah keluarga Kristen, entah dengan tujuan apa. Pada titik
ini kelihatan jelas bahwa keselamatan itu adalah berdasarkan pilihan Tuhan
(selaras dengan konsep umat pilihan).
Hal ini dapat
dianalogikan dengan prinsip kewarganegaraan. Untuk seorang anak
dengan orang tua WNI namun lahir di Amerika, maka anak tersebut berhak
menyandang 2 kewarganegaraan, hingga tiba usianya (18 tahun) ketika anak
tersebut telah dianggap cukup dewasa untuk mengerti dan melakukan pilihannya
sendiri. Hanya saja masalahnya kita tidak dapat mengetahui jaminan keselamatan
bagi bayi/anak dari keluarga Kristen itu hingga ia mencapai usia berapa. Hal
ini juga berlaku bagi anak cacat mental dari keluarga Kristen. Jadi mungkin
saja batasannya bukan dengan menggunakan usia sebagai tolok ukurnya, namun
dengan batasan lain yang belum dapat kita mengerti karena belum dinyatakan bagi
kita. Oleh
karenanya, menjadi tidak signifikan dan sia-sia saja bilamana kita harus
berdebat untuk hal-hal yang belum dinyatakan kebenarannya bagi kita.
Kapan baptisan itu mulai ada?
Baptisan
(TEVILÂH) dalam PL ini bukanlah berasal dari tindakan Kristiani. Sepanjang
Perjanjian Lama dapatkita temukan ungkapan yang berhubungan dengan TEVILÂH.
Bani Israel harus melakukan TEVILÂH sebelum mereka melakukan ritual ibadah. Para imam harus
melakukan TEVILÂH, seorang wanita harus melakukan TEVILÂH satu kali dalam
sebulan, dll. Banyak
sekali contoh yang ada bahwa BAPTISAN atau TEVILÂH adalah suatu hal yang lazim
di kalangan Israel. Kata TEVILÂH ini secara etimologi berpadanan dengan kata
Yunani "βαπτιζω -
baptizô", namun tidak demikian dengan maknanya dalam Perjanjian Baru.
Upacara
"baptis" dalam agama Yahudi ini mereka namakan TEVILÂH dan calon yang
dibaptis adalah non-Yahudi yang akan masuk menjadi pengikut agama Yahudi. Pengertian yang satu
ini nampaknya selaras dengan pengertian baptisan pada PB, tapi perlu dicermati
lagi perbedaannya, karena dalam PB baptisan adalah secara spesifik menuju pada
sosok Kristus.
Jadi dapat
disimpulkan bahwa sebenarnya ritual semacam baptisan telah ada di PL, walaupun
memiliki makna yang berbeda dengan yang ada dalam PB.
Kesimpulan
Cara
pembaptisan (selam, siram ataupun percik) tidak signifikan untuk dijadikan
bahan perdebatan bahkan perselisihan, karena itu hanya menyangkut perbedaan
penafsiran saja, bukannya perbedaan yang prinsip, karena tidak menyangkut isu
keselamatan. Dalam
hal ini perlu kita ingat bahwa keselamatan bukan didapat karena ritual baptis
itu sendiri, melainkan pengakuan percaya pada Tuhan Yesus Kristus. Baptis hanya sebagai
symbol atau tanda deklarasi iman dari orang percaya. Oleh karenanya orang
percaya yang belum sempat dibaptiskan, tetap akan mendapatkan keselamatannya.
Baptis ulang
tidak signifikan untuk dilakukan, walaupun tidak menutup kemungkinan bahwa
memang perlu dilakukan karena kondisi-kondisi yang amat vital. Hal ini menjadi
tidak signifikan karena apabila seseorang telah dibaptis dalam nama Bapa, Anak
dan Roh Kudus, namun belum benar-benar mempercayaiNya, dan dikemudian hari
terbukti ia benar-benar percaya, maka yang diperlukan hanyalah sekedar
katekesasi ulang saja baginya dan mungkin dilakukan sidi. Namun yang jelas
baptis ulang tidak perlu dilakukan hanya berdasar pertimbangan tata cara ritual
saja (secara selam atau percik, secara katolik atau protestan atau pantekosta,
dan macam-macam ritual lainnya). Bilamana ini dilakukan karena dasar-dasar
ritual saja, itu sama dengan menganggap ritual itu sendiri dapat menyelamatkan,
bukannya iman.
Karena dalam
era PB, baptisan telah memiliki 2 makna, yaitu
1. Sebagai
tanda perjanjian bahwa Tuhan akan senantiasa menyertai dan memberkati dalam
kapasitasnya menggantikan tanda sunat.
2. Sebagai
tanda keselamatan. Sehingga dalam hal ini baptisan anak dapat diterima dan
diakomodasi menjadi salah satu sakramen dalam gereja.Selain itu seorang
bayi/anak dalam keluarga Kristen dijamin keselamatannya, bahkan tanpa baptis
sekalipun sampai dengan anak tersebut dapat mengerti sendiri. Hal ini dijelaskan
hanya dengan menggunakan konsep umat pilihan saja.
Ritual
yang menyerupai baptisan telah ada sejak jaman PL, walaupun berbeda makna
dengan baptis dalam PB. Oleh
karenanya bilamana berbicara dalam konteks Kristiani (pengikut Kristus), maka
kita dapat nyatakan bahwa baptis mulai ada pada jaman PB.
__________________________
DAFTAR PUSTAKA
1. Pedoman
bagi Gembala Sidang dan Pimpinan Jemaat, William E. Pickhorn, Penerbit Gandum
Mas
2. The
Moody Handbook of Theology– Buku Pegangan Teologi Jilid 1, Paul Enns, Literatur
SAAT, Cetakan ke-5, 2010
3. Teologi
Dasar 2 – Panduan Populer untuk Memahami Kebenaran Alkitab, Charles C. Ryrie,
Penerbit ANDI, Cetakan Ke-12, 2010
4. Doktrin
Keselamatan dan Kehidupan Rohani – Soteriology and Spiritual Life, Pdt. Chris
Marantika, ThD., DD., Iman Press Yogyakarta, Cetakan Ke-3, 2009
5. The
Wycliffe Bible Commentary – Tafsiran Alkitab Wycliffe - Volume 3 Perjanjian
Baru, Charles F.Pfeiffer dan Everett F. Harrison, Penerbit Gandum Mas, Cetakan
Ke-4, 2013
Posting Komentar untuk "Arti BAPTISAN AIR Makna dan Macam-Macam Baptisan"
Berkomentar yg membangun dan memberkati.