Pengertian Istilah Sinkretisme Dan Dalam Pandangan Alkitab
SINKRETISME DALAM GEREJA
Bagi
kita gereja-gereja yang hidup di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang
majemuk yang terdiri dari beraneka ragam suku, bahasa, adat istiadat,
kepercayaan, agama dan budaya ini, betapa masalah sinkretisme merupakan salah
satu masalah yang tidak boleh begitu saja diabaikan oleh gereja; Lebih-lebih
bagi gereja yang berlatar belakang Jawa, di mana salah satu sikap orang Jawa
yang menonjol dikatakan sinkretistis. Sinkretisme menjadi ancaman yang samar
bagi Gereja. Karena ajaran-ajaran yang dipraktekkan seperti sudah sesuai dengan
firman Tuhan namun disisi lain sudah menjadi sinkretisme. Dan yang menjadi
masalah yaitu, apabila ajaran yang diadopsi lebih dominan dari pada Injil.
Ancaman inilah yang harus diwaspadai oleh Gereja, karena dapat membuat jemaat lebih
terpengaruh terhadap ajaran lain di luar Injil daripada Injil itu sendiri.
Namun
betapa sering pula bahwa yang dimaksud dengan sinkretisme itu berbeda antara
seorang dengan lainnya dan bahkan kabur. Tidak jarang pula secara gampangan
dikatakan bahwa segala macam perpaduan antara "Kekristenan" dengan
yang "non Kristen" adalah sinkretisme. Yang dimaksud dengan
"kekristenan" di sini tidak hanya berhenti pada masalah iman dan
ajaran Kristen saja melainkan juga hal-hal yang dipandang berkaitan dengan
tradisi dan budaya "Kristen" lebih sempit lagi adalah tradisi dan
budaya Barat. Demikian pula yang dimaksud dengan "non Kristen" juga
bukan hanya berhenti pada masalah agama atau kepercayaan di luar Kristen saja,
melainkan segala hal yang berhubungan dengan adat istiadat dan budaya setempat.
Jelas
pandangan tersebut di atas adalah menyesatkan, oleh karena itu sungguh suatu
kesempatan yang baik jikalau dalam kesempatan ini sekali lagi kita bicarakan
masalah sinkretisme.
A. Pengertian
dan Istilah Sinkretisme
Kata
sinkretisme yang telah menjadi kata kita sehari-hari ini adalah kata asing,
yang bisa dilacak dari kata Yunani."Sunistanto, Sunkretamos" artinya
"kesatuan"; dan kata "synkerannumi" yang berarti
"mencampur aduk". Istilah tersebut mula-mula adalah istilah Politik,
yang digunakan oleh Plutarch untuk menggambarkan kesatuan orang-orang dari
pulau Kreta yang melawan musuh bersamanya. Kesatuan tersebut adalah sebagai
sinkretismos. Kemudian Istilah ini juga dipakai di dalam bidang filsafat dan
agama guna menggambarkan suatu keharmonisan dan perdamaian.
Misalnya
di dalam bidang filsafat, pada abad 15 Kardinal Bessarion menggunakan istilah
tersebut dalam ungkapannya untuk mendamaikan dan mengharmoniskan filsafat Plato
dan Aristoteles. Di dalam bidang keagamaan, pada abad 17 Calextus seorang
pengikut Luther disebut sebagai seorang sinkretist, sebab dia berusaha
mendamaikan dan menyatukan teologia-teologia Protestan yang ada. Dengan
demikian, di sini terkandung arti pula unsur-unsur mencampur-adukkan antara satu
dengan lainnya sehingga semuanya menjadi satu. Gunkel, Harnadc dan Bultmann
menggunakan istilah sinkretisme secara luas untuk menggambarkan Kekristenan
sebagai suatu agama Synkretistic, karena mengasimilasi konsep Judaistis,
Hellenistis dan Gnostik. Sedangkan Russell Chandran berargumentasi bahwa segala
formulasi dari theologia Kristen adalah dipaksa dan diharuskan bersifat
synkretistic.
Pandangan
beberapa theolog tersebut di atas bisa mengaburkan pengertian tentang
sinkretisme yang sesungguhnya. Jikalau yang dimaksud sinkretisme adalah
sebagaimana yang dinyatakan seperti tersebut di atas, maka semua agama, tidak
terkecuali agama Kristen adalah bersifat sinkretistis. Sebab manakala suatu
agama, tidak terkecuali agama Kristen berusaha keluar dari lingkungannya untuk
mencapai lingkungan di luarnya, maka mau tidak mau mesti bersifat sinkretistik.
Hal ini jelas, sebab lingkungan yang dihadapi dan di mana agama Kristen
tersebut ada adalah bukan lingkungan yang steril dan vakum.
Di
dalam pertemuan tersebut tidak mungkin untuk dapat berkomunikasi dengan orang
yang hidup dalam lingkungan berbeda tersebut tanpa menggunakan pengungkapan
(ekspresi) dan konsep-konsep yang dalam beberapa hal dihubungkan dengan apa
yang menyatu dengan dunia adat istiadat dan agama di mana orang-orang tersebut
hidup. Namun pertanyaannya, apakah fase-fase seperti penerjemahan
(translation), peralihan (transition), pengubahan (transformation) dan
penyerapan (absorption) semacam itu boleh disebut sinkretisme dalam arti yang
sesungguhnya? "Translation", "transition" dan
"transformation" adalah bukan sinkretisme yang sesungguhnya, selama
semuanya itu dilakukan dengan maksud untuk melaluinya dan mengisinya dengan
berita yang asli dengan sejelas mungkin, tanpa modifikasi yang lebih besar
daripada isi yang asli. Demikian pula Absorption adalah juga bukan sinkretisme
yang sesungguhnya, selama hal itu diambil dengan pengertian dan pembedaan yang
jelas. Ketika Upacara dan konsep-konsep dari lingkungan asal yang berbeda dan
dari kadar yang berbeda telah disesuaikan ke dalam jiwa baru yang menguasai
sebegitu rupa sehingga mereka menjadi asli dan merupakan bagian yang diterima
dalam agama ini.
Berdasarkan
pengertian tersebut di atas, Prof. Dr. Hendrik Kraemer membedakan antara
sinkretisme sebagai "phenomenological", maksudnya dipandang dari apa
yang nampak, apa yang kita lihat sebagai mana fungsi-fungsi nyata di dalam
agama-agama dan budaya, dengan sinkretisme sebagai "theological
problem" dipandang dari sudut kemutlakan "Kristus sebagai jalan
satu-satunya keselamatan manusia". "Theological problem" ini
misalnya pandangan orang Jawa bahwa semua agama itu sama saja (sadaya agami
sami mawon). Agama di sini digambarkan seperti jalan-jalan yang menuju ke satu
tujuan puncak gunung atau seperti aliran sungai yang sama-sama menuju ke
Samudra luas. Semuanya mempunyai tujuan yang sama yakni Tuhan Yang Esa. Oleh
karena itu pada hakekatnya antara satu dengan lainnya tidak berbeda. Atau suatu
pandangan bahwa Kristus saja belum cukup sebagai jalan untuk keselamatan seseorang
oleh karena itu perlu ditambah hal-hal lain seperti sesajen, percaya kepada
kuasa-kuasa lain, dllnya.
Pandangan
sinkretistik modern misalnya, seperti yang dinyatakan oleh John Hick (lahir
1923), seorang profesor filsafat agama dari Universitas Bermingham. Melalui
tulisannya "God and the Universe of Faiths", dan artikel-artikel
lainnya dia terkenal dengan teori "Copernicon revolution"nya. Bahwa
dahulu orang berpandangan bumi adalah pusat alam semesta. Tetapi sejak
ditemukan oleh Copernicus maka bukan bumi, tetapi mataharilah pusat alam
semesta. Demikian pula sekarang ini bukan Kekristenan atau agama-agama lain
lagi yang menjadi pusat keagamaan, melainkan Tuhan sendirilah sebagai matahari
satu-satunya yang dikelilingi oleh planet-planet atau agama-agama. Semua agama
pada hakekatnya sama saja dan dalam posisi yang sama pula serta agama seseorang
hanya ditentukan oleh tempat dan budaya di mana dia dilahirkan.
B. Sinkritisme
Dalam Pandangan Alkitab
Di
dalam Kitab-kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dapat kita lihat betapa
Alkitab selalu menolak sinkretisme dalam arti yang sesungguhnya itu. Oleh
karena itu di sepanjang sejarah umat Allah di dalam Alkitab tersebut, penuh
dengan pergumulan melawan sinkretisme. Penolakan Alkitab terhadap sinkretisme
itu jelas dari protes nabi-nabi Allah terhadap praktek ibadah kepada Baal,
upacara/ibadat Babylonia, Assyria dan serangan penulis-penulis Perjanjian Baru
terhadap ibadah Hellenistik dan ibadah Gnostik di Antiokhia, Efesus, Korintus,
Kolose, Roma, dstnya. Pergumulan terhadap sinkretisme tersebut,
C. Sinkritisme
yang terjadi digereja sekarang ini
1.
Gembala
masih percaya dengan minyak-minyak urapan yang dapat menyembuhkan setiap orang
yang sedang mengalami sakit penyakit.
2.
Jemaat
masih percaya dengan kepercayaan adat-istiadat nenek moyang.
3.
Jemaat
masih percaya dengan hari-hari yang baik dan tidak baik dalam setiap perjalanan
hidup mereka.
4.
Masih
memegang jimat-jimat sebagai kekuatan untuk menjalani kehidupan ini.
D. Penutup
Dari
uraian sebelumnya dijelaskan bahwa sinkretisme adalah suatu gejala umum
(universal). Sebab manakala suatu agama, termasuk agama Kristen, keluar dari
lingkungannya sendiri dan menjangkau lingkungan-lingkungan di luarnya, mau
tidak mau mesti bersifat sinkretistis. Di mana di dalam pertemuan tersebut
tidak akan mungkin dapat berkomunikasi dengan orang-orang yang hidup di dalam
lingkungan berbeda tersebut tanpa menggunakan pengungkapan (ekspresi), bahasa
dan konsep-konsep yang dalam beberapa hal dihubungkan dengan apa yang menyatu
dengan dunia adat istiadat dan agama di mana orang-orang tersebut hidup.
Lebih-lebih
jikalau agama Kristen ingin tumbuh, hidup dan berakar di dalam lingkungan yang
baru tersebut dan bukan sekedar cangkokan yang asing dengan alam lingkungannya.
Agama Kristen haruslah memberikan kemerdekaan secara bertanggung jawab kepada
orang-orang dalam lingkungan baru tersebut untuk mengerti, meresapi, menghayati
dan mengungkapkan (mengekspresikan) imannya kepada Kristus yang universal dan
transenden itu sesuai dengan pribadinya, budayanya dan lingkungannya. Hal ini
adalah sah dan memang telah terjadi di sepanjang perjalanan sejarah agama
Kristen. Misalnya, ketika kekristenan dari Israel dengan latar belakang budaya
Yudaistic dan Semitic memasuki dunia Yunani dengan budaya Hellenisticnya.
Begitu pula dengan ke Eropa. Oleh karena itu sekarang ini kekristenan yang
datang dari benua Eropapun juga bukan merupakan kekristenan yang steril dari
latar belakang budaya Eropa, dan lingkungan di Indonesia juga bukan lingkungan
yang kosong (vakum), melainkan lingkungan budaya dan dunia yang telah terbentuk
selama berabad-abad dan kaya dengan beraneka ragam budaya, adat-istiadat,
kepercayaan, suku dan bahasa. Oleh karena itu sinkretisme yang sesungguhnya
adalah bukan yang "phenomenological" itu, melainkan yang menyangkut
"theological problem". Yaitu masalah adakah Kristus tetap diakui
sebagai satu-satunya jalan dan itu telah cukup? ataukah masih perlu ditambah
ini dan itu. Jikalau jawabannya negatif, memang di situlah gereja harus awas
karena adanya gelombang sinkretisme yang serius.
Gereja-gereja
di Indonesia adalah gereja-gereja yang berada di dalam proses pertumbuhan dan
perkembangan seperti prosesnya terang yang sedang menerangi dan garam yang
sedang menggarami, yang tidak boleh terpisahkan dan terasing dari dunia lingkungannya.
Hal ini berarti gereja berada di dalam proses penyebaran, penerjemahan
(translation), peralihan (transition), pengubahan (transformation), penyerapan
(absorption) dan pengakaran. Yaitu penyebaran ide-ide, konsep-konsep yang
bersumber dari keyakinannya tentang Tuhan, dunia, manusia dan seterusnya, ke
sekelilingnya. Penerjemahan konsep-konsep dan ide-ide dari keyakinannya
tersebut ke dalam pengungkapan - atau bahasa yang dimengerti oleh lingkungannya
yang baru. Adanya ide-ide dan keyakinan baru tersebut mengakibatkan peralihan
atau pengubahan dari tata hidup yang lama ke dalam tata hidup yang baru yang
dijiwai dan dinafasi oleh isi yang baru tersebut. Sifatnya bisa mendasar,
tetapi bisa pula hanya cabang kecil-kecil atau kulit-kulitnya saja; pertemuan,
pengubahan dan pembaharuan isi dan jiwa yang lama dari adat budaya setempat ke
dalam jiwa dan isi yang baru dari Injil.
Hal
ini bisa melalui inkulturasi, yaitu isi Injil yang dimasukkan ke dalam wadah
dari budaya yang ada, bisa modifikasi dari wadah budaya yang ada, dan bisa pula
memang sekaligus pengubahan dan pembaharuan isi dan wadah budaya yang ada.
Penyerapan unsur-unsur dari konteks budaya dan adat setempat, seperti
unsur-unsur yang sesuai dengan Injil, yang tidak bertentangan dengan Injil, yang
bisa mempersiapkan penerimaan Injil, dan unsur-unsur yang bisa mengkayakan
Injil. Sehingga Injil lebih bisa dimengerti dan diungkapkan sesuai dengan
konteks setempat. Dan akhirnya supaya Injil tersebut makin berakar di bumi dan
di dalam jiwa orang-orang yang berlatar belakang berbeda tersebut. Sehingga
Injil bukan lagi dipandang sesuatu yang asing, lebih-lebih selalu diidentikkan
dengan Belanda, penjajah (atau budaya barat), yang baunya aneh, warnanya aneh,
penampakannya aneh dan tak pernah menjadi miliknya sendiri.
Di
dalam situasi yang di dalam proses yang terus menerus tersebut, dalam
menanggapi masalah "phenomenological Synkretisme" itu, gereja
haruslah bersikap bijaksana. Lebih-lebih jikalau dihubungkan dengan metode dan
strategi penginjilannya. Gereja hendaknya tidak selalu gampang bersikap negatif
"asal larang terhadap segala unsur adat dan budaya setempat",
sebaliknya juga tidak serampangan "asal terima" begitu saja,
melainkan lebih dituntut untuk bersikap peka, positif, selektif dan kreatif.
Secara positif selektif dan kreatif gereja bisa memulai, menggunakan dan
memanfaatkan dari apa yang ada atau juga bisa mengikis, kalau mungkin
melenyapkan apa yang ada yang dipandang membahayakan atau mengingkari iman
Kristen, khususnya yang berhubungan dengan "Theological Problem"
tersebut.
Posting Komentar untuk "Pengertian Istilah Sinkretisme Dan Dalam Pandangan Alkitab"
Berkomentar yg membangun dan memberkati.