Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jangan Terburu-buru 2 Raja-Raja 5:9-12 Renungan Harian Kristen

 

Jangan Terburu-buru 2 Raja-Raja 5:9-12 Renungan Harian Kristen

Beberapa hari lalu saya membaca sebuah cerita yang cukup menarik. Saya ingin menceritakannya kepada saudara-saudara sebelum memulai renungan ini.

Pernah ada seorang tua yang hidup di desa kecil. Meskipun ia miskin, semua orang cemburu kepadanya karena ia memiliki kuda putih cantik. Bahkan raja menginginkan kudanya itu. Kuda seperti itu belum pernah dilihat begitu kemegahannya, keagungannya dan kekuatannya. Orang menawarkan harga amat tinggi untuk kuda jantan itu, tetapi orang tua itu selalu menolak,  "Kuda ini bukan kuda bagi saya," ia akan mengatakan. "Ia adalah seperti seseorang. Bagaimana kita dapat menjual seseorang. Ia adalah sahabat bukan milik. Bagaimana kita dapat menjual seorang sahabat." Orang itu miskin dan godaan besar. Tetapi ia tidak menjual kuda itu.

Suatu pagi ia menemukan bahwa kuda itu tidak ada di kandangnya.  Seluruh desa datang menemuinya. "Orang tua bodoh," mereka mengejek dia, "sudah kami katakan bahwa seseorang akan mencuri kudamu. Kami sudah memperingatkan anda akan bahaya perampokan. Anda begitu miskin. Mana mungkin anda dapat melindungi binatang yang begitu berharga? Sebaiknya anda sudah menjualnya. Anda boleh minta harga apa saja. Harga setinggi apapun akan dibayar juga. Sekarang kuda itu hilang dan anda dikutuk oleh kemalangan.

Orang tua itu menjawab, "Jangan bicara terlalu cepat. Katakan saja bahwa kuda itu tidak berada di kandangnya. Itu saja yang kita tahu; selebihnya adalah penilaian. Apakah saya dikutuk atau tidak, bagaimana Anda dapat mengetahui itu? Bagaimana Anda dapat menghakimi?" Orang protes, "Jangan menggambarkan kita sebagai orang bodoh! Mungkin kita bukan ahli filsafat, tetapi filsafat hebat tidak diperlukan. Fakta sederhana bahwa kudamu hilang adalah kutukan." Orang tua itu berbicara lagi. "Yang saya tahu hanyalah bahwa kandang itu kosong dan kuda itu pergi. Selebihnya saya tidak tahu. Apakah itu kutukan atau berkat, saya tidak dapat katakan. Yang dapat kita lihat hanyalah sepotong saja. Siapa tahu apa yang akan terjadi nanti?"

Orang‑orang desa tertawa. Menurut mereka orang itu gila. Mereka memang selalu menganggap dia orang tolol; kalau tidak, ia akan menjual kuda itu dan hidup dari uang yang diterimanya. Sebaliknya, ia seorang tukang potong kayu miskin, orang tua yang memotong kau bakar dan menariknya keluar hutan lalu menjualnya. Uang yang ia terima hanya cukup untuk membeli makanan, tidak lebih. Hidupnya sengsara sekali. Sekarang  ia sudah membuktikan bahwa ia betul‑betul tolol. Sesudah lima belas hari, kuda itu kembali. Ia tidak dicuri, ia lari ke dalam hutan. Ia tidak hanya kembali, ia juga membawa sekitar selusin kuda liar bersamanya. Sekali lagi penduduk desa berkumpul sekeliling tukang potong kayu itu dan mengatakan, "Orang tua, kamu benar dan kami salah. Yang kami anggap kutukan sebenarnya berkat. Maafkan kami."

Jawab orang itu, "Sekali lagi kalian bertindak gegabah. Katakan saja bahwa kuda itu sudah balik. Katakan saja bahwa selusin kuda balik bersama dia, tetapi jangan menilai. Bagaimana kalian tahu bahwa ini adalah berkat? Anda hanya melihat sepotong saja. Kecuali kalau kalian sudah mengetahui seluruh cerita, bagaimana anda dapat menilai? Kalian hanya membaca satu halaman dari sebuah buku. Dapatkah kalian menilai seluruh buku? Kalian hanya membaca satu kata dari sebuah ungkapan. Apakah kalian dapat mengerti seluruh ungkapan? Hidup ini begitu luas, namun Anda menilai seluruh hidup berdasarkan satu halaman atau satu kata. Yang anda tahu hanyalah sepotong! Jangan katakan itu adalah berkat. Tidak ada yang tahu. Saya sudah puas dengan apa yang saya tahu. Saya tidak terganggu karena apa yang saya tidak tahu."

"Barangkali orang tua itu benar," mereka berkata satu kepada yang lain. Jadi mereka tidak banyak berkata‑kata. Tetapi di dalam hati mereka tahu ia salah. Mereka tahu itu adalah berkat. Dua belas kuda liar pulang bersama satu kuda. Dengan kerja sedikit, binatang itu dapat dijinakkan dan dilatih, kemudian dijual untuk banyak uang. Orang tua itu mempunyai seorang anak laki‑laki. Anak muda itu mulai menjinakkan kuda‑kuda liar itu. Setelah beberapa hari, ia terjatuh dari salah satu kuda dan kedua kakinya patah. Sekali lagi orang desa berkumpul sekitar orang tua itu dan menilai. "Kamu benar," kata mereka, "Kamu sudah buktikan bahwa kamu benar. Selusin kuda itu bukan berkat. Mereka adalah kutukan. Satu‑satunya puteramu patah kedua kakinya dan sekarang dalam usia tuamu kamu tidak ada siapa‑siapa untuk membantumu. Sekarang kamu lebih miskin lagi.

Orang tua itu berbicara lagi. "Ya, kalian kesetanan dengan pikiran untuk menilai, menghakimi. Jangan keterlaluan. Katakan saja bahwa anak saya patah kaki. Siapa tahu itu berkat atau kutukan? Tidak ada yang tahu. Kita hanya mempunyai sepotong cerita. Hidup ini datang sepotong‑sepotong." Maka terjadilah 2 minggu kemudian negeri itu berperang dengan negeri tetangga. Semua anak muda di desa diminta untuk menjadi tentara. Hanya anak si orang tua tidak diminta karena ia terluka. Sekali lagi orang berkumpul sekitar orang tua itu sambil menangis dan berteriak karena anak‑anak mereka sudah dipanggil untuk bertempur. Sedikit sekali kemungkinan mereka akan kembali. Musuh sangat kuat dan perang itu akan dimenangkan musuh. Mereka tidak akan melihat anak‑anak mereka kembali. "Kamu benar, orang tua," mereka menangis  "Tuhan tahu kamu benar. Ini membuktikannya. Kecelakaan anakmu merupakan berkat. Kakinya patah, tetapi paling tidak ia ada bersamamu. Anak‑anak kami pergi untuk selama‑lamanya".

Orang tua itu berbicara lagi, "Tidak mungkin untuk berbicara dengan kalian. Kalian selalu menarik kesimpulan. Tidak ada yang tahu. Katakan hanya ini: anak‑anak kalian harus pergi berperang, dan anak saya tidak. Tidak ada yang tahu apakah itu berkat atau kutukan. Tidak ada yang cukup bijaksana untuk mengetahui. Hanya Allah yang tahu. Orang tua itu benar. Kita hanya tahu sepotong dari seluruh kejadian. Kecelakaan‑kecelakaan dan kengerian hidup ini hanya merupakan satu halaman dari buku besar. Kita jangan terlalu cepat menarik kesimpulan. Kita harus simpan dulu penilaian kita dari badai‑badai kehidupan sampai kita ketahui seluruh cerita.

Saya tidak tahu dari mana si tukang kayu belajar menjaga kesabarannya. Mungkin dari tukang kayu lain di Galelia. Sebab tukang kayu itulah yang paling baik mengungkapkannya: "Janganlah kamu kuatir akan hari esok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. " Ia yang paling tahu. Ia menulis cerita kita. Dan Ia sudah menulis bab terakhir.[1] Inilah cerita itu. Orang suruhan Elisa menjumpai Naaman dan memerintahkan dia untuk membenamkan diri dalam air sungai Yordan tujuh kali. Naaman tersinggung. Ia menilai cara Elisa dan pesan yang didengarnya sebagai penghinaan. Ia buru-buru mengambil kesimpulan, padahal ia baru mendengar sepotong kalimat. Ia sudah menjatuhkan penilaian terhadap seluruh buku padahal baru halaman pertama yang ia baca. Kalau kita melihat diri kita di dalam cermin cerita ini, kita harus jujur mengaku bahwa kita juga selalu seperti Naaman. Kita terlalu cepat memberi penilaian, kita buru-buru menghakimi dan mengambil kesimpulan padahal kita hanya tahu sedikit dari seluruh cerita. Banyak soal muncul dalam Gereja, dalam masyarakat, dalam rumah tangga karena kita selalu buru-buru ambil sikap. Baru mendengar sepotong, sudah memberi komentar yang ditambah dengan interpretasi subyektif. Hasilnya kebenaran menjadi kabur dan orang yang tidak salah menjadi bersalah.

Semasa kuliah saya memiliki seorang teman perempuan yang cukup dekat. Dia perempuan yang aktif dan rajin dalam kegiatan kemahasiswaan dan bergereja. Suatu waktu ia jatuh sakit dan tidak masuk kelas selama tiga minggu. Selama itu ia hanya berbaring di tempat tidur. Kami mengunjunginya di rumah. Menyusul perkunjungan itu ramai sekali gosip yang menyebar tentang dia. Ada-ada saja yang dikatakan. Sebagian orang mengatakan dia hamil. Yang separuh lagi menuduh dia baru saja menggugurkan kandungannya. Saya tidak percaya hal itu, karena saya tahu siapa teman yang satu ini. Saya ajak istri saya, yang waktu itu masih pacar saya ke rumah teman itu sekali lagi. Saya ceritakan pada dia semua gosip itu. Ia meneteskan air mata. Hatinya luka karena omongan-omongan menyimpang tentang dia. Dengan jujur ia ceritakan pada saya bahwa dia ambeien. Tapi meminta saya tidak mengatakan kepada siapa-siapa.

Gosip adalah penilaian. Ia bukan fakta, tetapi banyak orang  percaya gosip. Syukurlah di dunia ini masih ada orang-orang yang berpikir rasional. Mereka coba untuk tidak buru-buru menjatuhkan hukuman tetapi mengikuti perkembangan peristiwa itu dengan sabar. Orang-orang seperti itu kita temukan dalam diri pegawai-pegawai Naaman. Jika sang Letnan Jendral cepat emosi dan ambil kesimpulan prematur, pegawai-pegawainya berpikir lebih bijaksana. Saya membayangkan, sekembalinya ke Siria, Naaman akan mempersiapkan pasukan elitnya untuk datang ke Isreal dan membumihanguskan negeri itu. Sasaran utama penghancuran pastilah Elisa dan rumah. Gosip menghancurkan hidup seseorang, menyakiti perasaan sesama manusia, tetapi berpikir dan berkata bijaksana menolong seseorang keluar dari bencana. Kita perlu belajar menjauhi sikap Naaman, dan melatih diri berpikir positif seperti pegawai-pegawainya.

Pegawai-pegawai itu tahu apa yang tidak diketahui tuannya. Untuk sembuh dari kusta, Naaman harus turun dari kereta kebesarannya, menyangkal diri, kuasa dan kekayaan. Ia harus perpaling dari kebesaran-kebesaran yang ditawarkan dunia. Yang diminta darinya ialah turun, menanggalkan jubah kebesaran, dan dengan telanjang berdiri di hadapan Allah sebagai si kusta yang tak berdaya, lalu membenamkan diri, satu kali, dua kali, tujuh kali dalam sungai Yordan. Jika Naaman secara radikal kehilangan semua yang dimilikinya, barulah ia dapat mengenal Allah penyelamat dan memperoleh kesembuhan.

Naaman tidak tahu hal ini. Kereta kebesaran, jubah kerajaan yang dia pakai membuat dia lupa bahwa dia seorang manusia biasa, berpenyakit kusta lagi. Naaman menyangka ia dapat menyembunyikan kenajisan, kesombongan dan pemberontakannya melawan Allah dengan memakai jubah kebesaran. Terbiasa hidup dalam kemegahan sering membuat seseorang lupa bahwa dia manusia berdosa. Orang yang sadar bahwa Naaman adalah manusia biasa dan harus bertidak sebagai manusia di hadapan Allah adalah pegawai-pegawainya. Itu sebabnya mereka menyarankan dia untuk membenamkan diri di Yordan sesuai permintaan abdi Allah.

Kita lihat ada kesejajaran antara gadis kecil pelayan istri Naaman dan para pegawai-pegawainya. Status sebagai pelayan atau hamba membuat mereka peka terhadap kejadian-kejadian di sekelilingnya. Mereka juga tidak buru-buru mengambil kesimpulan. Mereka lebih sabar mengikuti perkembangan kejadian itu sampai akhir. Selanjutnya, kita juga bisa melihat kesejajaran antara raja Israel dan Naaman. Keduanya cepat sekali mengambil sikap, memberi reaksi negatif terhadap apa yang mereka dengar dan alami. Mereka buru-buru mempersalahkan orang-orang yang sesungguhnya tidak salah. Raja Israel menanggapi surat raja Aram sebagai provokasi. Naaman menganggap sikap Elisa sebagai penghinaan terhadap dia. Kedua sikap ini menunjukkan dua kelompok manusia. Kelompok yang satu mengenal Allah yang hidup. Pengenalan itu membuat mereka tidak tidak takut, kecewa atau putus asa menghadapi jalan buntu. Mereka tahu bahwa apa yang tidak mungkin bagi manusia mungkin bagi Allah. Raja Israel dan Naaman adalah orang-orang berkuasa. Mereka mewakili kerajaan dan pemerintahan dunia yang cenderung tidak mengenal Allah dan menyangkal kuasa-Nya. Hasilnya, mereka selalu menafsirkan kejadian yang di luar kontrol mereka sebagai ancaman. Karya Allah untuk membaharui sejarah dianggap sebagai serangan. Orang yang berbicara lain dari yang mereka kehendaki dicap musuh. Komentar orang tua terhadap orang-orang kampung yang gegabah dan buru-buru dalam menilai sesuatu dalam ilustrasi di atas punya relevansi besar bagi hidup bermasyarakat. Kecurigaan merupakan senjata yang paling ampuh untuk menghentikan hal-hal baik yang hendak dikerjakan. Ada baiknya, kita jangan terlalu cepat memberi komentar terhadap hal-hal yang sedang kita hadapi. Kunci untuk memperoleh hasil yang baik dalam satu usaha ialah bertindak dan bukan besar mulut.

Gadis kecil pelayan istri Naaman punya iman. Iman seperti yang kita temui dalam pembacaan ini adalah percaya pada Firman dan bertindak sesuai Firman itu. Pegawai-pegawai Naaman juga punya iman. Mereka percaya pada Firman Allah yang dikatakan Elisa, mereka juga mau bertindak sesuai firman itu. Semua ini baik. Tetapi yang paling perlu ialah Naaman sendiri harus beriman. Ia sendiri harus percaya pada Firman dan bertindak sesuai Firman itu. Jika Naaman sendiri tidak mau percaya dan tidak mau bertindak sesuai firman Allah, betapapun besarnya iman istrinya, pelayan perempuan istrinya dan iman pegawai-pegawainya, hal itu tidak akan dapat diandalkan untuk menyembuhkan penyakitnya.

Sampai di sini kita temukan hal yang unik mengenai iman. Kita tahu bahwa iman adalah soal pribadi, tetapi untuk beriman kita perlu orang lain untuk menopang dan mendorong pertumbuhan iman kita. Iman adalah karunia Allah bagi kita, tetapi karunia itu diberikan melalui kehadiran orang lain di sekitar kita. Sekarang saya ingat Agus. Dia seorang pemuda yang aktif dalam kegiatan Gereja. Pergaulannya luas. Agus dikenal oleh penduduk sekotanya. Ada seorang gadis yang mencuri hatinya. Gadis ini seorang bintang radio dan TV sebut saja namanya Lina. Agus berkata kepada Lina: “Sayang! Aku sangat mencintaimu. Mari kita pergi ke Gereja. Kita harus tetap ada dalam persekutuan orang percaya.” Agus membawa Lina ke Gereja. Tiga empat bulan kemudian mereka menikah. Setelah itu, Lina mulai malas ke Gereja. Kegiatan rekaman Lina pada hari Sabtu diperbanyak. Dia sering pulang rumah jam 11.00 atau 12.00 malam. Hari minggu ia selalu bangun jam. 9.00 pagi. Ada alasan itu tidak bisa ikut kebanktian. Mulanya Agus merasa tidak keberatan sendirian datang ke Gereja. Tetapi lama-lama ia terpengaruh. Dua tahun setelah perkawinannya dengan Lina, Agus menarik diri secara total dari kegiatan-kegiatan Gereja. Sejak saat itu Agus tidak pernah lagi menginjakkan kakinya di gedung kebaktian.

Iman adalah hubungan pribadi seseorang dengan Tuhan. Baik buruknya hubungan itu ikut pula ditentukan oleh orang-orang dengan siapa kita bergaul. Jika teman-teman kita adalah orang-orang yang takut akan Tuhan, pergaulan itu akan sangat menolong pembentukan iman kita. Tetapi jika kita bergaul dengan orang-orang yang hidupnya jauh dari Allah, iman kita lama kelamaan akan lisut dan layu lalu akhirnya kering. Itulah sebabnya pandai-pandailah dalam bergaul dengan orang lain. Dan yang terutama, waspadalah dalam memilih teman hidup. Hidup Agus makin lama makin jauh dari Allah karena Lina istrinya.

Membaca cerita Naaman dari pemahaman di atas saya menjadi mengerti mengapa Allah mengizinkan gadis kecil pelayan istri Naaman diangkut secara paksa dari Israel ke Siria. Pengalaman ini tentu sangat berat bagi gadis muda itu. Tetapi penderitaan gadis muda itu dipakai Allah untuk membawa Naaman datang pada Elisa. Gadis kecil itu harus ditawan ke Siria supaya Naaman dapat melihat dan percaya pada Allah. Allah memberikan kemenangan kepada Naaman (5:1). Allah kemudian membiarkan Naaman diserang penyakit kusta supaya ia dapat mengalami kuasa Allah. Semua ini memperlihatkan bahwa Allah bekerja di dalam penderitaan dan kesulitan yang kita hadapi untuk membuat penderitaan dan kesulitan itu menjadi berguna dan bermakna. Paulus dalam Roma 8:28 menulis: “Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia.” Kalau kita tidak terus mengeluhkan nasib tetapi hidup dalam takut akan Tuhan, kita akan mengerti makna dan arti dari kesukaran yang kita hadapi.

Iman Naaman bertumbuh ke arah yang benar berkat sokongan dari orang-orang yang ada di sekitarnya. Untuk bertumbuh dalam iman dibutuhkan satu disiplin. Melakukan apa yang Allah kehendaki. Hal ini hanya mungkin jika ada kesediaan menyangkal diri. Naaman tidak perlu merasa terhina jika harus mandi tujuh kali dalam air sungai Yordan. Ia harus melakukan hal itu dengan sukarela. Naaman sembuh. Ia memperoleh kembali hidupnya ketika ia menyangkal dirinya. Saya menjadi sadar sekarang. Allah tidak pernah meminta sesuatu dari kita tanpa memberikan kembali kepada kita apa yang Dia minta. Naaman harus menyangkal dirinya dan pada saat itu ia memperoleh kembali dirinya. Luar biasa Allah yang kita kenal dan sembah. Dalam Matius 10:39 ada tertulis: “Barangsiapa mempertahankan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, dan barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya.”

Amin!

 



[1] Di sadur dari : Chapter 15: In The Eye of The Storm ‑ Max Lucado

Posting Komentar untuk "Jangan Terburu-buru 2 Raja-Raja 5:9-12 Renungan Harian Kristen"