Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Nabi dan Raja 2 Raja-Raja 5:7-8 Renungan Harian

Segera sesudah raja Israel membaca surat itu, dikoyakkannyalah pakaiannya serta berkata: "Allahkah aku ini yang dapat mematikan dan menghidupkan, sehingga orang ini mengirim pesan kepadaku, supaya kusembuhkan seorang dari penyakit kustanya? Tetapi sesungguhnya, perhatikanlah dan lihatlah, ia mencari gara-gara terhadap aku." Segera sesudah didengar Elisa, abdi Allah itu, bahwa raja Israel mengoyakkan pakaiannya, dikirimnyalah pesan kepada raja, bunyinya: "Mengapa engkau mengoyakkan pakaianmu? Biarlah ia datang kepadaku, supaya ia tahu bahwa ada seorang nabi di Israel. 2 Raja-Raja 5:7-8

 


Anak perempuan Israel yang menjadi pelayan istri Naaman menganjurkan majikannya untuk pergi menghadap nabi di Samaria. Dia tahu nabi itu akan dapat menyembuhkan penyakit tuannya. Tetapi, rombongan tuannya diarahkan  menuju istana. Di suruh pergi menghadap nabi Allah mereka datang mendapatkan raja Israel. Gunkel menunjukkan hal ini sebagai bukti bahwa Naaman mendengar dengan separuh hati. Ia meremehkan kesaksian gadis itu karena gadis itu hanyalah seorang pelayan. Dengan mengarahkan keretanya ke istana Naaman menunjukkan bahwa ia lebih mendengar raja Aram karena itu atasannya dari pada mendengar anak kecil yang adalah pelayan rumah tangganya. Yang penting bagi Naaman bukan substansi atau kebenaran dari apa yang dikatakan, tetapi siapa yang mengatakan. Kalau raja bilang A seluruh negeri ikut berteriak A, meskipun apa yang dikatakan raja tidak tepat. Sementara itu, tidak ada orang yang berani mengulang perkataan seorang hamba, sekalipun perkataan hamba itu benar.

Sinyalemen Gunkel membuat saya ingat gaya hidup rakyat Indonesia selama 32 tahun di masa Orde Baru. Waktu Ali Murtopo meneriakkan seruan: “Suharto Bapak Pembangunan Nasoinal”, semua orang ikut berteriak. Pemimpin-pemimpin turun sampai di kampung-kampung untuk merekayasa masyarakat mendatangi gedung-gedung DPRD dan meminta anggota dewan menobatkan Suharto sebagai Bapak Pembangunan Nasional. Para pemimpin ini tahu, jika rakyat berhasil dihimpun untuk menyatakan kebulatan tekad mengangkat Surharto sebagai bapak pembangunan, mereka akan didudukkan dalam jabatan-jabatan penting. Hal yang sama berulang terus-menerus. Waktu dari Jakarta ada tekad mengentaskan kemiskinan, atau membawa bangsa Indoensia memasuki era tinggal landas di mana-mana, bahkan pak RT pun kalau bicara selalu mengulang kata mengentaskan kemiskinan dan kita harus tinggal landas. Tetapi, ketika ada berita dari Jawa Timur bahwa Marsinah menuntut kenaikan upah para buruh karena percaya bahwa hanya jika gaji para pekerja naik maka tekad untuk mengentaskan kemiskinan dan tinggal landas akan terwujud, semua orang diam. Tidak satu pun para pemimpin yang membenarkan tuntutan Marsinah. Mereka malah ramai-ramai mengeroyok dia sampai mati lalu dibuang di hutan dekat Ngajuk.

Penyakit yang cukup parah di Indonesia ialah orang mendengar sesuatu bukan karena apa yang didengarnya itu benar tetapi karena yang mengatakan hal itu adalah orang berpangkat dan punya kuasa. Kekuasaan yang menentukan kebenaran. Gadis kecil pelayan istri Naaman mengatakan kebenaran: “Sekiranya tuanku menghadap nabi yang di Samaria itu, maka tentulah nabi itu akan menyembuhkan dia dari penyakitnya.” Tetapi, yang didatangi Naaman di Samaria bukan nabi Elisa melainkan raja Yoram karena Raja Aram memberi perintah untuk dia menjumpai raja Israel itu. Naaman salah alamat.

Kita mungkin perlu belajar lebih banyak untuk tahu bahwa kebenaran tidak sama dengan kekuasaan supaya kita tidak salah alamat alias sesat. Dan proses belajar ke arah itu harus mulai dari rumah tangga. Orang tua mesti mengajar anak-anaknya untuk sadar bahwa apa yang bapa dan mama katakan tidak selalu benar. Harus terbuka kemungkinan adanya diskusi dengan anak-anak. Memaksakan kehendak pada anak sama dengan membunuh kreativitasnya.

Gadis kecil pelayan istri Naaman berkata: “Sekiranya tuanku menghadap nabi yang di Samaria itu, maka tentulah nabi itu akan menyembuhkan dia dari penyakitnya.” Tetapi, raja Aram mengirim Naaman ke raja di Samaria. Cara Van Gelderen menjelaskan ayat ini mengingatkan saya pada cerita seorang guru bernama Pak Mujur. Ayah dua anak ini adalah seorang pendidik yang rajin dan kreatif. Tidak heran jika ia terdaftar sebagai salah satu kandidat guru teladan Nasional. Surat-surat yang ditujukan kepadanya selalu masuk lewat kepala sekolah. Cemburu pada popularitas guru bantunya, sang kepala sekolah selalu menahan atau menyembunyikan surat-surat bagi pak Mujur. Karena angket yang dibutuhkan belum dikirim kembali ke Kanwil Dikbud, kakanwil menugaskan penilik untuk mencek langsung ke lapangan. Ketika penilik tiba kepala sekolah berdalih bahwa Pak Mujur minta cuti 3 minggu sehingga formulir itu tidak diisi dan dikembalikan. Iri hati dan rasa disaingi menyebabkan kepala sekolah melakukan dosa ganda: menahan surat-surat Pak Mujur, dan menipu penilik yang datang padanya.

Raja Negeri Aram, menurut van Gelderen, tahu bahwa Naaman harus bertemu nabi di Samaria, tetapi dia mengirim surat dan memerintahkan panglimanya menghadap raja Israel untuk memelihara kode etik hubungan international. Lagi pula Raja Aram tahu bahwa di Israel seorang raja selalu dikelilingi oleh nabi-nabi. Mengirim Naaman kepada raja Israel adalah tanda hormat raja Aram kepada koleganya di Israel, sekaligus untuk memastikan bahwa perjalanan panglimanya tidak akan sia-sia. Raja Israel tahu persis siapa di antara para nabi di sekitarnya yang dapat menyembuhkan penyakit Naaman.

Raja Israel menyambut kedatangan Naaman sebagai ancaman. Elisa telah dikenal luas di Israel sebagai nabi yang dalam kuasa Tuhan dapat melakukan mujizat. Anak perempuan sunem yang meninggal dunia dibangkitkannya (2 Raja 4:8 dst). Dan masih ada mujizat lain yang dilakukan Elisa. Raja Israel tahu hal ini. Tetapi ketika Naaman sampai kepadanya, ia tidak berinisiatif menyuruh Naaman kepada Elisa. Yang ia buat ialah mengoyakkan pakaiannya dan bersiap-siap untuk memberi perlawanan terhadap raja Aram. Raja Israel mengaku bahwa dia bukan Allah yang dapat menyembuhkan Naaman, tetapi dia tidak berminat menyerahkan persoalan yang di luar kemampuannya kepada Allah. Dia tidak memanggil nabi Allah untuk menyelesaikan masalah itu. Mengakui keterbatasan diri dan kuasa adalah hal positif yang kita perlu pelajari dari sikap raja Israel. Semua pemerintah dan penguasa dunia harus belajar dari raja Israel. Pemerintah bukan Allah yang dapat memecahkan semua masalah.

Tetapi mengakui keterbatasan saja tidak cukup. Hal ini harus ditindak lanjuti dengan mengharapkan pertolongan dari pihak lain, yaitu mereka yang lebih kompeten. Raja Israel mengaku bahwa ia bukan Allah, tetapi ia sama sekali tidak berminat menyerahkan persoalan itu kepada Allah dan mengharapkan campur tangan dari Yang Mahakuasa. Ia mengaku tidak bisa menyembuhkan penyakit Naaman, tetapi ia tidak memanggil nabi Elisa yang oleh kuasa Allah dapat melakukan tanda-tanda mujizat. Kita pasti setuju bahwa sikap raja Israel ini sebaiknya jangan ditiru, tetapi sering dalam praktek kita justru suka meniru sikap ini. Kita sering mengaku dalam hati bahwa kita tidak mampu melakukan sesuatu, tetapi engan mengajak orang lain melakukannya bagi kita atau meminta pendapat mereka. Kita malu mengaku dengan terbuka kelemahan-kelemahan kita. Untuk memyembunyikan kelemahan kita orang lainlah yang sering dipersalahkan. Raja Israel mempersalahkan raja Siria. Ia menganggap raja negeri itu mencari gara-gara. Penafsiran yang keliru atas satu fakta membuat keputusan yang kita ambil selalu salah. Dan salah tafsir biasanya muncul jika kita menganalisa fakta itu dari sudut pandang kita dan bukan dari sudut pandang subyeknya. Raja Israel menganggap permintaan raja Syria sebagai ancaman, karena ia memikirkan dirinya, pangkatnya dan popularitasnya. Kalau saja raja Israel berpikir tentang Elisa ia tidak perlu cemas, apalagi merasa terancam. Untuk hal yang satu ini kita bisa lebih banyak belajar dari gadis kecil pelayan istri Naaman dan para pegawainya dibanding dari raja Israel. Orang-orang besar biasanya menafsirkan sesuatu secara negatif dan dari sudut kepentingannya sendiri. Itu sebabnya mereka selalu mencari perlindungan diri dengan cara mempersalahkan orang lain. Sedangkan orang-orang kecil jarang berpandangan negatif terhadap sesuatu. Mereka selalu dengan besar hati menghadapi persoalan-persoalan kecil.

Latar belakang tindakan raja Israel ini dapat dilihat dalam 2 raja-raja 3: 9-15. Yoram, raja Israel engan mengirim Naaman kepada Elisa karena ia takut popularitas Elisa akan makin besar. Antara nabi itu dan keluarga kerajaan ada konflik. Elisa terus menerus mengingatkan Yoram akan dosa-dosa yang dibuatnya terhadap Allah. Teguran-teguran Elisa ini dianggap oleh Yoram sebagai hinaan bahkan upaya kudeta. Itu sebabnya ia selalu ingin menjauhi Elisa dari hadapannya. Jika Naaman dikirim kepada Elisa dan Elisa menyembuhkan dia, jelas antara Elisa dan Naaman serta raja Aram akan terbina hubungan baik. Hubungan baik ini akan mengurangi popularitas Yoram di hadapan bangsanya. Bahkan bisa saja Elisa akan mengizinkan atau meminta Naaman menurunkan Yoram dari tahta kerajaan Israel. Cemburu, takut disainggi membuat Yoram menghalangi-halangi bahkan berusaha menggagalkan pekerjaan yang sudah Allah mulai lakukan untuk membuat Naaman percaya. Iri hati kepada seseorang biasanya berakibat upaya yang sistematis untuk menghalang-halangi langkah seseorang ke arah sukses. Ini kita lihat dalam sikap raja Israel, juga sikap kepala sekolah di tempat pak Mujur bekerja. Dan masih banyak lagi contoh yang kita temui dalam masyarakat.

Kalau Yoram, raja Israel menutup semua jalan bagi Elisa untuk makin populer, Elisa mengambil sikap pro-aktif. Ia mengirim utusan pada raja untuk menyuruh Naaman datang kepadanya.  Tindakan ini ia ambil bukan untuk cari popularitas dan memperkaya diri. Ia buat itu semata-mata untuk mencegah Yoran dari kekeliruan yang berakibat buruk, sekaligus menyatakan kuasa Allah baik kepada Yoran maupun terhadap Naaman. Bukti bahwa tindakan Elisa bukan untuk merebut popularitas kita lihat dalam sikapnya untuk tidak menerima sepeser pun dari persembahan yang ditawarkan Naaman. Selanjutnya sikap Elisa ini memiliki arti yang dalam bagi hubungan Gereja dan negara.

Sikap tertutup dari penguasa terhadap pekerjaan Allah tidak boleh membuat nabi Allah berhenti memberitakan Firman kepada kerajaan dunia. Upaya sistematis dari negara untuk menjauhi Allah dan Firman-Nya harus lihat Gereja sebagai tantangan untuk menemukan jalan-jalan terbuka melalui mana Firman Allah dapat disampaikan kepada negara dan pelaku-pelaku pemerintahan. Singkatnya, jika negara bersikap anti Gereja dan memutuskan hubungan dengan institusi-institusi keagamaan, Gereja tidak boleh menyerah dengan keadaan. Upaya untuk memperkenalkan firman dan kehendak Allah kepada negara yang meninggalkan Allah harus terus dilakukan. Ketegangan atau krisis politik dalam hubungan antara anak-anak terang dan anak-anak kegelapan tidak boleh dijadikan alasan untuk mengutuk anak-anak kegelapan dan menjauhi mereka. Firman dan kasih Allah harus terus diberitakan kepada dunia, negara dan penguasa dalam segala keadaan dan waktu. Elisa menunjukkan hal ini dengan jelas. Sementara Yoram menunjukkan sikap tidak bersahabat kepada nabi, Elisa menawarkan pertolongan dan jalan keluar ketika Yoram mengalami kesulitan dan jalan buntu. Kalau Yoram tidak ingin menyuruh Naaman pergi kepada Elisa, Elisa justru mengirim pesan kepada Yoram untuk menyerahkan Naaman kepadanya. Krisis politik bukan alasan untuk berhenti memberi kesaksian tentang kebesaran dan kasih Allah kepada manusia. “Biarlah ia datang kepadaku, supaya ia tahu bahwa ada seorang nabi di Israel,” begitulah kata Elisa kepada Yoram yang tidak ingin menyuruh Naaman datang kepada Elisa.

Perbedaan pandangan politik tidak boleh menghalangi pekerjaan pemberitaan Firman. Hal ini berlaku bukan hanya pada masa nabi-nabi dan rasul-rasul. Azas ini berlaku juga dalam kehidupan Gereja, orang kristen dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di dunia pada saat ini. Saya sering mendengar cerita tentang kepala desa yang merasa disaingi oleh pendeta muda. Lalu dengan segala cara ia berusaha memboikot kegiatan-kegiatan pelayanan dalam jemaat. Tentu saja saya menyesalkan kejadian seperti itu. Tetapi saya lebih menyesal lagi ketika mendengar reaksi dari pendeta. Ia mengunakan mimbar untuk menghantam kepala desa. Firman dan kasih Allah kepada pemerintah yang menyangkal pekerjaan Allah tidak lagi ia beritakan. Khotbah-khotbahnya selalu membuat merah muka bapak kepala desa. Prinsip yang ia pegang ialah: “Mata ganti mata, gigi ganti gigi.” Firman Tuhan yang mengatakan: “Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu,” tidak lagi ia perhatikan. Akibatnya, jarak antara kepala desa dan pendeta makin jauh, tidak lagi ada kerja sama antara Gereja dan pemerintah. Orang-orang yang menderita seperti Naaman dalam jemaat atau masyarakat tidak mendapat pertolongan yang pantas.

Kita mungkin harus lebih banyak belajar dari cerita tentang raja Yoram dan Elisa. Sebagai pemegang kebijakan pemerintahan, setiap pemimpin dalam masyarakat apakah itu ketua RT, RW, ketua hansip, kepala desa, camat, bupati, gubernur, mentri, presiden, dst harus selalu mengulang kata-kata raja Israel: “Aku bukan Allah yang dapat mematikan dan menghidupkan.” Kesadaran ini harus dimiliki setiap pelaku pemerintahan. Mereka harus ingat akan batas-batas kekuasaan yang dipercayakan kepadanya mereka juga harus sadar bahwa karena mereka bukan Allah, tindakan, keputusan dan kebijakan mereka cenderung salah, jahat dan berdosa. Itu sebabnya mereka butuh teguran, peringatan dan nasehat.

Sebaliknya selaku pemberita Firman Allah, setiap pendeta, penatua, diaken, pemimpin katekasasi, guru agama, pendamping anak-anak sekolah minggu, dst harus belajar dari cara Elisa mencairkan kembali kebekuan atau gangguan yang ada  dalam hubungan dengan pemerintah. Para pemberita Firman dipanggil bukan hanya untuk mengkritik dan mempersalahkan, tetapi juga menawarkan jalan keluar yang lebih bertanggung jawab. Semua itu harus dilakukan bukan untuk mencari popularistas dan penghormatan bagi diri sendiri. Tugas para pelayan Firman Tuhan bukan menjadi besar, tetapi menjadi seperti kata Yohanes Pembaptis: “Dia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil” (Yoh. 3:30).

Mengamati hubungan antara raja Israel dan nabi Elisa dalam cerita Naaman saya mendapat kesan yang kuat bahwa kedua orang ini: raja dan nabi yang mewakili: negara dan agama atau persekutuan masyarakat dan persekutuan orang percaya, memiliki tugas yang berbeda-beda, tetapi harus bekerja sama karena tugas-tugas itu mereka terima dari Tuhan yang satu dan sama, dan orang yang mereka layani juga satu dan sama. Persektuan politik membutuhkan agama dalam menjalankan tugas-tugasnya demi menghindari kesalahan-kesalahan yang bisa berakibat buruk bagi masyarakat. Saya membayangkan, andaikata Elisa tidak segera mengirim pesan kepada raja Yoram untuk berhenti mengkoyakkan pakaiannya dan melihat surat dari Aram sebagai provokasi, tentulah raja mengumumkan perang dengan Aram. Akibatnya, tentu saja akan sangat buruk bagi bangsa Israel.

Sebaliknya, agama membutuhkan keamanan dan kebebasan dari pemerintah dalam melaksanakan tugasnya memberitakan Firman dan Kasih Allah kepada manusia. Elisa mengirim pesan kepada raja untuk menyuruh Naaman datang kepadanya. Sikap ini menunjukkan rasa hormatnya kepada raja. Ia tahu bahwa Naaman butuh pertolongan tetapi ia tidak langsung bertemu Naaman melainkan meminta kerelaan raja untuk menyuruh Naaman datang kepadanya.

Raja dan Nabi; negara dan agama saling membutuhkan dalam pelaksanaan tanggung jawab pelayanan. Rasanya saya perlu tekankan bahwa saling membutuhkan beda dari campur tangan. Banyak kali kita samakan kedua kata ini. Agama membutuhkan kekuasaan pemerintah untuk memelihara keamanan sehingga ada kebebasan dari para pemeluk agama mengekspresikan imannya, tetapi hal ini tidak boleh menjadi alasan bagi pemerintah untuk mengatur kehidupan internal dari umat beragama. Pemerintah membutuhkan nasehat dan pertimbangan dari umat beragama dalam menentukan satu kebijakan agar kebijakannya sejalan dengan kehendak Allah, tetapi umat beragama tidak boleh berusaha untuk menguasai negara dan mengatur jalannya pemerintahan menurut hukum-hukum keagamaan. Agama tidak boleh menguasai negara dan pemerintahan, sebaliknya pemerintah juga tidak boleh mendikte agama. Agama tidak memberi pertanggung jawaban pada pemerintah, begitu juga pemerintah tidak memberi pertanggung jawaban pada agama. Pertanggung-jawaban mereka ditujukan kepada Tuhan. Agama bebas dalam hubungannya dengan negara, yang sebalik juga benar, negara bebas dalam berhubungan dengan agama. Ini perlu kita renungkan sungguh-sungguh.

Amin!

Posting Komentar untuk "Nabi dan Raja 2 Raja-Raja 5:7-8 Renungan Harian"