Sejarah Suku Nias dan Keparcayaan
Sejarah Suku Nias dan Keparcayaan
Pada suku Nias masih terdapat megalitikum yang hidup. Tugu-tugu bekhu yang terdapat di pulau Nias pada hakikatnya adalah monumen-monumen tua gaya kebudayaan megalitikum. Terlebih-lebih di Nias Selatan masih terdapat rumah-rumah kepala suku yang besar. Rumah di desa didirikan dalam dua baris yang saling berhadapan. Bidang-bidang tanah yang ada di antara rumah-rumah itu diberi lantai dari batu-batu yang besar. Di situ terdapat tempat duduk yang terbuat dari batu yang diperuntukkan bagi nenek moyang suku. Kecuali itu terdapat juga tanda-tanda lain dari kebudayaan megalitikum. Desa-desa dipagari tembok yang dilengkapi dengan tangga batu dan menara.
KEPERCAYAAN SUKU
NIAS
A.
Keyakinan Terhadap
Dewa
Ada dua dewa yang dipandang penting,
yaitu Lowalangi, dewa alam atas, sumber segala yang baik, dan Lature Dano, dewa
alam bawah, yang pada umumnya lebih menampakkan aspek-aspek yang negatif dan saudara tua
Lowalangi.[4]
Lowalangi dipandang sebagai dewa yang terpenting. Ada banyak doa, matra,
sumpah, dan kutukan yang bersandar pada Lowalangi dan kekuasaannya. Ia
menentukan mati dan hidup manusia, memberikan berkat dan kutuk, kekayaan, dan
kemiskinan. Dialah yang menetapkan dan yang memberhentikan kepala-kepala suku.
Ia berada dimana-mana dan mengetahui segala sesuatu, serta menghukum yang
jahat.
Lature Dano
menyebabkan adanya penyakit, kematian, gempa bumi, angin ribut, dan
lain-lainnya. Akan tetapi, semua itu tidak menambah arti di dalam kehidupan
religius suku Nias. Seorang tokoh penting di dalam alam kedewaan Nias adalah
Silewe Nazarata, seorang dewi yang dihubungkan dengan imamat di Nias. Silewe Nasarata adalah dewa pelindung
para pemuka agama dan istri Lowalangi.[5]
Agaknya dewi
inilah yang dipandang sebagai penyebab penjadian dunia sebenarnya. Silewe
nazarata adalah seorang tokoh yang sangat penting, karena ia dipandang sebagai
pengantara antara Lowalangi dan para manusia dan antara Lowalangi dan Lature
Dano. Ia juga dipandang sebagai teladan bagi imam orang Nias. Sering disebutkan
bahwa tempat kediaman Silewe Nazarata adalah di bulan, sekalipun tempat
kediamannya yang resmi adalah di samping Lowalangi di alam yang teratas. Karena
kediamannya di bulan itu, ia sering dipandang sebagai dewi bulan.
Silewe Nazarata
juga dipandang berada dimana-mana. Ia adalah penolong manusia, dan sering dapat
melakukan hal-hal yang mencelakakan. Oleh karenanya Silewe juga sangat
ditakuti. Ia memiliki lambang-lambang dan nama tambahan yang sangat banyak.
Sering ia dihubungkan dengan alam atas dan Lowalangi, tetapi juga dengan alam
bawah dan Lature Dano. Sekalipun ia dipandang sebagai seorang dewi, ia memiliki
juga bentuk-bentuk penampakkan yang menunjukkan sifat-sifat laki-laki. Agaknya
sifat ambivalen yang kosmis ini (lambang alam atas dan alam bawah) disebabkan
karena ambivalensi seksual.
Silewe Nazarata
digambarkan sebagi sebuah patung yang besar (lebih dari dua meter), tanpa tangan, dengan
perhiasan kepala yang menunjukkan persamaan dengan sebuat siter, atau sering
sebagai sepasang tanduk, atau dalam bentuk kelamin laki-laki dengan buah dada
perempuan, atau juga dalam bentuk kelamin perempuan yang diberi janggut dan
kumis. Patung yang demikian itu biasanya berkepala dua.
Penempatan patung
semacam itu dan perbuatan-perbuatan kultus yang dihubungkan dengannya agaknya
hanya menjadi wewenang para imam dan para bangsawan. Jika ada bahaya atau
bencana yang besar yang mengguncangkan masyarakat, atau jika orang melakukan
kesalahan-kesalahan yang besar, patung semacam itu didirikan.
Ada juga suatu kepercayaan yang ada di
suku Nias adalah kpercayaan Pelebegu. Pelebegu adalah nama dari agama popular
di Nias, yang berarti ‘penyembah roh. Penganutnya sendiri menyebut agama mereka
adalah molohe adu (penyembah adu). Sifat agama ini berkisar pada penyembahan
roh leluhur. Untuk keperluan ini mereka membuat patung-patung kayu yang disebut
adu. Patung yang ditempati oleh roh leluhur disebut adu satua dan harus dirawat
dengan baik. Menurut kepercayaan umat pelebegu tiap orang mempunyai dua
macam tubuh, yaitu yang kasar yang disebut boto, yang halus disebut noso
(napas) dan lumo-lumo (bayangan). Jika seseorang mati boto-nya kembali menjadi
debu, nosonya kembali kepada Lowalangi (Allah) dan lumo-lumo-nya berubah
menjadi bekhu (roh).
Selama belum dilakukan upacara kematian, bekhu akan tetap berada disekitar tempat pemakamannya. Menurut kepercayaan, untuk pergi ke dunia roh, seorang harus menyebrangi suatu jembatan yang dijaga ketat seorang dewa penjaga dengan kucingnya. Orang berdosa dan belum diupacarakan akan didorong masuk ke neraka yang berada dibawah jembatan. Menurut kepercayaan Pelebegu, kehidupan setelah mati adalah kelanjutan dari kehidupan yang sekarang. Orang yang kaya dan berkedudukan tinggi akan demikian keadaannya di dunia arwah. Demikian juga orang miskin. Perbedaan dunia arwah dengan dunia manusia hanya terletak pada keadaan terbalik, misalnya jika disini malam disana siang.[6]
B.
Mite Penjadian
Mengenai hal ini terdapat cerita-cerita
yang sangat kompleks. Akan tetapi, semua cerita menceritakan bahwa Lowalani dan
Lature Dano diciptakan, artinya sebelum mereka sudah ada tokoh dewa yang lebih
tinggi. Bagian pertama mite, yang dimiliki semua sumber, menyebutkan
bahwa pada awal mula yang ada adalah kekacauan (khaos), kabut dan gelap. Dari
kekacauan itulah timbul tokoh dewa yang pertama. Selanjutnya mite-mite itu
berbeda satu sama lain.
1. Mite dari Nias Utara
Dari kabut dan kegelapan itu timbulah
sebagai tokoh dewa pertama, Tuha Sihai, yang digambarkan berdiam di alam yang
tidak lebih besar dari sebuah rumah dan didukung oleh angina. Inilah alam yang
pertama atau alam yang paling atas, yang juga disebut langit yang tertinggi. Setelah Sihai meninggal, dari napasnya
timbullah Aloloa Nangi yang kemudian juga meninggal. Dari otaknya dilahirkan
pohon-dunia (Tora’a). dari bagian pohon atas, tengah dan bawah tumbuhlah tiga
taruk. Dari taruk yang atas lahiriah Lowalangi dan Lature Dano dan dua roh
jahat. Nadaoya dan Afokha. Dari taruknya yang tengah lahirlah dua roh baik dan
satu roh yang jahat. Dari taruknya yang bawah tidak ada yang dilahirkan. Dengan dibantu oleh roh-roh yang baik,
Lowalangi dan Lature Dano bermaksud menciptakan manusia. Lature Dano tidak
berhasil menunaikan tugasnya, tetapi Lowalangi dapat menghidupkan manusia.
Pasangan manusia pertama ini hidup dilangit ketiga. Sesudah enam angkatan,
lahirlah Sirao yang hidup dilapisan langit yang kedelapan, yang berada persis
di atas dunia kita ini. Menurut mite ini Sirao adalah seorang
manusia. Sekalipun demikian ia pandang sebagai pencipta dunia yang sebenarnya
dan sebagai nenek moyang manusia.
2. Mite dari Nias Selatan[7]
Pada awal mula belum ada dibumi dan
dunia; yang adalah
kabut. Kabut ini kemudian memecah diri, sehingga lahir Inada Samihara Luwo (Inada
= ibu kita). Ialah yang menyebabkan adanya penjadian dunia. Tubuhnya memecah diri. Lalu lahir
ibu-suku dari dewa-dewa dan umat manusia, yaitu Inada Samudulo Hosi. Ia tidak
bersuami. Sekalipun demikian ia melahirkan dua pasag anak kembar, yaitu Lature
Dano Towe dan adik perempuannya, yang kemudian dikawininya, dan Sabolo Luwe
Gogomi. Dan adik perempuannya yang juga kemudian dikawini. Sabolo Luwe Gogomi
ini adalah nama Lowalangi ketika ia masih muda. Lowalangi memilih alam atas
sebagai tempat kediamannya, sedang Lature Dano memilih alam bawah.
Lowalangi menyatakan bahwa ia adalah
yang tertua dan yang terkuasa di antara mereka. Hal itu menyebabkan kedua
saudara ini mengadu kekuatan. Lowalangi melempar bukit-bukit karang kea lam
bawah selama Sembilan hari. Akan tetai Lature Dano tidak menderita apa-apa.
Sesudah itu Lature Dano menggoyang dunia dengan segala kekuatannya, sehingga
rumah kediaman Lowalangi runtuh. Demikianlah Lowalangi harus mengakui
keunggulan Lature Dano dan mengakuinya sebagai tertua.
Kemudian Lowalangi kawin dengan anak
perempuan Lature Dano sebagai istri kedua. Anak yang lahir dari perkawinan ini
berbentuk bulat, tanpa anggota tubuh. Oleh karena itu, anak ini diiris menjadi
dua bagian dengan pisau. Bagian pertama dilemparkan ke sebuah sumber dan bagian
yang kedua dilemparkan ke muara sungai. Bagian yang jatuh di sumber menjadi
seorang perempuan, sedang bagian yang jatuh di muara sungai menjadi seorang
laki-laki. Keduanya kemudian bertemu dan kawin, serta menjadi nenek moyang umat
manusia.
Hal yang patut diperhatikan di dalam
mite penjadian Nias Selatan ini ada dua hal, yaitu penjadian dianggap
berpangkal kepada seorang ibu tertua atau ibu-suku (ibu-asal), dan disini tidak
ada gambaran tentang pohon-dunia seperti halnya dengan mite penjadian Nias
Utara. Sebenarnya bagi orang Nias Selatan nama Lowalangi, yang
biasa disebut Lowalani, diperkenalkan oleh misionaris Jerman. Orang Nias
Selatan dulu mengenal nama Ida Samihara
Luo sebagai pencipta dewa dan manusia. Sang pencipta ini tidak mempunyai
realitas, namun dari padanya timbul dua anak kembar yang kemudian anak kembar
ini kawin dan mengembangbiakkan dewa dan manusia.[8]
3. Mite yang lain mengenai penjadian
Masih ada mite yang lain mengenai
penjadian ini. Suku Nias sendiri menganggap diri mereka berasal dari empat
bapa-asal. Nama-nama bapa-asal itu jika disingkat adalah Hia, Gozo, Hulu dan
Daeli. Kadang-kadang disebutkan bahwa ada enam bapa-asal. Jika demikian
ceritanya, Hia diganti oleh tiga orang anaknya. Menurut cerita, penurunan
manusia itu terjadi demikian. Petama-tama Hia dengan segala miliknya diturunkan
di Nias Selatan. Akan tetapi, ternyata Pulau Nias (dunia) menjadi berat
sebelah, sehingga bagian selatang terjungkir ke laut. Untuk mengadakan
keseimbangan, Gozo diturunkan di bagian utara. Akibatnya lebih menyedihkan lagi
karena bagian tengah berjendul, sedang bagian utara tenggelam di bawah
permukaan laut. Hulu dan Daeli lalu diturunkan di bagian tengah. Demikianlah
bumi menjadi rata.
Empat manusia yang diturunkan ke bumi
tadi adalah anak Sirao, yaitu tokoh yang berdiam di lapisan langit kedelapan
yang terletak persis di atas dunia tempat kediaman manusia. Sirao memiliki tiga
orang istri, yang masing-masing memiliki tiga orang anak. Istri utamanya
memiliki tiga orang anak, yang kadang-kadang dipandang sebagai tiga anak
kembar, yaitu Ba’uwa Dano, Lekindro, Luo Mewona, sedang anak-anak istri lainnya
ialah Laore, Gozo, dan Hia, serta Lohari, Daeli dan Hulu.
Ketika anak-anak itu sudah dewasa,
Sirao mencari penggantinya. Ia ingin mengundurkan diri (mati). Semua anaknya
menganggap diri mereka cakap untuk menjadi pengganti. Mereka menimbulkan
keributan di desa dan mengadu kepandaian memainkan senjata. Hal itu menyedihkan
Sirao. Untuk menentukan siapa yang akan diperkenankan menggantinya, ia
mengadakan sayembara. Ia menancapkan sebuah tombak pada hulunya di tanah.
Barang siapa dapat berdiri dan berjongkok di atas tombak itu seperti seekor
ayam jantan bertengger, dialah yang layak menjadi penggantinya.
Semua anaknya mencoba. Akan tetapi, hanya Luo Mewona-lah yang berhasil. Oleh karena itu, dilah yang diperkenankan menggantikan ayahnya dan tetap tinggal di alam atas. Nasib anak-anak Sirao yang lain ialah, Ba’uwa Dano tinggal di alam bawah sebagai penopang bumi, sedang Hia, Gozo, Faeli dan Hulu menjadi bapa-asal menusia dan tinggal di alam tengah.[9]
4. Mite yang lain juga menceritakan
demikian
Ada pertengkaran antara Luo Mewona,
Ba;uwa Dano dan Lekindro. Di dalam pertengkaran itu Lekindro dipotong menjadi
dua, sebagian dimiliki Luo Mewona dan bagian yang lain oleh Ba’uwa Dano, anak
Sirao yang lain diperintahkan supaya bersin. Ia bersin begitu kuatnya sehingga
kepalanya lepas dari batang tubuhnya. Kepala itu menjadi pohon kelapa, sedang
darahnya menjadi rumput dan bermacam-macam pohon.
Kesamaan hakikat dan nasib antara Luo
Mewona dan Lowalangi di satu pihak serta Ba’uwa Dano dan Lature Dano di lain
pihak sangat mencolok, sehingga orang harus berpendapat bahwa kedua tokoh itu
adalah sama. Ternyata, di dalam salah satu nyanyian upacara kematian memang
disebutkan bahwa Luo Mewona sama dengan Lowalangi. Di dalam kesusastraan Nias,
keduanya memang sering dipandang identik. Jika Lature Dano
(Ba’uwa Dano) dan Lowalangi dan (Luo Mewona) adalah anak-anak Sirao dan hasil
ciptaannya, maka keduanya tidak mungkin mendahului Sirao. Anehnya di dalam
salah satu mite, anak-anak ini sering dipandang mendahului Sirao.
C.
Keyakinan tentang Jiwa[10]
Ungkapan-ungkapan
yang dipakai untuk mengungkapkan pengertian jiwa adalah noso dan bekhu. Noso dipandang datang dari Dewa
Lowalangi atau dari salah satu bentuk penampakkan dewa itu. Sesudah yang
memiliki noso itu mati, maka noso kembali kepada Lowalangi. Hakikat noso sering
diuraikan sebagai napas, hidup, atau asas yang dialaminya.
Bekhu tampil jika orang sudah mati. Ia pergi
ke alam orang mati. Dalam praktiknya, bekhu sama dengan bentuk eksistensi yang
baru dari orang yang mati itu. Dengan demikian, keyakinan suku Nias
mengenai jiwa memiliki persamaan dengan suku Ngaju dan Batak. Seperti yang
pernah dilukiskan di Nias Selatan, sistem kepercayaan mereka mengenal bermacam-macam
roh, penjelmaan dari orang-orang yang telah meninggal. Maciana roh wanita yang meninggal karena melahirkan, yang kembali
mengganggu wanita-wanita yang mau melahirkan. Selain itu ada Solofo yaitu roh orang pandai berburu, Bech adalah hantu orang mati biasa.[11]
D.
Keyakinan tentang Kekuatan Gaib
Suku Nias mengenal adanya eheha. Eheha
adalah kekuatan yang berjiwa dan menjiwai, yang dapat diwariskan dari ayah
kepada anaknya laki-laki. Sebenarnya eheha ini hanya berarti bagi para
pemimpin, itu pun laki-laki. Pada orang-orang yang tidak penting, tidak pernah
terucap adanya eheha. Jika orang penting yang memiliki eheha
itu mati, anak laki-lakinya meletakkan mulutnya pada mulut sang wafat untuk
menerima eheha-nya, yang tampak seperti buih pada mulut sang wafat itu. Eheha
menjadikan orang yang memilikinya bijaksana, cakap, berpengaruh, dan
sebagainya.
Anehnya, di Nias Selatan tidak ada
pengertian mengenai eheha ini. Eheha sangat erat hubungan dengan jiwa-hidup
atau noso. Dalam banyak segi, keduanya sering disamakan. Agaknya eheha harus
dipandang sebagai suatu kualitas atau suatu potensi yang luar biasa dari noso,
yaitu kekuatan noso yang paling dinamis dan paling jelas dapat dihayati. Seperti yang telah dikemukakan, eheha
hanya tampak pada orang-orang yang itnggi martabatnya, umpamanya para kepala
desa atau suku, para imam, dan para bangsawan. Eheha dapat tampak dalam hal-hal
yang luar biasa, umpamanya kedaulatan, kehormatan, dan lain sebagainya. Akan
tetapi eheha juga dapat tampak dalam hal-hal negative, umpamanya untuk
mencelakakan orang lain, dan lain sebagainya.
E.
Tata tertib Sosial[12]
Kesatuan politik-sosial yang terpenting
bagi suku Nias adalah desa. Pada dasarnya pendirian suku Nias tentang desa sama
dengan suku Ngaju, yaitu bahwa desa adalah pengganti dari seluruh dunia. (Kata
banua berarti desa dan juga dunia). Organisasi desa adalah pengulanga desa yang
tertua dan penghadiran desa tertua itu, yaitu Teteholi, tempat kediaman Sirao
di alam atas. Segala aspek dualisme kosmis terdapat juga pada acara orang
mengatur desanya.
Masyarakat Nias dibagi menjadi berbagai
mecam kelompok, yang satu dibedakan secara tajam dengan yang lain, semacam
kasta Hindu.
Pertama, ada kelompok bangsawan yang terdiri
dari orang-orang yang merdeka, yang mewakili manusia ideal (manusia sempurna).
Mereka dibedakan dari masyarakat umum oleh kesusilaan dan tingkah laku mereka
serta penampakan tubuh. Kedudukan yang tinggi ini bukan disebabkan karena
kekayaan, melainkan karena dasar-dasar religius. Mereka dihubungkan dengan alam atas
dan dengan Dewa Lowalangi. Oleh karena itu, mereka mendiami bagian desa yang
secara istimewa menjemalkan alam atas. Merekalah yang menetapkan kepala desa
dan jabatan penting lainnya di dalam masyarakat. Warna suci yang menjadi
lambangnya adalah kuning keemasan.
Kedua, rakyat biasa,
yaitu penduduk desa yang sederhana, yang tergolong orang merdeka juga. Mereka
dihubungkan dengan alam bawah dan dengan Lature Dano. Warna suci yang menjadi
lambangnya adalah merah. Diantara kaum bangsawan dan rakyat biasa, terdapat
ketegangan-ketegangan. Sekalipun demikian, mereka saling memerlukan. Mereka bersama-sama
mewujudkan totalitas masyarakat seperti halnya alam atas dan alam bawah, atau
seperti halnya Lowalangi dan Lature Dano yang juga mewujudkan kesatuan dalam
pertentangan.
Ketiga, kelompok budak
yang berada di luar masyarakat. Di dalam mite penjadian mereka tidak
disebut-sebut, karena mereka tidak dilahirkan dari pohon-dunia atau
pohon-hidup. Sesudah mati, mereka dikubur tanpa upacara atau ditinggalkan
begitu saja dihutan-hutan. Mereka tidak memiliki harapan diakhirat.
F.
Pesta-pesta[13]
Dua kelompok
upacara pesta religius akan dibicarakan di sini. Upacara-upacara pesta religius
ini menunjukkan ciri-ciri khas kebudayaan Nias, yaitu hubungannya yang masih
sangat erat dengan kebudayaan megalitikum. Adapun kelompok upacara pesta
religius yang dimaksudkan ialah pesta-jasa atau pesta kedudukan (owasa) dan
pesta boro-nadu atau pesta suku.
1. Pesta-jasa atau
pesta kedudukan (owasa)
Tujuan pesta
religius ini ialah untuk memperoleh kehormatan, nama, kedudukan, dan gelar.
Jika pesta ini diselenggarakan oleh kaum bangsawan, pada kesempatan ini
diadakan juga korban manusia dan pendirian suatu momumen megalitikum. Ole
karena itu, pesta-pesta ini diselenggarakan di luar desa. Jika pesta ini
diselenggarakan rakyat biasa, segala sesuatu dilaksanakan serba sederhana dan
hanya diselenggarakan bagi anggota masyarakat desa itu sendiri, tanpa
mengundang tamu dari luar.
Bagi kaum
bangsawan maupun bari rakyat jelata berlaku aturan, bahwa orang boleh
mengadakan owasa segera setelah ia kawin. Segera setelah kawin, ia harus
berusaha untuk mengumpulkan emas dan babi yang cukup untuk menyelenggarakan
owasa yang pertama. Di Nias Selatan ada kebiasaan untuk mulai menyelenggarakan
owasa tingkat pertama dengan membuatkan anting-anting emas bagi istri. Dari
kebiasaan ini jelaslah bahwa owasa dimakud sebagai pemberitahuan kepada umu
tentang status atau kedudukan sosial dan pangkat yang baru, yang sudah dicapai
suami istri itu dengan adanya anting-anting emas tadi.
Tingkat owasa
kedua sudah barang tentu menuntut adanya perhiasan yang lebih berharga, yang
disesuaikan dengan gelar dan pangkat yang sudah dicapai pasangan tersebut.
Salah satu hal yang dianggap sangat berharga adalah sebuah payung emas, yaitu
payung sutra yang disulam dengan bunga-bungaan emas.
Bagi rakyat biasa,
terdapat 5 tingkatan pangkat atau kedudukan, sedang bagi kaum bangsawan
terdapat 20 tingkatan atau lebih. Jika seorang bangsawan ingin mencapai
tingkatan tertinggi, ia harus mendirikan sebuah momumen megalit dan harus
memenuhi syarat-syarat lain. Jika seorang bangsawan sangat kaya, ia
diperkenankan menyelenggarakan 5 tingkatan pertama dari owasa sekaligus. Yang
termasuk tuntutan owasa di antaranya adalah memamerkan kekayaan dalam bentuk
barang-barang yang terbuat dari emas dan menghamburkan kekayaan miliknya dalam
bentuk babi dalam jumlah yang banyak. Pada umumnya, tidak semua babi yang
disembelih pada pesta ini dimakan. Kebanyakan daging babi itu ditempatkan di
dalam keranjang yan digantungkan di halaman di antara kedua barisan rumah yang
saling berhadapan, dan biasanya daging itu dijatuhkan oleh anak-anak sehingga
daging itu itu membusuk di tanah sert menjadikan tanah sangat licin. Selama
upacara itu berlangsung, diadakan makan-minum secara berlebihan.
Bagi orang yang
menyelenggarakannya, owasa itu merupakan suatu gengsi untuk memberikan sebanyak
mungkin babi. Dalam tahap pertama
biasanya sudah cukup dengan memberikan 10 ekor babi, tetapi kadang-kadang
sampai 50, 100, dan 500 ekor atau lebih. Pendirian monumen batu megalit
biasanya dilakukan pada bermacam-macam kesempatan dalam hidup religi suku itu.
Banyak monumen megalit yang sering dihias dengan gambar-gambar.
Pada waktu owasa,
ada tiga macam monumen batu besar yang penting, yaitu:
a. Sebuah monolit
(satu batu) seprti menhir yang didirikan tegak, yang disebut jantan.
b. Sebuah batu
seperti dolmen yang mendatar, yang kebanyakan diberi kaki tiang-tiang kecil dan
didirikan bagi kaum perempuan.
c. Suatu kombinasi
dari kedua monumen tersebut di atas, yaitu sebuah batu mendatar yang diberi
lubang, yang dapat dimasuki sebuah batu monolit yang tegak. Hal itu dimaksudkan
sebagai gambaran perkawinan, suatu penjelmaan dari kesatuan yang hakiki dari
aspek laki-laki dan perempuan, yaitu totalitas manusia.
Monumen yang
demikian itu diletakkan pada pedati yang menggambarkan perahu dan diangkut
ketempat monumen itu akan didirikan. Orang yang menyelenggarakan pesta duduk di
atas batu monumen itu sambil meloncat kian kemari dengan memainkan pedang dan
menancapkan bendera atau layar di kanan kiri. Suatu momumen lain yang
diperhatikan adalah monumen yang disebut saitambaru, yaitu suatu tiang bulat
yang diberi beberapa pengait, sebagai pengait beberapa kain.
Hal ini
diterangkan demikian. Barang siapa membuat perhiasan dari emas harus takut
terhadap kutukan logam itu. Sebuah emas memiliki tabiat pembalasan, kelobaan
dan pembunuha. Untuk menghindarkan diri dari hukuman emas itu, harus ada budak
yang dikorbankan. Budak itu dibawa ke tempat saitambari didirikan. Kemudian
budak itu diperintahkan untk mengaitkan baju kutang emas, teropong emas, pedang
emas dan payung emas pada saitambaru. Jika hal itu sudah dilakukan, budak itu
dipenggal kepalanya. Kepalanya disentuhkan pada batu itu, lalu diletakkan di
atasnya. Kurban manusia ini mengaitkan kita kepada pengayauan.
Monumen batu tadi dihiasi dengan
daun-daun kelapa yang menggambarkan sebuah pohon dengan perhiasan emas, yaitu
pohon-hidup. Tiang batu juga dipandang sebagai tiang korban yang menggambarkan
pohon-hidup. Upacara owasa ini dengan jelas menunjukkan bahwa begitu erat
hubungan antara aspek-aspke religious, social kerumahtanggaan dan kesenian dari
kebudayaan Nias. Hubungan itu demikian erat sehingga mewujudkan kesatuan yang
tidak dapat dipisahkan. Juga tidak dapat disangkal bahwa pesta
itu menampakkan aspek-aspek peperangan, yang memperhadapkan antara orang yang
menyelenggarakan pesta dan para tamunya, sedangkan emas dan babi menggambarkan
senjatanya. Peperangan ini masih sering diteguhkan dengan adanya peperangan
semu. Dua kelompok yang antagonistis, yaitu penyelenggara pesta dan tamunya,
dihubungkan dengan dualisme religious kosmis. Dengan bermacam-macam cara,
tampak hubungan antara para dewa dan kejadian serta perwakilannya di dalam
pohon-hidup.
2. Pesta boro nadu
Pesta ini adalah puncak hidup kultus
suku Nias, sebab secara langung pesta ini dihubungkan dengan penciptaan dan
terjadinya suku Nias. Pesta ini diselenggarakan di
tempat-tempat yang dipandang sebagai tempat nenek moyang dahulu turun dari alam
atas dan sekaligus juga dipandang sebagai tempat kediaman pertama nenek moyang
masing-masing kelompok. Kata boro berarti suku, dasar, atau
sebab. Jadi kata boro nadu berarti permulaan perbuatan suci, asal atau sumber
tertua penyucian. Selain itu, boro nadu adalah sebutan imam yang tertinggi,
yang senantiasa berdiam di tempat nenek moyang suku turun dari alam atas dan
yang menyelenggarakan pesta boro nadu.
Börö nadu berasal juga bisa diartikan dari kata
börö yang berarti awal dan aduyang berarti patung. Dahulu, setiap Ono Niha yang
meninggal akan dibuatkan patung dari kayu atau batu. Patung tersebut merupakan
representasi dari orang yang meninggal. Jadi kata börönadu berarti manusia yang
awal. Semua orang Börönadu juga orang Nias kebanyakan memang percaya bahwa
Börönadu adalah tempat manusia pertama Nias turun dari langit. Börönadu
merupakan perkampungan yang unik, karena nuansa kekunoannya masih sangat
terasa. Tatanan permukiman dengan beberapa rumah adat serta batu-batu megalitik
yang tersisa bisa menjadi petunjuk awal bahwa tradisi megalitik pernah hidup di
Börönadu.[14]
Di Nias Selatan, banyak suku memiliki
dua macam boro nadu, yang satu untuk memuja nenek moyang yang bersifat
laki-laki, sedang yang lain untuk memuja dewa nenek moyang yang bersifat
perempuan. Keduanya memelihara sebatang pohon suci yang disebut fosi. Boro nadu tergolong kaum bangsawan.
Mereka menggambarkan bangsawan tertua dan tertinggi. Mereka tidak perlu
berperang oleh karenanya mereka tidak bersenjata. Akan tetapi jika ada salah
seorang anggota keluarga boro nadu terbunuh, semua rakyatnya harus mengumpulkan
emas guna menebus pembunuhan itu. Ditempat kediaman boro nadu, yaitu
ditempat dahulu nenek moyang suku turun dari alam atas, didirikan sebuah kuli
kecil dan beberapa objek kultus, atau didirikan sebuah patung nenek moyang
sebagai peringatan bagi nenek moyang mereka.
Akan tetapi yang lebih penting dari
semua itu agaknya adalah sebatang pohon suci yang disebut fosi tadi. Menurut
keyakinan suku Nias, pohon ini ditanam oleh dewa bagi keselamatan manusia.
Dengan sendirinya kita diingatkan pada pohon-hidup. Konon jika daun-daun pohon
itu rontok, bala penyakit akan berjangkit. Jika karena angin rebut ada
tangkai-tangkai pohon itu yang jatuh, hal itu akan menjadi alamat bahwa ada
seorang kepala suku besar yang akan mati, atau ada sebuah desa akan berbakar,
atau ada bencana hebat lainnya. Jika pohon ini mati, seluruh umat manusia mati.
Jarak pesta boro nadu yang satu dengan
yang lain adalah tujuh, sepuluh, atau empat belas tahun. Peserta pesta ini
adalah kelompok-kelompok atau cabang-cabang suku yang diturunkan dari suku
tertua. Cabang suku yang demikian disebut ori, suatu kata yang berarti
lingkaran (gelang). Susunan dan fungsi ori sulit ditentukan. Yang termasuk ori
ialah sekelompok (lingkaran) desa tetangga yang saling berhubungan karena
perkawinan (terlebih-lebih bagi kaum bangsawan), dan yang mewujudkan suatu
persekutuan kultus (umpamanya, owasa senantiasa dirayakan di dalam batas-batas
ori). Selain itu, ori juga merupakan suatu kesatuan territorial yang harus
memenuhi tugas-tugas kultus. Secara politis, masing-masing desa itu merdeka
(dari empat atau enam suku yang tertua dapat timbul kira-kira 300 ori).
Jalannya pesta boro nadu adalah sebagai
berikut. Berbondong-bondong orang mengunjungi pesta ini dengan pakaian yang
idanh. Akan tetapi, pada pesta ini tidak dibagikan makanan. Segala permusuhan
pada saat ini harus dihentikan. Sebelum pesta dimulai, orang membuat
patung manusia dan harimau yang pada hari pesta itu diarak ke tempat pesta
dengan nyanyian dan tarian. Boro nadu mengadakan korban sebagai
penghormatannya. Sesudah itu, patung-patung tadi dilemparkan ke lembah yang ada
airnya sebagai uang tebusan bagi jiwa manusia.
Sementara itu orang melepaskan seekor
babi di bawah pohon fosi. Sebelum dilepaskan, babi itu diberi makan babi dan
telur. Ini adalah pemberian makanan yang terakhir. Sesudah itu tidak seorang
pun yang boleh memberi makan babi itu. Juga babi itu tidak boleh diusir
seandainya mencari makanan sendiri di halaman orang. Sesudah tujuh tahun
lamanya babi itu berkeliaran, babi itu ditangkap oleh boro nadu dan sembelih.
Dagingnya dibagi-bagikan sedemikian rupa sehingga setiap desa yang berada di bawah
pengawasan boro nadu itu mendapat bagian. Kepala desa membagi bagian yang jatuh
kepada desanya dan kepada para keluarga di desanya, sedangkan tiap keluarga
membagi bagiannya kepada anggota keluarga untuk dimakan agar mereka dapat
berkembang dengan sejahtera. Bagian-bagian daging itu biasanya menjadi sangat
kecil, hampir sama dengan biji kacang atau lebih kecil lagi. Yang penting
disini adalah khasiatnya.
Sebagai balasan, masing-masing keluarga
mempersembahkan sebutir emas kepada boro nadu. Pada perayaan berikutnya
dilepaskan lagi seekor babi, demikian seterusnya. Semua tindakan dalam pesta ini
dihubungkan dengan kejadian-kejadian dalam mite penjadian. Tujuan pesta ini
adalah mengungkapkan kematian, perusakan kosmos, dan kelahiran kembali serta
pembaruannya.
Kematian diungkapkan dengan pengorbanan
babi suci, sebab hal itu menggambarkan pembunuhan seluruh umat manusia.
Perusakan kosmos diungkapkan dengan pelemparan patung ke dalam lembah sungai,
yang menggambarkan alam atas dan alam bawah. Pada hari sebelum pesta dimulai,
diadakan tari-tarian dan peperangan semu, yang jelan dihubungkan dengan dualism
yang religious-mistis. Akhirnya kelahiran kembali dan pembaruan diungkapkan
dengan pelepasan babi suci, yang setiap kali dilepaskan hingga pesta
berikutnya.
Mungkin arti pesta boro nadu ini dapat
dirangkum seperti berikut ini. Orang merasa perlu untuk menyatakan kepada tokoh
dewa yang tertinggi, bahwa mereka merasa dan menghayati, bahwa dunia ini ada
hubungannya dengan alam atas, bahwa kekuatan hidupnya datang dari atas, dan
bahwa mereka akan kembali ke sana, dan akhirnya bahwa mereka sangat girang
diperkenankan hidup di bawah hukum-hukum hidup ini.
TITIK TEMU Kepercayaan Suku Dan Kekristenan
NO. |
SUKU NIAS |
KEKRISTENAN |
1. |
Lowalangi adalah dewa pencipta dan
dewa yang memerintah. |
Allah yang menciptakan dunia ini
(Kejadian 1:1). |
2. |
Lature Dano adalah dewa yang menjaga
dan memelihara. |
Tuhan menjaga orang-orang yang
setiawan (Maz. 31:23). |
3. |
Silewe Nasarata adalah dewa yang
melindungi para pemuka agama. |
Allah menetapkan wakil-Nya dalam
dunia ini: pemerintah, pemuka agama, dsb (Roma 13:1-2). |
4. |
Pelebegu adalah nama dari agama
popular di Nias, yang berarti penyembah roh. |
Setiap orang percaya harus menyembah
dalam roh dan kebenaran (Yohanes 4:24). |
5. |
Ada kelompok status yang ada di suku
Nias adalah kelompok budak. Kelompok ini tidak pernah disebut-sebut, apabila
meninggal tidak ada upacaranya dan mereka tidak ada harapan dalam dunia
akhirat (artinya mereka tidak ada ha katas kehidupan mereka) dan mereka juga
dijadikan tumbal di upacara-upacara yang diadakan. |
Dalam Alkitab juga menjelaskan bahwa
seorang budak adalah seorang yang yang dibeli oleh tuannya dan tidak
mempunyai ha katas kehidupannya sendiri serta tidak menuntut apa-apa. |
6. |
Ada suatu pesta di Suku Nias dengan
tujuan bahwa untuk mengungkapkan kematian yang menuju kepada kelahiran baru. |
Orang yang percaya di dalam nama
Tuhan Yesus Kristus setelah mengalami kematian maka akan memperoleh kehidupan
yang baru. |
7. |
Ketika orang mengalami kematian maka
noso akan kembali kepada Lowalangi. |
Orang percaya ketika mengalami
kematian rohnya akan kembali kepada Allah. |
TANGGAPAN PENULIS
Tidak disangka bahwa kepercayaan suku
Nias dan Kristen ada titik temu, sekalipun hanya dalam arti formal. Sebab
keduanya memiliki keyakinan akan adanya tokoh-tokoh ilahi dan manusia sebagai
hasil karyanya. Akan tetapi, juga tidak dapat disangkal bahwa keduanya memiliki
perbedaan yang sangat mencolok. Kepercayaan-kepercayaan yang dimiliki suku Nias
memang sangat menunjukkan perbedaan yang sangat besar dengan ajaran Alkitab.
Namun, itu semuanya terjadi karena pada zaman dahulu dimana mereka belum
terjangkau dan tidak mengenal apa-apa sehingga mereka memutuskan sesuatu
terhadap apa yang mereka lihat dan rahasakan setiap hari sebagai suatu
kepercayaan bagi mereka.
Satu hal yang perlu dipelajari adalah
walaupun ajaran yang mereka percayai adalah salah tetapi mereka begitu taat dan
percaya sepenuhnya terhadap Allah mereka, itulah yang harus dicontoh oleh
orang-orang Kristen pada saat ini. Dan setelah kita sudah mengetahui tentang
ajarannya, marilah kita bertindak untuk memperbaiki, supaya mereka mempunyai
pemahaman yang benar.
Kita juga tidak akan pernah lepas dari kepercayaan yang berasal dari suku kita masing-masing karena kita masih menggunakan istilah-istilah itu sendiri dalam kehidupan sehari-hari tapi tidak akan menjadi masalah karena kita sudah memiliki pemahaman yang benar. Dan tidak disangkal bahwa pemikiran suku Nias ini masih sangat kuat pengaruhnya di dalam cara kita berpikir dan berbuat pada zaman sekarang.
[1] Kantor Statistik
Kabupaten Nias,Nias Dalam Angka 2002, (2003), xvii-xviii.
[2] Badan Pusat Statistik
Propinsi Sumatera Utara, Sumatera Utara Dalam Angka 1999, (1999),34.
[3] Dinas Pariwisata Dan
Kebudayaan Kabupaten Nias, Sejarah Berdirinya Dinas Pariwisata Dan
Kebudayaan Kabupaten
Nias, (21 Juni 2002), 1.
[4] M. Junus
Melalatoa, “Ensiklopedia Suku Bangsa di
Indonesia”, Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1995, Hal.
637
[5] M. Junus
Melalatoa, “Ensiklopedia Suku Bangsa di
Indonesia”, Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1995, Hal.
637
[6] Yuni
Sare dan Petrus Citra, “Antropologi SMA
MA XII”, Jakarta, Grasindo, 2006,
43-44.
[7] Dr. Harun Hadiwijono, “Religi Suku Murba di Indonesia”, Jakarta,
BPK Gunung Mulia, 2009, 88.
[8] M. Junus
Melalatoa, “Ensiklopedia Suku Bangsa di
Indonesia”, Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1995, Hal.
637
[9] Dr. Harun Hadiwijono, “Religi Suku Murba di Indonesia”, Jakarta,
BPK Gunung Mulia, 2009, Hal. 89
[10] Dr. Harun Hadiwijono, “Religi Suku Murba di Indonesia”, Jakarta,
BPK Gunung Mulia, 2009, Hal. 92
[11] M. Junus Melalatoa, “Ensiklopedia
Suku Bangsa di Indonesia”, Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
RI, 1995, 637.
[12] Dr. Harun Hadiwijono, “Religi Suku Murba di Indonesia”, Jakarta,
BPK Gunung Mulia, 2009, 93.
[13] Dr. Harun Hadiwijono, “Religi Suku Murba di Indonesia”, Jakarta,
BPK Gunung Mulia, 2009, 94.
[14] J. A Sonjaya “Makna Megalitik Kontekstualisasi dalam
Sejarah Budaya Börönadu”¸ Staf Pengajar Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu
Budaya UGM & Peneliti Pusat Studi Asia Pasifik UGM, 3.
Posting Komentar untuk "Sejarah Suku Nias dan Keparcayaan"
Berkomentar yg membangun dan memberkati.