PENGERTIAN EUTHANASIA, JENIS-JENIS EUTHANASIA DAN MENURUT HUKUM DI INDONESIA
Penyakit mematikan,
koma, kelumpuhan, kelahiran bayi yang cacat dan sebagainya, dapat menimbulkan
pertanyaan apakah kita menjalani atau menggunakan semua cara untuk mempertahankan
seseorang tetap hidup atau kita tetap berjalan sesuai dengan rencana dan waktu
Tuhan di dalam kehidupan ini. Ketika dokter sudah mengatakan bahwa tidak ada
obat yang dapat menyembuhkan penyakit yang dialami oleh seseorang, apakah kita
lebih memilih cara untuk mempertahankannya dengan berbagai cara atau alat yang
dapat untuk mempertahankan hidupnya. Seiring dengan makin berkembangnya
teknologi di dunia medis, ada berbagai macam cara penanganan yang telah
dilakukan oleh profesional medis sebagai cara-cara medis modern untuk dapat
mempertahankan kehidupan orang, meringankan sakit penyakit yang dialami, dan
bahkan mempercepat kehidupan orang menuju kiamat, salah satunya adalah
EUTHANASIA. Hippokrates adalah orang pertama kali yang menggunakan istilah
euthanasia ini. Tepatnya pada “Sumpah Hippokrates”, sumpah tersebut berbunyi: “Saya tidak akan menyarankan dan atau
memberikan obat yang mematikan kepada siapapun meskipun telah diminta untuk
itu.
Di banyak negara sudah
lama terdapat organisasi yang bertujuan memperjuangkan legalisasi euthanasia
(yang pertama didirikan di Inggris pada tahun 1935) dan sejak 1976 mereka
bekerja sama pada taraf internasional dalam International Federation of Right
to Die Societes. Tetapi juga di luar organisasi-organisasi yang resmi itu
semakin banyak orang berpendapat bahwa euthanasia harus diizinkan. Yang disini
dimaksudkan dengan euthanasia adalah pengakhiran kehidupan pasien terminal
dengan sengaja oleh dokter atas permintaan pasien sendiri. Biasanya mereka yang
memperjuangkan legalisasi euthanasia serentak juga mendukung legalisasi bunuh
diri berbantuan (assisted suicide). Secara formal ada perbedaan besar antara
euthanasia dan bunuh diri berbantuan. Karena dalam kasus pertama pasien
dibunuh, sedangkan dalam kasus kedua pasien membunuh diri. Namun demikian,
karena pasien dibunuh atas permintaanya sendiri dan karena pasien membunuh diri
dengan menelan obat (racun) yang disediakan dokter dengan tujuan untuk membunuh
diri, dari segi moral dua kasus ini praktis tidak berbeda, sehingga euthanasia
dan bunuh diri berbantuan sering diucapkan dalam satu tarikan nafas.
Disini kita tentu tidak
membicarakan masalah euthanasia secara lengkap dengan memperhatikan
argument-argumentasinya.[1] Oleh pendukung legalisasi
euthanasia dan bunuh diri berbantuan terutama diberi dua argument:
1. Karena
dilakukan atas permintaan pasien sendiri, euthanasia berasal dari keputusan
otonom si pasien yang dengan itu menentukan diri (self-determination)
Sulit untuk diterima bahwa seseorang –
walaupun ia mempunyai otonomi – dapat meminta orang lain untuk membunuh dia.
Permintaan seperti itu mengandung suatu kontrakdiksi, karena di sini otonomi
manusia menghancurkan dirinya sendiri. Kesulitan ini menjadi lebih besar lagi
pada pihak yang menerima permintaan pasien untuk dibunuh, karena ia meminta
suatu kuasa yang tidak mungkin diterimanya. Meminta dokter untuk mengakhiri
hidupnya berarti memberikan kuasa absolut atas hidupnya. Tetapi dokter tidak
bisa menerima kuasa terbesar itu. Jadi, dalam euthanasia diserahkan oleh pasien
apa yang dan diterima oleh dokter apa yang tidak mungkin dipikul.
2. Euthanasia
dilakukan untuk mengakhiri penderitaan yang tak tertahankan, dengan kata lain
merupakan mercy killing
Penderitaan memang merupakan an evil,
suatu ketidakberesan besar dalam hidup kita, sesuatu yang harus tidak ada.
Namun demikian, sebagai jalan keluar kita tidak bisa mengusir evil satu ini
dengan memasukkan evil lebih besar lagi. Dan itulah yang akan terjadi bila
dalam masyarakat manusia kita mengizinkan satu orang membunuh orang lain.
Penderitaan memang merupakan masalah filosofis dan masalah manusia yang besar.
Tetapi, bagaimana pun, penderitaan merupakan bagian tak terpisahkan dari nasib
kita sebagai manusia. Mau tidak mau, penderitaan selalu menandai the human
condition, kondisi kita sebagai manusia. Apalagi, penderitaan fisik atau nyeri
bisa diatasi. Dalam hal ini pun profesi kedokteran mencapai kemajuan besar.
Para dokter menegaskan bahwa denan pertolongan paliatif kini nyeri sebagai
masalah bagi pasien terminal praktis selalu bisa diatasi. Menghilangkan nyeri
memang termasuk tugas profesional seorang dokter. Tetapi terjadi sesuatu yang
secara logis aneh sekali, bila ia menghilangkan nyeri dengan membunuh.
Tidak bisa dikatakan juga bahwa euthanasia
hanya merupakan suatu urusan antara pasien serta dokternya dan tidak mempunyai
dampak keluar. Tidak bisa dipertahankan bahwa euthanasia dan bunuh diri
berbantuan hanya merupakan suatu private killing. Euthanasia adalah suatu
perbuatan sosial, karena sekurang-kurangnya melibatkan dua orang. Apalagi, si
dokter di sini terlibat sebagai profesional, bukan sebagai pribadi. Euthanasia
pun tidak bisa diisolasikan dari masyarakat, tetapi seperti setiap pembunuhan
mempunyai dampaknya terhadap seluruh umat manusia. Euthanasia pun tidak bisa
dilepaskan dari gagasan: membunuh seorang manusia sama dengan membunuh semua
manusia.
“Dua argument ini selalu
dikemukakan bersama-sama, guna mengimbangi satu sama lain.”
Euthanasia termasuk masalah etika biomedis
tentang akhir kehidupan.[2] Di Indonesia masalahnya
cukup disadari, tapi belum terdengar diskusi yang menuntut legalisasi
euthanasia. Pada dasarnya euthanasia menyangkut pertanyaan: apakah dalam
keadaan tertentu kita boleh mengakhiri kehidupan manusia? Sebab tidak dapat
diragukan sedikit pun bahwa dalam keadaan normal dilarang keras mengakhiri
kehidupan manusia atau dengan istilah lebih jelas membunuh.
A.
Pengertian
Euthanasia
Webster’s Third New International
Dictionary memberikan dua definisi dari istilah ini, yaitu (1) ‘an easy death
or means of inducing one’ (2) ‘the act or practice of painlessly putting to
death persons suffering from incurable conditions or diseases’. Istilah ini
dipakai dalam dunia medis dengan memberikan konotasi yang positif terhadap
tindakan pengambilan keputusan untuk ‘mempercepat kematian’. Eutanasia
merupakan usaha untuk mendapatkan kematian yang menyengkan atau tanpa rasa
sakit. Beberapa pakar etika mempertahankan bahwa pasien yang kompeten memliki
hak yang mencakup kemungkinan untuk memilih suatu pendekatan aktif atau bahkan
suatu pendekatan dengan dibantu atas kematian dalam kasus-kasus penyakit yang
tidak memiliki kemungkinan perbaikan, namun beberapa orang lain memandang hal
ini sebagai bunuh diri atau pembunuhan.
Istilah Euthanasia sendiri berasal dari
Bahasa Yunani yaitu ‘EU’ yang berarti baik dan ‘THANATOS’ yang berarti
kematian. Jadi secara etimologi Euthanasia dapat diartikan sebagai mati dengan
baik, bahagia, senang, tenang, mati damai, atau mati tanpa pemderitaan (a good
death). Euthanasia juga bisa disebut dengan dibiarkan mati dengan penuh
belaskasihan (merciful death) atau Euthanasia aktif dan dimatikan karena
belaskasihan (mercy killing) atau Euthanasia pasif. Tujuannya adalah untuk
mendapatkan kematian yang membahagiakan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) euthanasia adalah tindakan mengakhiri dengan sengaja kehidupan makhluk
(orang atau hewan peliharaan) yang mengalami sakit berat dengan kematian yang
tenang dan mudah atas dasar perikemanusiaan.
Belanda salah satu negara di Eropa yang
maju dalam pengetahun hukum kesehatan mendefenisikan euthanasia sesuai dengan
rumusan yang dibuat oleh Euthanasia Study Group dari KNMG (Ikatan Dokter
Belanda) “Euthanasia adalah dengan sengaja tidak melakukan sesuatu untuk
memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk
memperpendek hidup atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan ini dilakukan
untuk kepentingan pasien sendiri.[3]
Sebenarnya dari segi istilah yang ada,
euthanasia mempunyai konotasi yang positif. Tujuannya adalah untuk mendapatkan
kematian tanpa penderitaan bahkan kematian yang membahagiakan. Tetapi dalam
prakteknya, beragam pandangan tentang euthanasia membuat pengertian tidak
sederhana. Euthanasia bisa juga diartikan secara lebih sederhana sebagai easy death (mati dengan mudah/gampang).
Euthanasia dipahami sebagai suatu tindakan
yang dilakukan seseorang membantu orang lain mengakhiri hidupnya dengan sengaja
semata-mata untuk kepentingan dan keuntungan orang tersebut, baik atas
permintaan orang tersebut maupun permintaan walinya/keluarganya. Euthanasia
hanya dilakukan kepada pasien yang mengalami sakit berat (terminal) dan
vegetative (kehilangan kesadaran) dan karena itu peran pasien, dokter dan
wali/keluarga tidak bisa diabaikan dalam suatu tindakan euthanasia. Memang
alasan yang paling utama untuk euthanasia adalah mengingkari penderitaan, baik
fisik maupun batin. Sekarang ini alasan melakukan euthanasia telah berkembang
luas dan rumit.
B. Jenis-jenis Euthanasia
Secara umum euthanasia dibagi dua macam,
yaitu
1. Euthanasia
aktif
Eutanasia aktif adalah mencabut kehidupan
untuk menghindari penderitaan. Hal ini dapat dilakukan dengan pemberian
sleeping pills atau obat lain secara overdose, suntikan potassium chlorida, dan
obat lain yang mematikan.
Euthanasia aktif dapat juga dibedakan
atas:
a. Euthanasia
aktif langsung (direct) adalah dilakukannya tindakan medis secara terarah yang
diperhitungkan akan mengakhiri hidup pasien, atau memperpendek hidup pasien.
Jenis euthanasia ini dikenal juga sebagai mercy killing.
b. Euthanasia
aktif tidak langsung (indirect) adalah dimana dokter atau tenaga kesehatan
melakukan tindakan medik untuk meringankan penderitaan pasien, namun mengetahui
adanya resiko tersebut dapat memperpendek atau mengakhiri hidup pasien.
2. Euthanasia
pasif
Eutanasia pasif merupakan usaha membiarkan
kematian terjadi untuk menghindari penderitaan, kasus ini dapat dilakukan
melalui cara-cara seperti pencabutan respirator, dan dapat dikatakan sebagai
suatu bentuk pembunuhan. Euthanasia pasif yang mengizinkan kematian seseorang
dengan cara sengaja meninggalkan atau menolak alat-alat pendukung hidup yang
wajar untuk mempertahankan kematian merupakan praktek dari eutanasia pasif yang
tidak wajar. Sebaliknya, eutanasia pasif yang wajar merupakan tindakan menolak
alat-alat mempertahankan hidup yang tidak wajar dalam kasus-kasus penyakit yang
tidak dapat diubah.
a. Euthanasia
pasif yang tidak wajar adalah mengizinkan seseorang mati dengan cara menolak
alat-alat yang wajar di dalam mempertahankan hidup dengan sengaja. Alat-alat
yang wajar itu seperti metode-metode bantuan hidup yang normal seperti makanan,
air, dan udara. Termasuk di dalamnya alat-alat yang tidak wajar adalah
perlengkapan mekanik seperti alat pernafasan buatan dan organ-organ buatan.
“Norman Geisler dalam bukunya “Etika Kristen” berpendapat bahwa menolak
alat-alat yang wajar dalam proses medis sama artinya dengan eutanasia aktif,
karena tindakan itu secara langsung membawa kematian kepada individu”.
b. Euthanasia
pasif yang wajar adalah menolak alat-alat yang mempertahankan hidup yang tidak
dalam kasus-kasus penyakit yang membawa kematian individu secara tidak
langsung.
Ditinjau
dari permintaan, euthanasia dibedakan atas:
a. Euthanasia
voluntir atau euthanasia sukarela (atas permintaan pasien) adalah euthanasia
yang dilakukan atas permintaan pasien secara sadar dan diminta berulang-ulang.
b. Euthanasia
involuntir (tidak atas permintaan pasien) adalah euthanasia yang dilakukan pada
pasien yang (sudah) tidak sadar, dan biasanya keluarga pasien yang meminta.
Kedua jenis euthanasia diatas dapat
digabung misalnya euthanasia pasif voluntir, euthanasia aktif voluntir,
euthanasia aktif langsung involuntir dan sebagianya.
Ada yang melihat pelaksanaan euthanasia
dari sudut lain dan membaginya atas 4 kategori, yaitu:
·
Tidak ada bantuan dalam proses
kematian tanpa maksud memperpendek hidup pasien
·
Ada bantuan dalam proses
kematian tanpa maksud memperpendek hidup pasien
·
Tidak ada bantuan dalam proses
kematian dengan tujuan memperpendek hidup pasien
·
Ada bantuan dalam proses
kematian dengan tujuan memperpendek hidup pasien
C. Euthanasia Menurut Hukum Di Indonesia
Kitab undang-undang Hukum Pidana
mengatur sesorang dapat dipidana atau dihukum jika ia menghilangkan nyawa orang
lain dengan sengaja ataupun karena kurang hati-hati.
Ketentuan pelangaran pidana yang
berkaitan langsung dengan euthanasia aktif tedapat pada:
1. Pasal 344 KUHP:
Barangsiapa
menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang
disebutnya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara
selama-lamanya dua belas tahun.
2. Pasal 338 KUHP:
Barangsiapa
dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum karena makar mati, dengan
penjara selama-lamanya lima belas tahun.
3. Pasal 340 KUHP:
Barangsiapa
dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain,
dihukum, karena pembunuhan direncanakan (moord) dengan hukuman mati atau
penjara selama-lamanya seumur hidup atau penjara selama-lamanya dua puluh
tahun.
4. Pasal 359 KUHP:
Barang
siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama-lamanya
lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun.
Selanjutnya
di bawah ini dikemukakan sebuah ketentuan hukum yang mengingatkan kalangan
kesehatan untuk berhati-hati menghadapi kasus euthanasia, yaitu:
1. Pasal 345 KUHP:
Barang
siapa dengan sengaja menghasut orang lain unutk membunuh diri, menolongnya
dalam perbuatan itu, atau memberikan daya upaya itu jadi bunuh diri, dihukum
penjara selama-lamanya empat tahun.
Kalau diperhatikan bunyi pasal-pasal
mengenai kejahatan terhadap nyawa manusia dalam KUHP tersebut, maka dapatlah
kita dimengerti betapa sebenarnya pembentuk undang-undang pada saat itu (zaman
Hindia Belanda) telah menganggap bahwa nyawa manusia sebagai miliknya yang
paling berharga. Oleh sebab itu setiap perbuatan apapun motif dan
macamnya sepanjang perbuatan tersebut mengancam keamanan dan keselamatan nyawa
manusia, maka hal ini dianggap sebagai suatu kejahatan yang besar oleh negara.
Adalah suatu kenyataan sampai
sekarang bahwa tanpa membedakan agama, ras, warna kulit dan ideologi, tentang
keamanan dan keselamatan nyawa manusia Indonesia dijamin oleh undang-undang.
Selain itu ada juga ketentuan dalam
Bab XV KUHP khususnya Pasal 304 dan Pasal 306 (2).
1. Pasal 304 KUHP
“Barang
siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan
sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan,
dia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu,
diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda
paling banyak tiga ratus rupiah”.
2. Pasal 306 (2) KUHP
“Jika
mengakibatkan kematian, perbuatan tersebut dikenakan pidana penjara maksimal
sembilan tahun”.
Dua
ketentuan tersebut memberikan penegasan, bahwa dalam konteks hukum positif di
Indonesia, meninggalkan orang yang perlu ditolong juga dikualifikasi sebagai
tindak pidana. Dua pasal ini juga bermakna melarang terjadinya euthanasia pasif
yang sering terjadi di Indonesia.
Euthanasia di negeri lain
Fenomena euthanasia ini berkembang
lagi ketika kasus Nyonya Agian mencuat di permukaan ketika suaminya (Hasan)
meminta DPRD Bogor untuk mengagalkan keinginannya untuk meng-eutanasia istrinya
tersebut. Banyak orang yang menentang apa yang dilakukan Hasan pada istrinya
tersebut, dengan alasan bahwa eutanasia itu bertentangan dengan nilai-nilai
etika, moral karena termasuk perbuatan yang merendahkan martabat manusia dan
perbuatannya tergolong pembunuhan, mengingat kematian menjadi tujuan.
Sebuah karangan berjudul "The Slippery Slope of Dutch
Euthanasia" dalam majalah Human Life International Special Report Nomor
67, November 1998, halaman 3 melaporkan bahwa sejak tahun 1994 setiap dokter di
Belanda dimungkinkan melakukan euthanasia dan tidak akan dituntut di pengadilan
asalkan mengikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan. Prosedur tersebut
adalah mengadakan konsultasi dengan rekan sejawat (tidak harus seorang
spesialis) dan membuat laporan dengan menjawab sekitar 50 pertanyaan.
Di Negara-negara Eropa (Belanda) dan Amerika tindakan
euthanasia mendapatkan tempat tersendiri yang diakui legalitasnya, hal ini juga
dilakukan oleh Negara Jepang. Tentunya dalam melakukan tindakan euthanasia
harus melalui prosedur dan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi agar
euthanasia bisa dilakukan.
D. Aspek-Aspek dalam Euthanasia
1. Aspek Hukum
Undang-undang yang tertulis dalam KUHP hanya melihat dari sisi dokter
sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif dan dianggap
sebagai pembunuhan berencana, atau dengan sengaja menghilangkan nyawa
seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter selalu pada pihak yang
dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat latar belakang
dilakukannya euthanasia tersebut, tidak peduli apakah tindakan tersebut atas
permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi penderitaan
pasiendalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum
diketahui pengobatannya.
Di lain pihak, hakim dapat menjatuhkan pidana mati bagi seseorang yang
masih segar bugar yang tentunya masih ingin hidup, & tidak menghendaki kematiannya seperti pasien yang sangat menderita tersebut, tanpa
dijerat pasal-pasal dalam undang-undang dalam KUHP. Ikatan Dokter Indonesia
(IDI) sebenarnya telah cukup antisipasif dalam menghadapi perkembangan iptekdok,
antara lain dengan menyiapkan perangkat lunak berupa SKPB IDI no.319/PB/4/88
mengenai “Pernyataan Dokter Indonesia tentang Informed Consent”. Disebutkan di
sana, manusia dewasa dan sehat rohani berhak sepenuhnya menentukan apa yang
hendak dilakukan terhadap tubuhnya.
Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan
kemauan pasien, walau untuk kepentingan pasien itu sendiri. Kemudian SK PB IDI
no.336/PB/4/88 mengenai “Pernyataan Dokter Indonesia tentang Mati”. Sayangnya
SKPB IDI ini tidak atau belum tersosialisasikan dengan baik di kalangan IDI
sendiri maupun di kalangan pengelola rumah sakit. Sehingga, tiap dokter
danrumah sakit masih memiliki pandangan sertakebijakan yang berlainan. Apabila
diperhatikan lebih lanjut, pasal 338, 340, & 344 KUHP, ketiganya mengandung
makna larangan untuk membunuh. Pasal 340 KUHP sebagai aturan khususnya, dengan
dimasukkannya unsur “dengan rencana lebih dahulu”, karenanya biasa dikatakan
sebagai pasal pembunuhan yang direncanakan atau pembunuhan berencana. Masalah
euthanasia dapat menyangkut dua aturan hukum, yakni pasal 338 & 344 KUHP.
Dalam hal ini terdapat apa yang disebut „concursus idealis‟ yang diatur
dalam pasal 63 KUHP, yang menyebutkan bahwa:
a. Jika suatu
perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya
salah satu diantara aturan-aturan itu, jika berbeda-beda yang dikenakan yang
memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.
b. Jika suatu
perbuatan yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum diatur pula dalam
aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan. Pasal
63 (2) KUHP ini mengandung asas “lex specialis
derogat legi generalis‟, yaitu peraturan yang khusus akan
mengalahkan peraturan yang sifatnya umum.
2. Aspek Hak Asasi
Hak asasi manusia (HAM) selalu dikaitkan dengan hak
hidup, hak damai dan sebagainya. Tapi tidak tercantum jelas adanya hak
seseorang untuk mati. Mati sepertinya justru dihubungkan dengan pelanggaran
HAM, terbukti dari aspek hukum euthanasia yang cenderung menyalahkan tenaga
medis dalam pelaksanaan euthanasia. Sebenarnya, dengan dianutnya hak untuk
hidup layak dan sebagainya, secara tidak langsung seharusnya terbersit adanya
hak untuk mati, apabila dipakai untuk menghindarkan diri dari segala
ketidaknyamanan atau lebih jelas lagi dari segala penderitaan yang hebat.
3. Aspek Ilmu
Pengetahuan
Iptek dapat memperkirakan kemungkinan keberhasilan upaya
tindakan medis untuk mencapai kesembuhan atau pengurangan penderitaan pasien.
Apabila secara iptekdok hampir tidak ada kemungkinan untuk mendapat kesembuhan
ataupun pengurangan penderitaan, apakah seseorang tidak boleh mengajukan haknya
untuk tidak diperpanjang lagi hidupnya. Segala upaya yang dilakukan akan
sia-sia, bahkan sebaliknya dapat dituduhkan suatu kebohongan, karena di samping
tidak membawa kesembuhan, keluarga yang lain akan terseret dalam habisnya
keuangan.
4. Aspek Agama
Kelahiran & kematian merupakan hak prerogatif Tuhan
dan bukan hak manusia sehingga tidak ada seorangpun di dunia ini yang mempunyai
hak untuk memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri. Atau dengan kata
lain, meskipun secara lahiriah atau tampak jelas bahwa seseorang menguasai
dirinya sendiri, tapi sebenarnya ia bukan pemilik penuh atas dirinya. Ada
aturan-aturan tertentu yang harus kita patuhi & kita imani sebagai aturan
Tuhan. Jadi, meskipun seseorang memiliki dirinya sendiri, tetapi
tetap saja ia tidak boleh membunuh dirinya sendiri. Pernyataan ini menurut ahli
agama secara tegas melarang tindakan euthanasia, apapun alasannya. Dokter dapat
dikategorikan melakukan dosa besar dan melawan kehendak Tuhan dengan
memperpendek umur seseorang.
Orang yang menghendaki euthanasia, walaupun dengan penuh
penderitaan bahkan kadang-kadang dalam keadaan sekarat dapat dikategorikan
putus asadan putus asa tidak berkenan di hadapan Tuhan.Tetapi putusan hakim
dalam pidana mati pada seseorang yang segar bugar dan tentunya sangat tidak
ingin mati dan tidak sedang dalam penderitaan apalagi sekarat, tidak pernah
dikaitkan dengan pernyataan agama yang satu ini. Aspek lain dari pernyataan
memperpanjang umur, sebenarnya bila dikaitkan dengan usaha medis dapat
menimbulkan masalah lain. Mengapa orang harus ke dokter untuk berobat mengatasi
penyakitnya.Kalau memang umur berada di tangan Tuhan, bila memang belum waktunya,
ia tidak akan mati. Hal ini dapat diartikan sebagai upaya memperpanjang umur
atau menunda proses kematian. Jadi upaya medis dapat pula dipermasalahkan
sebagai upaya melawan kehendak Tuhan. Pada kasus-kasus tertentu, hukum agama
memang berjalin erat dengan hukum positif. Sebab di dalam hukum agama juga
terdapat dimensi-dimensi etik & moral yang juga bersifat publik. Misalnya
tentang perlindungan terhadap kehidupan, jiwa atau nyawa. Hal itu jelas
merupakan ketentuan yang sangat prinsip dalam agama. Dalam hukum positif
manapun, prinsip itu juga diakomodasi. Oleh sebab itu, ketika kita melakukan
perlindungan terhadap nyawa atau jiwa manusia, sebenarnya kita juga sedang
menegakkan hukum agama, sekalipun wujud materinya sudah berbentuk hukum positif
atau hukum negara.
E. Pandangan Agama terhadap Euthanasia
1. Menurut
Ajaran Agama Islam
Euthanasia berasal dari kata ‘eu’ yang berarti normal,
baik, atau sehat, dan ‘thanatos’ yang artinya mati. Secara harfiah istilah ini
berkonotasi positif, yaitu mati secara baik (dan mudah), tanpa penderitaan.
Sehingga sesungguhnya euthanasia merupakan dambaan dan harapan setiap setiap
pemeluk aliran kepercayaan dan agama. Dalam hal agama hal seperti ini disebut
dengan mati yang husnul khatimah. Tetapi di kalangan medis, euthanasia
mengakhiri kehidupan seseorang secara sengaja dengan tenang dan mudah untuk
mengakhiri penderitaannya. Dalam agama Islam atau hukum apapun, masalah
kematian adalah suatu keniscayaan, hanyalah Tuhan yang punya kewenangan
terhadap hidup makhluknya. Dengan demikian, manusia tidak diberi hak atau
wewenang dalam mengakhiri hidup seseorang. Islam sangat menghargai jiwa. Banyak
ayat al Quran maupun hadist nabi yang mengharuskan untuk menghormati dan
memelihara jiwa manusia. Oleh karenanya, seseorang tidak diperkenankan
melenyapkan hidup seseorang. Manusia dilarang memperlukakan jiwa manusia dengan
tidak hormat. Tindakan menghilangkan jiwa hanya diberikan kepada lembaga
pengadilan sesuai dengan aturan pidana Islam.
2. Dalam ajaran
gereja Katolik Roma
Sejak pertengahan abad ke-20, gereja Katolik telah
berjuang untuk memberikan pedoman sejelas mungkin mengenai penanganan terhadap
mereka yang menderita sakit tak tersembuhkan, sehubungan dengan ajaran moral
gereja mengenai eutanasia dan sistem penunjang hidup. Paus Pius XII, yang tak
hanya menjadi saksi dan mengutuk program-program egenetika dan eutanasia Nazi,
melainkan juga menjadi saksi atas dimulainya sistem-sistem modern penunjang
hidup, adalah yang pertama menguraikan secara jelas masalah moral ini dan
menetapkan pedoman. Pada tanggal 5 Mei tahun 1980 , kongregasi untuk ajaran
iman telah menerbitkan Dekalarasi tentang eutanasia ("Declaratio de
eutanasia") yang menguraikan pedoman ini lebih lanjut, khususnya
dengan semakin meningkatnya kompleksitas sistem-sistem penunjang hidup dan
gencarnya promosi eutanasia sebagai sarana yang sah untuk mengakhiri hidup.
Paus Yohanes Paulus II, yang prihatin dengan semakin meningkatnya praktek
eutanasia, dalam ensiklik Injil Kehidupan (Evangelium Vitae) nomor 64
yang memperingatkan kita agar melawan "gejala yang paling mengkhawatirkan
dari `budaya kematian' dimana jumlah orang-orang lanjut usia dan lemah yang
meningkat dianggap sebagai beban yang mengganggu." Paus Yohanes Paulus II
juga menegaskan bahwa eutanasia merupakan tindakan belas kasihan yang keliru,
belas kasihan yang semu: "Belas kasihan yang sejati mendorong untuk ikut
menanggung penderitaan sesama. Belas kasihan itu tidak membunuh orang, yang
penderitaannya tidak dapat kita tanggung"
3. Dalam ajaran
Agama Hindu
Pandangan Agama Hindu terhadap eutanasia adalah
didasarkan pada ajaran tentang karma, moksa dan ahimsa. Karma adalah merupakan
suatu konsekwensi murni dari semua jenis kehendak dan maksud perbuatan, yang
baik maupun yang buruk, lahir atau bathin dengan pikiran kata-kata atau
tindakan. Sebagai akumulasi terus menerus dari "karma" yang buruk
adalah menjadi penghalang "moksa" yaitu suatu ialah kebebasan dari
siklus reinkarnasi yang menjadi suatu tujuan utama dari penganut ajaran Hindu.
Ahimsa adalah merupakan prinsip "anti kekerasan" atau pantang
menyakiti siapapun juga. Bunuh diri adalah suatu perbuatan yang terlarang di
dalam ajaran Hindu dengan pemikiran bahwa perbuatan tersebut dapat menjadi
suatu factor yang mengganggu pada saat reinkarnasi oleh karena menghasilkan
"karma" buruk. Kehidupan manusia adalah merupakan suatu kesempatan
yang sangat berharga untuk meraih tingkat yang lebih baik dalam kehidupan
kembali.
Berdasarkan kepercayaan umat Hindu, apabila seseorang
melakukan bunuh diri, maka rohnya tidak akan masuk neraka ataupun surga
melainkan tetap berada didunia fana sebagai roh jahat dan berkelana tanpa
tujuan hingga ia mencapai masa waktu dimana seharusnya ia menjalani kehidupan
4. Dalam ajaran
Agama Buddha
Ajaran Agama Buddha sangat menekankan kepada makna
dari kehidupan dimana penghindaran untuk melakukan pembunuhan makhluk hidup
adalah merupakan salah satu moral dalam ajaran Budha. Berdasarkan pada hal
tersebut di atas maka nampak jelas bahwa eutanasia adalah sesuatu perbuatan
yang tidak dapat dibenarkan dalam ajaran Agama Budha. Selain daripada hal
tersebut, ajaran Budha sangat menekankan pada "welas asih"
("karuna") Mempercepat kematian seseorang secara tidak alamiah adalah
merupakan pelanggaran terhadap perintah utama ajaran Budha yang dengan demikian
dapat menjadi "karma" negatif kepada siapapun yang terlibat dalam
pengambilan keputusan guna memusnahkan kehidupan seseorang tersebut.
5. Dalam ajaran
gereja Ortodox
Pada ajaran Gereja Ortodoks, gereja senantiasa
mendampingi orang-orang beriman sejak kelahiran hingga sepanjang perjalanan
hidupnya hingga kematian dan alam baka dengan doa, upacara/ritual, sakramen,
khotbah, pengajaran dan kasih, iman dan pengharapan. Seluruh kehidupan hingga
kematian itu sendiri adalah merupakan suatu kesatuan dengan kehidupan gerejawi.
Kematian itu adalah sesuatu yang buruk sebagai suatu simbol pertentangan dengan
kehidupan yang diberikan Tuhan. Gereja Ortodoks memiliki pendirian yang sangat
kuat terhadap prinsip pro-kehidupan dan oleh karenanya menentang anjuran
eutanasia.
6. Dalam ajaran
Agama Yahudi
Ajaran Agama Yahudi melarang eutanasia dalam berbagai
bentuk dan menggolongkannya kedalam "pembunuhan". Hidup seseorang
bukanlah miliknya lagi melainkan milik dari Tuhan yang memberikannya kehidupan
sebagai pemilik sesungguhnya dari kehidupan. Walaupun tujuannya mulia
sekalipun, sebuah tindakan mercy killing (pembunuhan berdasarkan belas
kasihan), adalah merupakan suatu kejahatan berupa campur tangan terhadap
kewenangan Tuhan.
Dasar dari larangan ini dapat ditemukan pada Kitab
Kejadian dalam alkitab Perjanjian Lama Kej 1:9 yang berbunyi :" Tetapi
mengenai darah kamu, yakni nyawa kamu, Aku akan menuntut balasnya; dari segala
binatang Aku akan menuntutnya, dan dari setiap manusia Aku akan menuntut nyawa
sesama manusia". Pengarang buku : HaKtav v'haKaballah menjelaskan
bahwa ayat ini adalah merujuk kepada larangan tindakan eutanasia.
7. Menurut Iman
atau Etika Kristen
Karena
manusia adalah makhluk yang memiliki kebebasan untuk memilih, mempunyai tujuan
dalam hidupnya dan membutuhkan cara-cara untuk mencapai tujuan itu, maka
manusia membutuhkan etika. Etika diperlukan untuk menolong setiap kita
mengambil keputusan-keputusan penting dalam hidup kita, yang disebut sebagai
keputusan etis. Keputusan etis adalah keputusan etis adalah keputusan yang
memperhadapkan kepada kita pilihan yang baik, benar dan patut. Dalam menghadapi
euthanasia, peran etika sangat penting untuk menolong pasien, keluarga, dan
para medis untuk mengambil keputusan yang tepat.
Etika
Kristen adalah etika yang di dasarkan kepada Yesus Kristus, mencakup
pribadi-Nya, ajaran-Nya, dan teladan-Nya. Secara teoritis, etika Kristen
didasarkan atas beberapa hal berikut:
a) Allah adalah sumber dan pusat semua
yang baik. Semua patokan moral tunduk pada ketentuan-Nya (Lukas 18:19).
b) Etika Kristen merupakan tannggapan
kepada kasih karunia Allah yang menyelamatkan kita. Kehidupan etis adalah cara
bersyukur atas anugerah keselamatan. Etika adalah buah iman (Yak. 2:14-26).
c) Kebaikan Allah dinyatakan melalui
Yesus Kristus, maka hidup etis berarti mengikuti teladan Yesus Kristus (Mat.
11:25-30).
d) Kasih merupakan ciri semua etika
Kristen. Kewajiban manusia tersimpul dalam kasih sebagai motif perbuatan baik
(Mat. 22:37-40).
e) Etika Kristen menekankan
keseimbangan perbuatan dengan sikap hati (motif perbuatan itu). Kehendak Allah
hanya dapat dipahami secara baik melalui pembaruan batin (Roma. 12:2).
f) Alkitab adalah sumber tertulis
mengenai nilai-nilai dan norma-norma Kristen (2 Tim. 3:16).
g) Etika Kristen dipraktekan dalam
kehidupan persekutuan jemaat. Paul Lehman menyebut etika Kristen sebagai etika
Koinonia (etika persekutuan).
Etika Kristen mencakup semua
lapangan kehidupan manusia, bukan hanya kehidupan rohani, tetapi juga hidup di
dunia, termasuk masalah penyakit. Euthanasia merupakan salah satu lapangan
untuk dipertimbangkan secara etis Kristen. Bolehkan melakukan euthanasia? Umat
Kristen umumnya menolak euthanasia, khususnya euthanasia aktif. Dasar utama
penolakan adalah hidup ini merupakan pemberian Tuhan dank arena manusia itu
tidak punya hak untuk mengakhiri atau merenggutnya. Selain itu, diyakini pula
bahwa manusia diciptakan sebagai citra Allah maka manusia tidak boleh
mencampuri proses kematian alamiah.
Menurut pandangan etika Kristen,
sikap baik terhadap kehidupan adalah sebagai berikut:
a) Kehidupan adalah pemberian Allah.
b) Lahir dan mati merupakan bagian dari
proses kehidupan yang telah diciptakan Allah maka kita harus menghormatinya,
tidak merenggutnya tetapi juga tidak menolaknya.
c) Tidak ada seorang pun berhak
mengambil kehidupan dari orang yang tidak bersalah, sekalipun orang itu
mengingikannya. Bahkan orang bersalah pun harus diberikan kesempatan untuk
bertobat dan menjalani kehidupannya.
d) Hidup manusia memiliki harkat dan
intrinsic karena diciptakan menurut citra Allah.
e) Proses kematian adalah proses rohani
dan manusia tidak boleh menginterupsi proses rohani yang bergerak kearah Allah.[4]
Kristus
mengajarkan kepada kita mencapai kesempurnaan dan bersatu dengan Allah Bapa
karena salib yang Ia terima menjadi jalan kebangkitan-Nya. Dengan wafat dan
kebangkitan-Nya menjadi Juruselamat dunia. Oleh sebab itu sakit dan penderitaan
yang dialami perlu disyukuri oleh manusia, karena manusia harus dihormati
karena hidup tidak hanya untuk ini saja, tetapi hidup terus berlangsung selama-lamanya.
Pada intinya hidup dan mati manusia adalah milik Tuhan (Roma 14:8; Filipi
1:20). Beriman kepada Allah berarti mengikut Dia dan menerima salib bukan lari
dari sebuah kenyataan. Euthanasia aktif langsung yang terjadi atas kehendak
pasien atau pihak keluarganya merupakan tanda bahwa manusia melarikan diri dari
kenyataan dan menghindari diri dari penderitaan dan salib.
CARA KERJA EUTHANASIA
Tindakan euthanasia
dapat dilakukan melalui beberapa cara, yakni:
1. Langsung
dan sukarela yaitu memberi jalan kematian dengan cara yang dipilih pasien.
Tindakan ini dianggap sebagai bunuh diri.
2. Sukarela
tapi tidak langsung yaitu pasien diberitahu bahwa harapan untuk hidup kecil
sekali sehingga pasien ini berusaha agar ada orang lain yang dapat mengakhiri
penderitaannya dan hidupnya
3. Langsung
tetapi tidak sukarela yaitu dilakukan tanpa sepengetahuan pasien, yaitu dengan
memberikan dosis letal pada anak yang lahir cacat
4. Tidak
langsung dan tidak sukrela yaitu merupakan tindakan euthanasia pasif yang
dianggap paling mendekati moral
Syarat dilakukannya
Euthanasia
Sampai saat ini, kaidah non hukum yang manapun, baik
agama, moral dan kesopanan menentukan bahwa membantu orang lain mengakhiri
hidupnya, meskipun atas permintaan yang bersangkutan dengan nyata dan sungguh-sungguh
adalah perbuatan yang tidak baik. Di Amerika Serikat, euthanasia lebih populer
dengan istilah “physician assisted suicide”. Negara yang telah memberlakukan
euthanasia lewat undang-undang adalah Belanda dandi negara bagian
Oregon-Amerika Serikat. Pelaksanaannya dapat dilakukan dengan syarat-syarat
tertentu, antara lain:
a. Orang yang
ingin diakhiri hidupnya adalah orang yang benar-benar sedang sakit dan tidak
dapat diobati misalnya kanker.
b. Pasien berada
dalam keadaan terminal, kemungkinan hidupnya kecil dan tinggal menunggu
kematian.
c. Pasien harus menderita sakit yang amat sangat, sehingga
penderitaannya hanya dapat dikurangi dengan pemberian morfin.
d. Yang boleh
melaksanakan bantuan pengakhiran hidup pasien, hanyalah dokter keluarga yang merawat
pasien danada dasar penilaian dari dua orang dokter spesialis yang menentukan
dapat tidaknya dilaksanakan euthanasia.
Semua persyaratan itu harus dipenuhi, baru euthanasia
dapat dilaksanakan. Indonesia sebagai negara berasaskan Pancasila, dengan sila
pertamanya ‘’Ketuhanan Yang Maha Esa‟, tidak mungkin menerima tindakan “euthanasia aktif”.
Mengenai “euthanasia pasif” merupakan suatu “daerah
kelabu” karena memiliki nilai bersifat “ambigu” yaitu di satu sisi bias
dianggap sebagai perbuatan moral, tetapi di sisi lain dapat dianggap sebagai
perbuatan mulia karena dimaksudkan untuk tidak memperpanjang atau berjalan
secara alamiah. (Fadli: 2000)
TUJUAN EUTHANASIA
Tujuan utama:
a. Mati dengan tenang
b. Hak kehidupan seseorang
c. Meringankan penderitaan si sakit dengan cara positif maupun negative
d. Pembunuhan karena belas kasihan
Dari beberapa survey negara dan penyaringan sumber, berikut ada tiga alasan utama mengapa euthanasia itu bisa dilakukan:
- Rasa sakit yang tidak tertahankan mungkin argument terbesar dalam konflik euthanasia, yaitu ketika si pasien tersebut mengalami rasa sakit yang amat besar.
- Hak untuk melakukan bunuh diri mungkin hal kedua bagi para pro-euthanasia, yaitu jika kita mengangkat hal paling besar dari semuanya adalah “hak”.
- Haruskah seseorang dipaksa untuk hidup? Jawabannya adalah tidak.
Sehubungan dengan tujuan awal dari euthanasia aktif adalah untuk menghindari penderitaan, maka lembaga dan orang yang mendukung euthanasia aktif mengajukan alasan-alasan berikut:
- Ada suatu hak moral untuk mati dengan bermatabat
- Kematian yang bermatabat termasuk di dalam hak konstitusional kebebasan pribadi.
- Euthanasia merupakan satu tindakan kasih kepada orang yang menderita “Jika seorang anak tidak dinyatakan hidup sampai tiga hari sesudah dilahirkan, maka semua orang tua diizinkan untuk memilih satu pilihan yang berdasarkan system yang ada sekarang yang hanya diberikan kepada orang-orang tertentu. Dokter dapat memberikan anak itu mati jika orangtuanya juga menyetujuinya untuk dilepaskan dari banyak kesengsaraan dan penderitaan.
- Euthanasia merupakan tindakan kasih kepada keluarga yang menderita
- Euthanasia meringankan keluarga dari ketegangan finansial yang berat
- Euthanasia meringankan masyarakat dari beban sosial yang besar
- Euthanasia merupakan hasil kasih sayang untuk dilakukan
[1] Daniel Callahan, “The
Troubled Dream of Life”, New York.
[2] K. Bertens,
“Sketsa-sketsa Moral” (Kanisius, Jogja, 2004), hal. 98
[3] Prof. M. Jusuf
Hanafiah, spOG dan Dr. Amri Amir, SpF “Etika Kedokteran dan Hukum
Kesehatan”EGC, Jakarta, 1999), Hal. 105-108
[4] Dr. Robert P. Borrong,
“Kapit Selakta Bioetika – Perspektif Kristiani”, (Jurnal Info Media, Bandung,
2007), hal. 82-84
Posting Komentar untuk "PENGERTIAN EUTHANASIA, JENIS-JENIS EUTHANASIA DAN MENURUT HUKUM DI INDONESIA"
Berkomentar yg membangun dan memberkati.