Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sejarah Suku Nias dan Keparcayaan

 

Sejarah Suku Nias dan Keparcayaan

Sejarah Suku Nias dan Keparcayaan

 Nias merupakan sebuah pulau yang berada di sebelah barat Pulau Sumatera, terletak antara 0012’ –1032’ Lintang Utara (LU) dan 970– 980 Bujur Timur (BT). Secara adimistratif Nias merupakan kabupaten yang termasuk dalam Propinsi Sumatera Utara.[1] Pulau Nias yang bependuduk 701.800 Jiwa dengan kepadatan 131,9[2] dikenal di dunia luar baik dalam negri maupun luar negri sebagai suatu pulau yang menarik. Pulau Nias memiliki berbagai potensi yang menarik baik dari sumber daya alamnya (potensi alamnya), kependudukannya, kehidupan sosialnya, dan juga sejarah dan adat istiadatnya serta kebudayaanya. Dunia luar mengenal Pulau Nias adalah pulau yang dihuni oleh penduduk yang memiliki budaya yang unik dan menarik terutama bagi bangsa-bangsa Eropa, jauh sebelum Indonesia Merdeka. Hal ini dapat dibuktikan bahwa pada tahun 1905 ada seorang Missionaris berbangsa Eropa membeli satu unit Rumah Adat Tradisional Nias di Hilimondrege Raya, dibongkar dan dibawa kenegaranya (Swiss) untuk didirikan disana.[3]

Pada suku Nias masih terdapat megalitikum yang hidup. Tugu-tugu bekhu yang terdapat di pulau Nias pada hakikatnya adalah monumen-monumen tua gaya kebudayaan megalitikum. Terlebih-lebih di Nias Selatan masih terdapat rumah-rumah kepala suku yang besar. Rumah di desa didirikan dalam dua baris yang saling berhadapan. Bidang-bidang tanah yang ada di antara rumah-rumah itu diberi lantai dari batu-batu yang besar. Di situ terdapat tempat duduk yang terbuat dari batu yang diperuntukkan bagi nenek moyang suku. Kecuali itu terdapat juga tanda-tanda lain dari kebudayaan megalitikum. Desa-desa dipagari tembok yang dilengkapi dengan tangga batu dan menara.

KEPERCAYAAN SUKU NIAS

A.   Keyakinan Terhadap Dewa

Ada dua dewa yang dipandang penting, yaitu Lowalangi, dewa alam atas, sumber segala yang baik, dan Lature Dano, dewa alam bawah, yang pada umumnya lebih menampakkan aspek-aspek yang negatif dan saudara tua Lowalangi.[4] Lowalangi dipandang sebagai dewa yang terpenting. Ada banyak doa, matra, sumpah, dan kutukan yang bersandar pada Lowalangi dan kekuasaannya. Ia menentukan mati dan hidup manusia, memberikan berkat dan kutuk, kekayaan, dan kemiskinan. Dialah yang menetapkan dan yang memberhentikan kepala-kepala suku. Ia berada dimana-mana dan mengetahui segala sesuatu, serta menghukum yang jahat.

Lature Dano menyebabkan adanya penyakit, kematian, gempa bumi, angin ribut, dan lain-lainnya. Akan tetapi, semua itu tidak menambah arti di dalam kehidupan religius suku Nias. Seorang tokoh penting di dalam alam kedewaan Nias adalah Silewe Nazarata, seorang dewi yang dihubungkan dengan imamat di Nias. Silewe Nasarata adalah dewa pelindung para pemuka agama dan istri Lowalangi.[5] Agaknya dewi inilah yang dipandang sebagai penyebab penjadian dunia sebenarnya. Silewe nazarata adalah seorang tokoh yang sangat penting, karena ia dipandang sebagai pengantara antara Lowalangi dan para manusia dan antara Lowalangi dan Lature Dano. Ia juga dipandang sebagai teladan bagi imam orang Nias. Sering disebutkan bahwa tempat kediaman Silewe Nazarata adalah di bulan, sekalipun tempat kediamannya yang resmi adalah di samping Lowalangi di alam yang teratas. Karena kediamannya di bulan itu, ia sering dipandang sebagai dewi bulan.

Silewe Nazarata juga dipandang berada dimana-mana. Ia adalah penolong manusia, dan sering dapat melakukan hal-hal yang mencelakakan. Oleh karenanya Silewe juga sangat ditakuti. Ia memiliki lambang-lambang dan nama tambahan yang sangat banyak. Sering ia dihubungkan dengan alam atas dan Lowalangi, tetapi juga dengan alam bawah dan Lature Dano. Sekalipun ia dipandang sebagai seorang dewi, ia memiliki juga bentuk-bentuk penampakkan yang menunjukkan sifat-sifat laki-laki. Agaknya sifat ambivalen yang kosmis ini (lambang alam atas dan alam bawah) disebabkan karena ambivalensi seksual.

Silewe Nazarata digambarkan sebagi sebuah patung yang besar (lebih dari dua meter), tanpa tangan, dengan perhiasan kepala yang menunjukkan persamaan dengan sebuat siter, atau sering sebagai sepasang tanduk, atau dalam bentuk kelamin laki-laki dengan buah dada perempuan, atau juga dalam bentuk kelamin perempuan yang diberi janggut dan kumis. Patung yang demikian itu biasanya berkepala dua.

Penempatan patung semacam itu dan perbuatan-perbuatan kultus yang dihubungkan dengannya agaknya hanya menjadi wewenang para imam dan para bangsawan. Jika ada bahaya atau bencana yang besar yang mengguncangkan masyarakat, atau jika orang melakukan kesalahan-kesalahan yang besar, patung semacam itu didirikan.

Ada juga suatu kepercayaan yang ada di suku Nias adalah kpercayaan Pelebegu. Pelebegu adalah nama dari agama popular di Nias, yang berarti ‘penyembah roh. Penganutnya sendiri menyebut agama mereka adalah molohe adu (penyembah adu). Sifat agama ini berkisar pada penyembahan roh leluhur. Untuk keperluan ini mereka membuat patung-patung kayu yang disebut adu. Patung yang ditempati oleh roh leluhur disebut adu satua dan harus dirawat dengan baik. Menurut kepercayaan umat pelebegu tiap orang mempunyai dua macam tubuh, yaitu yang kasar yang disebut boto, yang halus disebut noso (napas) dan lumo-lumo (bayangan). Jika seseorang mati boto-nya kembali menjadi debu, nosonya kembali kepada Lowalangi (Allah) dan lumo-lumo-nya berubah menjadi bekhu (roh).

Selama belum dilakukan upacara kematian, bekhu akan tetap berada disekitar tempat pemakamannya. Menurut kepercayaan, untuk pergi ke dunia roh, seorang harus menyebrangi suatu jembatan yang dijaga ketat seorang dewa penjaga dengan kucingnya. Orang berdosa dan belum diupacarakan akan didorong masuk ke neraka yang berada dibawah jembatan. Menurut kepercayaan Pelebegu, kehidupan setelah mati adalah kelanjutan dari kehidupan yang sekarang. Orang yang kaya dan berkedudukan tinggi akan demikian keadaannya di dunia arwah. Demikian juga orang miskin. Perbedaan dunia arwah dengan dunia manusia hanya terletak pada keadaan terbalik, misalnya jika disini malam disana siang.[6] 

B.    Mite Penjadian

Mengenai hal ini terdapat cerita-cerita yang sangat kompleks. Akan tetapi, semua cerita menceritakan bahwa Lowalani dan Lature Dano diciptakan, artinya sebelum mereka sudah ada tokoh dewa yang lebih tinggi. Bagian pertama mite, yang dimiliki semua sumber, menyebutkan bahwa pada awal mula yang ada adalah kekacauan (khaos), kabut dan gelap. Dari kekacauan itulah timbul tokoh dewa yang pertama. Selanjutnya mite-mite itu berbeda satu sama lain.

1.    Mite dari Nias Utara

Dari kabut dan kegelapan itu timbulah sebagai tokoh dewa pertama, Tuha Sihai, yang digambarkan berdiam di alam yang tidak lebih besar dari sebuah rumah dan didukung oleh angina. Inilah alam yang pertama atau alam yang paling atas, yang juga disebut langit yang tertinggi. Setelah Sihai meninggal, dari napasnya timbullah Aloloa Nangi yang kemudian juga meninggal. Dari otaknya dilahirkan pohon-dunia (Tora’a). dari bagian pohon atas, tengah dan bawah tumbuhlah tiga taruk. Dari taruk yang atas lahiriah Lowalangi dan Lature Dano dan dua roh jahat. Nadaoya dan Afokha. Dari taruknya yang tengah lahirlah dua roh baik dan satu roh yang jahat. Dari taruknya yang bawah tidak ada yang dilahirkan. Dengan dibantu oleh roh-roh yang baik, Lowalangi dan Lature Dano bermaksud menciptakan manusia. Lature Dano tidak berhasil menunaikan tugasnya, tetapi Lowalangi dapat menghidupkan manusia. Pasangan manusia pertama ini hidup dilangit ketiga. Sesudah enam angkatan, lahirlah Sirao yang hidup dilapisan langit yang kedelapan, yang berada persis di atas dunia kita ini. Menurut mite ini Sirao adalah seorang manusia. Sekalipun demikian ia pandang sebagai pencipta dunia yang sebenarnya dan sebagai nenek moyang manusia.

2.    Mite dari Nias Selatan[7]

Pada awal mula belum ada dibumi dan dunia; yang adalah kabut. Kabut ini kemudian memecah diri, sehingga lahir Inada Samihara Luwo (Inada = ibu kita). Ialah yang menyebabkan adanya penjadian dunia. Tubuhnya memecah diri. Lalu lahir ibu-suku dari dewa-dewa dan umat manusia, yaitu Inada Samudulo Hosi. Ia tidak bersuami. Sekalipun demikian ia melahirkan dua pasag anak kembar, yaitu Lature Dano Towe dan adik perempuannya, yang kemudian dikawininya, dan Sabolo Luwe Gogomi. Dan adik perempuannya yang juga kemudian dikawini. Sabolo Luwe Gogomi ini adalah nama Lowalangi ketika ia masih muda. Lowalangi memilih alam atas sebagai tempat kediamannya, sedang Lature Dano memilih alam bawah.

Lowalangi menyatakan bahwa ia adalah yang tertua dan yang terkuasa di antara mereka. Hal itu menyebabkan kedua saudara ini mengadu kekuatan. Lowalangi melempar bukit-bukit karang kea lam bawah selama Sembilan hari. Akan tetai Lature Dano tidak menderita apa-apa. Sesudah itu Lature Dano menggoyang dunia dengan segala kekuatannya, sehingga rumah kediaman Lowalangi runtuh. Demikianlah Lowalangi harus mengakui keunggulan Lature Dano dan mengakuinya sebagai tertua.

Kemudian Lowalangi kawin dengan anak perempuan Lature Dano sebagai istri kedua. Anak yang lahir dari perkawinan ini berbentuk bulat, tanpa anggota tubuh. Oleh karena itu, anak ini diiris menjadi dua bagian dengan pisau. Bagian pertama dilemparkan ke sebuah sumber dan bagian yang kedua dilemparkan ke muara sungai. Bagian yang jatuh di sumber menjadi seorang perempuan, sedang bagian yang jatuh di muara sungai menjadi seorang laki-laki. Keduanya kemudian bertemu dan kawin, serta menjadi nenek moyang umat manusia.

Hal yang patut diperhatikan di dalam mite penjadian Nias Selatan ini ada dua hal, yaitu penjadian dianggap berpangkal kepada seorang ibu tertua atau ibu-suku (ibu-asal), dan disini tidak ada gambaran tentang pohon-dunia seperti halnya dengan mite penjadian Nias Utara. Sebenarnya bagi orang Nias Selatan nama Lowalangi, yang biasa disebut Lowalani, diperkenalkan oleh misionaris Jerman. Orang Nias Selatan dulu mengenal nama Ida Samihara Luo sebagai pencipta dewa dan manusia. Sang pencipta ini tidak mempunyai realitas, namun dari padanya timbul dua anak kembar yang kemudian anak kembar ini kawin dan mengembangbiakkan dewa dan manusia.[8]

3.    Mite yang lain mengenai penjadian

Masih ada mite yang lain mengenai penjadian ini. Suku Nias sendiri menganggap diri mereka berasal dari empat bapa-asal. Nama-nama bapa-asal itu jika disingkat adalah Hia, Gozo, Hulu dan Daeli. Kadang-kadang disebutkan bahwa ada enam bapa-asal. Jika demikian ceritanya, Hia diganti oleh tiga orang anaknya. Menurut cerita, penurunan manusia itu terjadi demikian. Petama-tama Hia dengan segala miliknya diturunkan di Nias Selatan. Akan tetapi, ternyata Pulau Nias (dunia) menjadi berat sebelah, sehingga bagian selatang terjungkir ke laut. Untuk mengadakan keseimbangan, Gozo diturunkan di bagian utara. Akibatnya lebih menyedihkan lagi karena bagian tengah berjendul, sedang bagian utara tenggelam di bawah permukaan laut. Hulu dan Daeli lalu diturunkan di bagian tengah. Demikianlah bumi menjadi rata.

Empat manusia yang diturunkan ke bumi tadi adalah anak Sirao, yaitu tokoh yang berdiam di lapisan langit kedelapan yang terletak persis di atas dunia tempat kediaman manusia. Sirao memiliki tiga orang istri, yang masing-masing memiliki tiga orang anak. Istri utamanya memiliki tiga orang anak, yang kadang-kadang dipandang sebagai tiga anak kembar, yaitu Ba’uwa Dano, Lekindro, Luo Mewona, sedang anak-anak istri lainnya ialah Laore, Gozo, dan Hia, serta Lohari, Daeli dan Hulu.

Ketika anak-anak itu sudah dewasa, Sirao mencari penggantinya. Ia ingin mengundurkan diri (mati). Semua anaknya menganggap diri mereka cakap untuk menjadi pengganti. Mereka menimbulkan keributan di desa dan mengadu kepandaian memainkan senjata. Hal itu menyedihkan Sirao. Untuk menentukan siapa yang akan diperkenankan menggantinya, ia mengadakan sayembara. Ia menancapkan sebuah tombak pada hulunya di tanah. Barang siapa dapat berdiri dan berjongkok di atas tombak itu seperti seekor ayam jantan bertengger, dialah yang layak menjadi penggantinya.

Semua anaknya mencoba. Akan tetapi, hanya Luo Mewona-lah yang berhasil. Oleh karena itu, dilah yang diperkenankan menggantikan ayahnya dan tetap tinggal di alam atas. Nasib anak-anak Sirao yang lain ialah, Ba’uwa Dano tinggal di alam bawah sebagai penopang bumi, sedang Hia, Gozo, Faeli dan Hulu menjadi bapa-asal menusia dan tinggal di alam tengah.[9] 

4.    Mite yang lain juga menceritakan demikian

Ada pertengkaran antara Luo Mewona, Ba;uwa Dano dan Lekindro. Di dalam pertengkaran itu Lekindro dipotong menjadi dua, sebagian dimiliki Luo Mewona dan bagian yang lain oleh Ba’uwa Dano, anak Sirao yang lain diperintahkan supaya bersin. Ia bersin begitu kuatnya sehingga kepalanya lepas dari batang tubuhnya. Kepala itu menjadi pohon kelapa, sedang darahnya menjadi rumput dan bermacam-macam pohon.

Kesamaan hakikat dan nasib antara Luo Mewona dan Lowalangi di satu pihak serta Ba’uwa Dano dan Lature Dano di lain pihak sangat mencolok, sehingga orang harus berpendapat bahwa kedua tokoh itu adalah sama. Ternyata, di dalam salah satu nyanyian upacara kematian memang disebutkan bahwa Luo Mewona sama dengan Lowalangi. Di dalam kesusastraan Nias, keduanya memang sering dipandang identik. Jika Lature Dano (Ba’uwa Dano) dan Lowalangi dan (Luo Mewona) adalah anak-anak Sirao dan hasil ciptaannya, maka keduanya tidak mungkin mendahului Sirao. Anehnya di dalam salah satu mite, anak-anak ini sering dipandang mendahului Sirao.

C.    Keyakinan tentang Jiwa[10]

Ungkapan-ungkapan yang dipakai untuk mengungkapkan pengertian jiwa adalah noso dan bekhu. Noso dipandang datang dari Dewa Lowalangi atau dari salah satu bentuk penampakkan dewa itu. Sesudah yang memiliki noso itu mati, maka noso kembali kepada Lowalangi. Hakikat noso sering diuraikan sebagai napas, hidup, atau asas yang dialaminya.

Bekhu tampil jika orang sudah mati. Ia pergi ke alam orang mati. Dalam praktiknya, bekhu sama dengan bentuk eksistensi yang baru dari orang yang mati itu. Dengan demikian, keyakinan suku Nias mengenai jiwa memiliki persamaan dengan suku Ngaju dan Batak. Seperti yang pernah dilukiskan di Nias Selatan, sistem kepercayaan mereka mengenal bermacam-macam roh, penjelmaan dari orang-orang yang telah meninggal. Maciana roh wanita yang meninggal karena melahirkan, yang kembali mengganggu wanita-wanita yang mau melahirkan. Selain itu ada Solofo yaitu roh orang pandai berburu, Bech adalah hantu orang mati biasa.[11]

D.   Keyakinan tentang Kekuatan Gaib

Suku Nias mengenal adanya eheha. Eheha adalah kekuatan yang berjiwa dan menjiwai, yang dapat diwariskan dari ayah kepada anaknya laki-laki. Sebenarnya eheha ini hanya berarti bagi para pemimpin, itu pun laki-laki. Pada orang-orang yang tidak penting, tidak pernah terucap adanya eheha. Jika orang penting yang memiliki eheha itu mati, anak laki-lakinya meletakkan mulutnya pada mulut sang wafat untuk menerima eheha-nya, yang tampak seperti buih pada mulut sang wafat itu. Eheha menjadikan orang yang memilikinya bijaksana, cakap, berpengaruh, dan sebagainya.

Anehnya, di Nias Selatan tidak ada pengertian mengenai eheha ini. Eheha sangat erat hubungan dengan jiwa-hidup atau noso. Dalam banyak segi, keduanya sering disamakan. Agaknya eheha harus dipandang sebagai suatu kualitas atau suatu potensi yang luar biasa dari noso, yaitu kekuatan noso yang paling dinamis dan paling jelas dapat dihayati. Seperti yang telah dikemukakan, eheha hanya tampak pada orang-orang yang itnggi martabatnya, umpamanya para kepala desa atau suku, para imam, dan para bangsawan. Eheha dapat tampak dalam hal-hal yang luar biasa, umpamanya kedaulatan, kehormatan, dan lain sebagainya. Akan tetapi eheha juga dapat tampak dalam hal-hal negative, umpamanya untuk mencelakakan orang lain, dan lain sebagainya.

E.    Tata tertib Sosial[12]

Kesatuan politik-sosial yang terpenting bagi suku Nias adalah desa. Pada dasarnya pendirian suku Nias tentang desa sama dengan suku Ngaju, yaitu bahwa desa adalah pengganti dari seluruh dunia. (Kata banua berarti desa dan juga dunia). Organisasi desa adalah pengulanga desa yang tertua dan penghadiran desa tertua itu, yaitu Teteholi, tempat kediaman Sirao di alam atas. Segala aspek dualisme kosmis terdapat juga pada acara orang mengatur desanya.

Masyarakat Nias dibagi menjadi berbagai mecam kelompok, yang satu dibedakan secara tajam dengan yang lain, semacam kasta Hindu.

Pertama, ada kelompok bangsawan yang terdiri dari orang-orang yang merdeka, yang mewakili manusia ideal (manusia sempurna). Mereka dibedakan dari masyarakat umum oleh kesusilaan dan tingkah laku mereka serta penampakan tubuh. Kedudukan yang tinggi ini bukan disebabkan karena kekayaan, melainkan karena dasar-dasar religius. Mereka dihubungkan dengan alam atas dan dengan Dewa Lowalangi. Oleh karena itu, mereka mendiami bagian desa yang secara istimewa menjemalkan alam atas. Merekalah yang menetapkan kepala desa dan jabatan penting lainnya di dalam masyarakat. Warna suci yang menjadi lambangnya adalah kuning keemasan.

Kedua, rakyat biasa, yaitu penduduk desa yang sederhana, yang tergolong orang merdeka juga. Mereka dihubungkan dengan alam bawah dan dengan Lature Dano. Warna suci yang menjadi lambangnya adalah merah. Diantara kaum bangsawan dan rakyat biasa, terdapat ketegangan-ketegangan. Sekalipun demikian, mereka saling memerlukan. Mereka bersama-sama mewujudkan totalitas masyarakat seperti halnya alam atas dan alam bawah, atau seperti halnya Lowalangi dan Lature Dano yang juga mewujudkan kesatuan dalam pertentangan.

Ketiga, kelompok budak yang berada di luar masyarakat. Di dalam mite penjadian mereka tidak disebut-sebut, karena mereka tidak dilahirkan dari pohon-dunia atau pohon-hidup. Sesudah mati, mereka dikubur tanpa upacara atau ditinggalkan begitu saja dihutan-hutan. Mereka tidak memiliki harapan diakhirat.

F.    Pesta-pesta[13]

Dua kelompok upacara pesta religius akan dibicarakan di sini. Upacara-upacara pesta religius ini menunjukkan ciri-ciri khas kebudayaan Nias, yaitu hubungannya yang masih sangat erat dengan kebudayaan megalitikum. Adapun kelompok upacara pesta religius yang dimaksudkan ialah pesta-jasa atau pesta kedudukan (owasa) dan pesta boro-nadu atau pesta suku.

1.    Pesta-jasa atau pesta kedudukan (owasa)

Tujuan pesta religius ini ialah untuk memperoleh kehormatan, nama, kedudukan, dan gelar. Jika pesta ini diselenggarakan oleh kaum bangsawan, pada kesempatan ini diadakan juga korban manusia dan pendirian suatu momumen megalitikum. Ole karena itu, pesta-pesta ini diselenggarakan di luar desa. Jika pesta ini diselenggarakan rakyat biasa, segala sesuatu dilaksanakan serba sederhana dan hanya diselenggarakan bagi anggota masyarakat desa itu sendiri, tanpa mengundang tamu dari luar.

Bagi kaum bangsawan maupun bari rakyat jelata berlaku aturan, bahwa orang boleh mengadakan owasa segera setelah ia kawin. Segera setelah kawin, ia harus berusaha untuk mengumpulkan emas dan babi yang cukup untuk menyelenggarakan owasa yang pertama. Di Nias Selatan ada kebiasaan untuk mulai menyelenggarakan owasa tingkat pertama dengan membuatkan anting-anting emas bagi istri. Dari kebiasaan ini jelaslah bahwa owasa dimakud sebagai pemberitahuan kepada umu tentang status atau kedudukan sosial dan pangkat yang baru, yang sudah dicapai suami istri itu dengan adanya anting-anting emas tadi.

Tingkat owasa kedua sudah barang tentu menuntut adanya perhiasan yang lebih berharga, yang disesuaikan dengan gelar dan pangkat yang sudah dicapai pasangan tersebut. Salah satu hal yang dianggap sangat berharga adalah sebuah payung emas, yaitu payung sutra yang disulam dengan bunga-bungaan emas.

Bagi rakyat biasa, terdapat 5 tingkatan pangkat atau kedudukan, sedang bagi kaum bangsawan terdapat 20 tingkatan atau lebih. Jika seorang bangsawan ingin mencapai tingkatan tertinggi, ia harus mendirikan sebuah momumen megalit dan harus memenuhi syarat-syarat lain. Jika seorang bangsawan sangat kaya, ia diperkenankan menyelenggarakan 5 tingkatan pertama dari owasa sekaligus. Yang termasuk tuntutan owasa di antaranya adalah memamerkan kekayaan dalam bentuk barang-barang yang terbuat dari emas dan menghamburkan kekayaan miliknya dalam bentuk babi dalam jumlah yang banyak. Pada umumnya, tidak semua babi yang disembelih pada pesta ini dimakan. Kebanyakan daging babi itu ditempatkan di dalam keranjang yan digantungkan di halaman di antara kedua barisan rumah yang saling berhadapan, dan biasanya daging itu dijatuhkan oleh anak-anak sehingga daging itu itu membusuk di tanah sert menjadikan tanah sangat licin. Selama upacara itu berlangsung, diadakan makan-minum secara berlebihan.

Bagi orang yang menyelenggarakannya, owasa itu merupakan suatu gengsi untuk memberikan sebanyak mungkin  babi. Dalam tahap pertama biasanya sudah cukup dengan memberikan 10 ekor babi, tetapi kadang-kadang sampai 50, 100, dan 500 ekor atau lebih. Pendirian monumen batu megalit biasanya dilakukan pada bermacam-macam kesempatan dalam hidup religi suku itu. Banyak monumen megalit yang sering dihias dengan gambar-gambar.

Pada waktu owasa, ada tiga macam monumen batu besar yang penting, yaitu:

a.    Sebuah monolit (satu batu) seprti menhir yang didirikan tegak, yang disebut jantan.

b.    Sebuah batu seperti dolmen yang mendatar, yang kebanyakan diberi kaki tiang-tiang kecil dan didirikan bagi kaum perempuan.

c.     Suatu kombinasi dari kedua monumen tersebut di atas, yaitu sebuah batu mendatar yang diberi lubang, yang dapat dimasuki sebuah batu monolit yang tegak. Hal itu dimaksudkan sebagai gambaran perkawinan, suatu penjelmaan dari kesatuan yang hakiki dari aspek laki-laki dan perempuan, yaitu totalitas manusia.

Monumen yang demikian itu diletakkan pada pedati yang menggambarkan perahu dan diangkut ketempat monumen itu akan didirikan. Orang yang menyelenggarakan pesta duduk di atas batu monumen itu sambil meloncat kian kemari dengan memainkan pedang dan menancapkan bendera atau layar di kanan kiri. Suatu momumen lain yang diperhatikan adalah monumen yang disebut saitambaru, yaitu suatu tiang bulat yang diberi beberapa pengait, sebagai pengait beberapa kain.

Hal ini diterangkan demikian. Barang siapa membuat perhiasan dari emas harus takut terhadap kutukan logam itu. Sebuah emas memiliki tabiat pembalasan, kelobaan dan pembunuha. Untuk menghindarkan diri dari hukuman emas itu, harus ada budak yang dikorbankan. Budak itu dibawa ke tempat saitambari didirikan. Kemudian budak itu diperintahkan untk mengaitkan baju kutang emas, teropong emas, pedang emas dan payung emas pada saitambaru. Jika hal itu sudah dilakukan, budak itu dipenggal kepalanya. Kepalanya disentuhkan pada batu itu, lalu diletakkan di atasnya. Kurban manusia ini mengaitkan kita kepada pengayauan.

Monumen batu tadi dihiasi dengan daun-daun kelapa yang menggambarkan sebuah pohon dengan perhiasan emas, yaitu pohon-hidup. Tiang batu juga dipandang sebagai tiang korban yang menggambarkan pohon-hidup. Upacara owasa ini dengan jelas menunjukkan bahwa begitu erat hubungan antara aspek-aspke religious, social kerumahtanggaan dan kesenian dari kebudayaan Nias. Hubungan itu demikian erat sehingga mewujudkan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Juga tidak dapat disangkal bahwa pesta itu menampakkan aspek-aspek peperangan, yang memperhadapkan antara orang yang menyelenggarakan pesta dan para tamunya, sedangkan emas dan babi menggambarkan senjatanya. Peperangan ini masih sering diteguhkan dengan adanya peperangan semu. Dua kelompok yang antagonistis, yaitu penyelenggara pesta dan tamunya, dihubungkan dengan dualisme religious kosmis. Dengan bermacam-macam cara, tampak hubungan antara para dewa dan kejadian serta perwakilannya di dalam pohon-hidup.

2.    Pesta boro nadu

Pesta ini adalah puncak hidup kultus suku Nias, sebab secara langung pesta ini dihubungkan dengan penciptaan dan terjadinya suku Nias. Pesta ini diselenggarakan di tempat-tempat yang dipandang sebagai tempat nenek moyang dahulu turun dari alam atas dan sekaligus juga dipandang sebagai tempat kediaman pertama nenek moyang masing-masing kelompok. Kata boro berarti suku, dasar, atau sebab. Jadi kata boro nadu berarti permulaan perbuatan suci, asal atau sumber tertua penyucian. Selain itu, boro nadu adalah sebutan imam yang tertinggi, yang senantiasa berdiam di tempat nenek moyang suku turun dari alam atas dan yang menyelenggarakan pesta boro nadu.

Börö nadu berasal juga bisa diartikan dari kata börö yang berarti awal dan aduyang berarti patung. Dahulu, setiap Ono Niha yang meninggal akan dibuatkan patung dari kayu atau batu. Patung tersebut merupakan representasi dari orang yang meninggal. Jadi kata börönadu berarti manusia yang awal. Semua orang Börönadu juga orang Nias kebanyakan memang percaya bahwa Börönadu adalah tempat manusia pertama Nias turun dari langit. Börönadu merupakan perkampungan yang unik, karena nuansa kekunoannya masih sangat terasa. Tatanan permukiman dengan beberapa rumah adat serta batu-batu megalitik yang tersisa bisa menjadi petunjuk awal bahwa tradisi megalitik pernah hidup di Börönadu.[14]

Di Nias Selatan, banyak suku memiliki dua macam boro nadu, yang satu untuk memuja nenek moyang yang bersifat laki-laki, sedang yang lain untuk memuja dewa nenek moyang yang bersifat perempuan. Keduanya memelihara sebatang pohon suci yang disebut fosi. Boro nadu tergolong kaum bangsawan. Mereka menggambarkan bangsawan tertua dan tertinggi. Mereka tidak perlu berperang oleh karenanya mereka tidak bersenjata. Akan tetapi jika ada salah seorang anggota keluarga boro nadu terbunuh, semua rakyatnya harus mengumpulkan emas guna menebus pembunuhan itu. Ditempat kediaman boro nadu, yaitu ditempat dahulu nenek moyang suku turun dari alam atas, didirikan sebuah kuli kecil dan beberapa objek kultus, atau didirikan sebuah patung nenek moyang sebagai peringatan bagi nenek moyang mereka.

Akan tetapi yang lebih penting dari semua itu agaknya adalah sebatang pohon suci yang disebut fosi tadi. Menurut keyakinan suku Nias, pohon ini ditanam oleh dewa bagi keselamatan manusia. Dengan sendirinya kita diingatkan pada pohon-hidup. Konon jika daun-daun pohon itu rontok, bala penyakit akan berjangkit. Jika karena angin rebut ada tangkai-tangkai pohon itu yang jatuh, hal itu akan menjadi alamat bahwa ada seorang kepala suku besar yang akan mati, atau ada sebuah desa akan berbakar, atau ada bencana hebat lainnya. Jika pohon ini mati, seluruh umat manusia mati.

Jarak pesta boro nadu yang satu dengan yang lain adalah tujuh, sepuluh, atau empat belas tahun. Peserta pesta ini adalah kelompok-kelompok atau cabang-cabang suku yang diturunkan dari suku tertua. Cabang suku yang demikian disebut ori, suatu kata yang berarti lingkaran (gelang). Susunan dan fungsi ori sulit ditentukan. Yang termasuk ori ialah sekelompok (lingkaran) desa tetangga yang saling berhubungan karena perkawinan (terlebih-lebih bagi kaum bangsawan), dan yang mewujudkan suatu persekutuan kultus (umpamanya, owasa senantiasa dirayakan di dalam batas-batas ori). Selain itu, ori juga merupakan suatu kesatuan territorial yang harus memenuhi tugas-tugas kultus. Secara politis, masing-masing desa itu merdeka (dari empat atau enam suku yang tertua dapat timbul kira-kira 300 ori).

Jalannya pesta boro nadu adalah sebagai berikut. Berbondong-bondong orang mengunjungi pesta ini dengan pakaian yang idanh. Akan tetapi, pada pesta ini tidak dibagikan makanan. Segala permusuhan pada saat ini harus dihentikan. Sebelum pesta dimulai, orang membuat patung manusia dan harimau yang pada hari pesta itu diarak ke tempat pesta dengan nyanyian dan tarian. Boro nadu mengadakan korban sebagai penghormatannya. Sesudah itu, patung-patung tadi dilemparkan ke lembah yang ada airnya sebagai uang tebusan bagi jiwa manusia.

Sementara itu orang melepaskan seekor babi di bawah pohon fosi. Sebelum dilepaskan, babi itu diberi makan babi dan telur. Ini adalah pemberian makanan yang terakhir. Sesudah itu tidak seorang pun yang boleh memberi makan babi itu. Juga babi itu tidak boleh diusir seandainya mencari makanan sendiri di halaman orang. Sesudah tujuh tahun lamanya babi itu berkeliaran, babi itu ditangkap oleh boro nadu dan sembelih. Dagingnya dibagi-bagikan sedemikian rupa sehingga setiap desa yang berada di bawah pengawasan boro nadu itu mendapat bagian. Kepala desa membagi bagian yang jatuh kepada desanya dan kepada para keluarga di desanya, sedangkan tiap keluarga membagi bagiannya kepada anggota keluarga untuk dimakan agar mereka dapat berkembang dengan sejahtera. Bagian-bagian daging itu biasanya menjadi sangat kecil, hampir sama dengan biji kacang atau lebih kecil lagi. Yang penting disini adalah khasiatnya.

Sebagai balasan, masing-masing keluarga mempersembahkan sebutir emas kepada boro nadu. Pada perayaan berikutnya dilepaskan lagi seekor babi, demikian seterusnya. Semua tindakan dalam pesta ini dihubungkan dengan kejadian-kejadian dalam mite penjadian. Tujuan pesta ini adalah mengungkapkan kematian, perusakan kosmos, dan kelahiran kembali serta pembaruannya.

Kematian diungkapkan dengan pengorbanan babi suci, sebab hal itu menggambarkan pembunuhan seluruh umat manusia. Perusakan kosmos diungkapkan dengan pelemparan patung ke dalam lembah sungai, yang menggambarkan alam atas dan alam bawah. Pada hari sebelum pesta dimulai, diadakan tari-tarian dan peperangan semu, yang jelan dihubungkan dengan dualism yang religious-mistis. Akhirnya kelahiran kembali dan pembaruan diungkapkan dengan pelepasan babi suci, yang setiap kali dilepaskan hingga pesta berikutnya.

Mungkin arti pesta boro nadu ini dapat dirangkum seperti berikut ini. Orang merasa perlu untuk menyatakan kepada tokoh dewa yang tertinggi, bahwa mereka merasa dan menghayati, bahwa dunia ini ada hubungannya dengan alam atas, bahwa kekuatan hidupnya datang dari atas, dan bahwa mereka akan kembali ke sana, dan akhirnya bahwa mereka sangat girang diperkenankan hidup di bawah hukum-hukum hidup ini.

 

Sejarah Suku Nias dan Keparcayaan

Sejarah Suku Nias dan Keparcayaan

TITIK TEMU Kepercayaan Suku Dan Kekristenan

NO.

SUKU NIAS

KEKRISTENAN

1.

Lowalangi adalah dewa pencipta dan dewa yang memerintah.

Allah yang menciptakan dunia ini (Kejadian 1:1).

2.

Lature Dano adalah dewa yang menjaga dan memelihara.

Tuhan menjaga orang-orang yang setiawan (Maz. 31:23).

3.

Silewe Nasarata adalah dewa yang melindungi para pemuka agama.

Allah menetapkan wakil-Nya dalam dunia ini: pemerintah, pemuka agama, dsb (Roma 13:1-2).

4.

Pelebegu adalah nama dari agama popular di Nias, yang berarti penyembah roh.

Setiap orang percaya harus menyembah dalam roh dan kebenaran (Yohanes 4:24).

5.

Ada kelompok status yang ada di suku Nias adalah kelompok budak. Kelompok ini tidak pernah disebut-sebut, apabila meninggal tidak ada upacaranya dan mereka tidak ada harapan dalam dunia akhirat (artinya mereka tidak ada ha katas kehidupan mereka) dan mereka juga dijadikan tumbal di upacara-upacara yang diadakan.

Dalam Alkitab juga menjelaskan bahwa seorang budak adalah seorang yang yang dibeli oleh tuannya dan tidak mempunyai ha katas kehidupannya sendiri serta tidak menuntut apa-apa.

6.

Ada suatu pesta di Suku Nias dengan tujuan bahwa untuk mengungkapkan kematian yang menuju kepada kelahiran baru.

Orang yang percaya di dalam nama Tuhan Yesus Kristus setelah mengalami kematian maka akan memperoleh kehidupan yang baru.

7.

Ketika orang mengalami kematian maka noso akan kembali kepada Lowalangi.

Orang percaya ketika mengalami kematian rohnya akan kembali kepada Allah.

 

 

TANGGAPAN PENULIS

Tidak disangka bahwa kepercayaan suku Nias dan Kristen ada titik temu, sekalipun hanya dalam arti formal. Sebab keduanya memiliki keyakinan akan adanya tokoh-tokoh ilahi dan manusia sebagai hasil karyanya. Akan tetapi, juga tidak dapat disangkal bahwa keduanya memiliki perbedaan yang sangat mencolok. Kepercayaan-kepercayaan yang dimiliki suku Nias memang sangat menunjukkan perbedaan yang sangat besar dengan ajaran Alkitab. Namun, itu semuanya terjadi karena pada zaman dahulu dimana mereka belum terjangkau dan tidak mengenal apa-apa sehingga mereka memutuskan sesuatu terhadap apa yang mereka lihat dan rahasakan setiap hari sebagai suatu kepercayaan bagi mereka.

Satu hal yang perlu dipelajari adalah walaupun ajaran yang mereka percayai adalah salah tetapi mereka begitu taat dan percaya sepenuhnya terhadap Allah mereka, itulah yang harus dicontoh oleh orang-orang Kristen pada saat ini. Dan setelah kita sudah mengetahui tentang ajarannya, marilah kita bertindak untuk memperbaiki, supaya mereka mempunyai pemahaman yang benar.

Kita juga tidak akan pernah lepas dari kepercayaan yang berasal dari suku kita masing-masing karena kita masih menggunakan istilah-istilah itu sendiri dalam kehidupan sehari-hari tapi tidak akan menjadi masalah karena kita sudah memiliki pemahaman yang benar. Dan tidak disangkal bahwa pemikiran suku Nias ini masih sangat kuat pengaruhnya di dalam cara kita berpikir dan berbuat pada zaman sekarang.



[1] Kantor Statistik Kabupaten Nias,Nias Dalam Angka 2002, (2003), xvii-xviii.

[2] Badan Pusat Statistik Propinsi Sumatera Utara, Sumatera Utara Dalam Angka 1999, (1999),34.

[3] Dinas Pariwisata Dan Kebudayaan Kabupaten Nias, Sejarah Berdirinya Dinas Pariwisata Dan

Kebudayaan Kabupaten Nias, (21 Juni 2002), 1.

[4] M. Junus Melalatoa, “Ensiklopedia Suku Bangsa di Indonesia”, Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1995, Hal. 637

[5] M. Junus Melalatoa, “Ensiklopedia Suku Bangsa di Indonesia”, Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1995, Hal. 637

[6] Yuni Sare dan Petrus Citra, “Antropologi SMA MA XII”, Jakarta, Grasindo, 2006, 43-44.

[7] Dr. Harun Hadiwijono, “Religi Suku Murba di Indonesia”, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2009, 88.

[8] M. Junus Melalatoa, “Ensiklopedia Suku Bangsa di Indonesia”, Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1995, Hal. 637

[9] Dr. Harun Hadiwijono, “Religi Suku Murba di Indonesia”, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2009, Hal. 89

[10] Dr. Harun Hadiwijono, “Religi Suku Murba di Indonesia”, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2009, Hal. 92

[11] M. Junus Melalatoa, “Ensiklopedia Suku Bangsa di Indonesia”, Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1995, 637.

[12] Dr. Harun Hadiwijono, “Religi Suku Murba di Indonesia”, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2009, 93.

[13] Dr. Harun Hadiwijono, “Religi Suku Murba di Indonesia”, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2009, 94.

[14] J. A Sonjaya “Makna Megalitik Kontekstualisasi dalam Sejarah Budaya Börönadu”¸ Staf Pengajar Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya UGM & Peneliti Pusat Studi Asia Pasifik UGM, 3.

Posting Komentar untuk "Sejarah Suku Nias dan Keparcayaan"