Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

HIDUP DALAM TERANG

 

HIDUP DALAM TERANG

BAB I

Latar Belakang Surat Efesus

Surat Efesus adalah sebuah surat edaran umum yang harus diedarkan sampai ke jemaat Efesus dan Kolose. Surat Efesus ditulis sekitar tahun 60-61, di mana surat ini dibawa oleh Tikhikus yang disertai oleh Onesimus (Ef. 6:21; Kol. 4:7-9). Rasul Paulus didampingi oleh Aristarkhus pada waku ia menulis surat ini, Aristarkhus pernah menjadi salah seorang utusan ke Yerusalem (Kis. 20:4).

Surat Efesus ditulis ketika banyak gereja telah didirikan dan setelah Rasul Paulus mempunyai kesempatan untuk merenungkan hakikat dari organisasi yang baru terbentuk itu. Pada surat Efesus kata “jemaat” berarti gereja yang universal bukan suatu kelompok lokal. Surat ini tidak ditujukan untuk mereka yang baru masuk dalam iman Kristen, tetapi kepada mereka yang telah mencapai kematangan tertentu dalam pengalaman rohani dan ingin meningkat kepada pengetahuan dan kehidupan yang lebih penuh.[1]

BAB II

PEMBAHASAN

1.      Hidup sebagai penurut-penurut Allah (ay. 1-7)

Pada bagian ini Rasul Paulus menegaskan apa yang telah disampaikan sebelumnya, yakni yang merujuk pada pasal 4, secara khusus pada ayat yang ke 17-32. Pada bagian yang sebelumnya Rasul Paulus memaparkan tentang pentingnya pemahaman akan manusia baru, di mana Rasul Paulus menggunakan kata “mengenakan manusia baru.” Kata “mengenakan” dalam bahasa yunani adalah ενδύσασθαι (aor. mid. inf. asal kata ενδύομαι yang berarti to put on). Dengan demikian Rasul Paulus memberikan pemahaman bahwa “manusia baru” itu harus dikenakan oleh orang-orang yang telah mengenal Kristus (ay. 20-22). Inilah yang pada akhirnya menjadi continuitas /berkelanjutan pada pasal 5, di mana pasal 5 dapat dikatakan sebagai rincian atau penjelasan rinci bagaimana karakteristik orang yang mengenakan “manusia baru.”

Berdasarkan hal tersebut di atas, Rasul Paulus memperjelas kembali tentang pentingnya mengenakan “manusia baru,” sehingga Ia mengatakan “sebab itu” jadilah penurut-penurut Allah. Kata “sebab itu” dalam bahasa yunaninya adalah γίνεσθε ουν (pres. mid. imp), di mana hal ini dapat berarti bahwa Rasul Paulus memberikan perintah dalam artian untuk mewujudkan apa yang telah disampaikan sebelumnya. Perintah tersebut adalah perintah untuk menjadi penurut-penurut Allah, di mana kata “penurut” dalam bahasa Yunaninya adalah μιμητής yang berarti imitator/peniru.

Beberapa ahli seperti Abineno, mengatakan bahwa Rasul Paulus memberikan nasihat yang bukan saja berupa suatu permintaan, tetapi lebih daripada itu, nasihat itu adalah suatu perintah untuk menjadi penurut-penurut Allah.[2] Abineno menjelaskan bahwa hal ini sama halnya dengan yang dituliskan Rasul Paulus pada 1 Kor. 4:14, 16, di mana Rasul Paulus menggambarkan hubungan antara “anak” dan “menjadi penurut-penurut Allah.”[3]

Selanjutanya Rasul Paulus menegaskan bahwa menjadi penurut-penurut Allah yang dimaksudkan adalah seperti anak-anak yang kekasih. Dengan perkataan lain, kemungkinan ini menunjukkan penegasan bahwa sebagai imitator/peniru, harus dimengerti dalam kaidah sebagai anak-anak yang kekasih ibarat hubungan orangtua dengan anaknya. Pada umumnya seorang anak akan menunjukkan sikap/perilaku yang menirukan sikap/perilaku orangtuanya. John Stott mengatakan: “Just as children copy their parents, so we are to copy our Father God, as Jesus himself told us to. We are also to follow Christ, to walk in love as Christ loved us and give himself up for us.”[4]

Di pihak lain, misalnya Abineno, menegaskan bahwa Rasul Paulus menasihati mereka untuk menjadi penurut-penurut Allah bukanlah ia buat sebagai rasul terhadap manusia-manusia pada umumnya, tetapi terhadap orang-orang yang dikasihi Allah di dalam Kristus.[5] Dengan perkataan lain, ini dimungkinkan karena memang Rasul Paulus memaksudkan arahan atau perintah ini bagi orang-orang yang telah mengenal dan berada di dalam Kristus (merujuk pada pasal 4:20-22). Hal inilah yang kemudian dijelaskan Rasul Paulus, yaitu dengan mengutarakan beberapa karakteristik yang harus dimiliki dalam rangka menjadi penurut-penurut Allah. Beberapa karakteristik tersebut  adalah sebagai berikut:

1.1  Hidup dalam kasih (ay. 2)

Pada bagian ini Rasul Paulus mengutarakan bahwa karakteristik utama yang harus dimiliki sebagai imitator dari Allah adalah hidup dalam kasih. Hidup dalam kasih yang dimaksudkan Rasul Paulus adalah dengan meneladani Kristus Yesus yang telah terlebih dahulu mengasihi, bahkan menyerahkan diriNya sebagai persembahan dan korban yang harum bagi Allah. Dengan perkataan lain, dapat dikatakan bahwa teladan Kristuslah yang menjadi ukuran bagi terlaksananya hidup dalam kasih yang dimaksudkan Rasul Paulus. Kata “hiduplah” dalam bahasa yunaninya adalah περιπατειτε (pres. act. imp. dari kata περιπατέω yang berarti to walk about). Dengan demikian hal ini mempertegas maksud Rasul Paulus, di mana sesungguhnya ia mengarahakan setiap imitator dari Allah untuk terus-menerus berjalan dalam kasih. Dengan perkataan lain, dalam pemahaman bahwa menjadi penurut-penurut Allah/imitator Allah diperintahkan untuk tidak pernah berhenti/terlepas dari perwujudan kasih itu sendiri.

Lebih jelas lagi Rasul Paulus memberikan gambaran penyataan kasih yang luar biasa, yaitu Kristus Yesus yang telah lebih dahulu mengasihi bahkan menyerahkan diriNya sebagai persembahan dan korban yang harum bagi Allah. Kata “mengasihi” dalam bahasa yunaninya adalah ηγάπησεν (aor. act. ind. dari kata αγαπάω yang berarti to love). Dengan demikian, hal ini merupakan pernyataan yang merujuk pada gambaran nyata akan apa yang pernah dilakukan Yesus pada orang-orang yang dikasihiNya. Kasih tersebut dinyatakan dengan menyerahka diriNya. Kata “menyerahkan” dalam bahasa yunaninya adalah παρέδωκεν (aor. act. ind. dari kata παραδίδωμι,  yang berarti to deliver over), di mana ini merupakan pernyataan akan bukti kasih Yesus.

Inilah yang menjadi dasar bagi Rasul Paulus memerintahkan setiap orang yang dikasihi Yesus untuk hidup di dalam kasih.  Hal ini jugalah yang membuat Rasul Paulus melihat dan meyakini bahwa Yesus adalah persembahan dan korban yang harum bagi Allah (bdk. Kel. 29:18). William Barclay mengatakan bahwa Rasul Paulus mengutip ungkapan yang sangat terkenal “bau harum,” ungkapan ini tidak kurang dari limapuluh kali disebutkan  dalam PL, di mana Yesus dalam hal ini dilihat sebagai korban yang sangat berkenan dan membawa sukacita bagi Allah.[6] Inilah gambaran yang dipakai Rasul Paulus untuk menekankan bahwa hidup dalam kasih harus sungguh-sungguh terus-menerus berjalan, agar pada akhirnya bekenan kepada Allah di dalam Yesus Kristus. 

1.2 Hidup dalam kekududusan (ay. 3-7)

Pada bagian ini Rasul Paulus kembali memaparkan bahwa karakteristik kedua yang harus dimiliki sebagai penurut-penurut/imitator Allah adalah hidup dalam kekudusan. Hidup dalam kekudusan yang dimaksudkan Rasul Paulus adalah mengarah atau merujuk kepada meninggalkan perilaku-perilaku negatif, yang diantaranya adalah percabulan, kecemaran dan keserakahan. Secara tegas Rasul Paulus mengatakan bahwa perilaku-perilaku tersebut diperkatakan atau disebut saja pun tidak bisa, sehingga ini menjadi perlu untuk diperhatikan.

Dengan demikian, perlu diketahui bahwa penggunaan kata/kalimat “disebut saja pun jangan” dalam bahasa yunaninya adalah μήδε ονομαζέσθω (pres. pass. imp, dari kata ονομαζω yang berarti not even to be named). Dengan perkataan lain, hal ini menunjukkan bahwa Rasul Paulus memerintahkan setiap penurut-penurut Allah untuk sama sekali tidak menyebutkan perilaku-perilaku yang negatif tersebut. Hal ini juga dipertegas oleh Willian Barclay dengan mengatakan bahwa Rasul Paulus mengingatkan hal-hal tertentu yang tidak layak untuk dibicarakan, apalagi diperolok-olokkan.[7] Di sisi lain Peter O’brien mengatakan bahwa Rasul Paulus memberikan peringatan baru terhadap perilaku yang sepenuhnya bertentangan dengan gaya hidup Kristen.[8] Peter juga menambahkan bahwa peringatan tersebut merujuk kepada dosa seksual yang sesungguhnya mendominasi.[9]

Dengan perkataan lain, hal ini menjelaskan bahwa tantangan terbesar dalam kekudusan adalah dosa seksual, di mana Rasul Paulus langsung merujuk pada percabulan.  Paulus menempatkan percabulan pada urutan pertama sebagai perilaku yang harus dihindari, di mana ini bersesuaian dengan surat Galatia 5:19 (daftar perbuatan daging). Hal ini memberikan penegasan bahwa Rasul Paulus konsisten terhadap penekanan akan pentingnya hidup dalam kekudusan, sehingga perilaku-perilaku tersebut bukan saja dilarang untuk dilakukan, bahkan sama sekali tidak bisa disebutkan. Rasul Paulus kemudian mengatakan bahwa hal yang juga harus dihindari adalah rupa-rupa kecemaran. Kelihatannya rupa-rupa kecemaran tidak jauh bedanya dengan percabulan, namun kemungkinan rupa-rupa kecemaran yang dimaksudkan mengarah kepada perbuatan-perbuatan cemar yang lain. Beberapa ahli seperti John Stott mengatakan bahwa rupa-rupa kecemaran yang dimaksudkan mencakup semua dosa seksual.

Di pihak lain, yaitu Peter O’brien mengatakan bahwa ungkapan “rupa-rupa” yang dimaksudkan Rasul Paulus tidak hanya menunjuk pada kecemaran seksual tetapi lebih dari itu (4:19). Dengan demikian, hal yang sesungguhnya lebih dapat diterima adalah pendapat Peter O’brien, di mana dapat dimungkinkan bahwa Rasul Paulus memberikan maksud yang lebih luas/spesifik tentang rupa-rupa kecemaran tersebut. Dengan perkataan lain, bukan saja dosa seksual meskipun itu termasuk di dalamnya.

Hal lain yang disampaikan Rasul Paulus adalah mengenai keserakahan yang juga harus dihindari. Keserakahan dalam hal ini juga merupakan perilaku yang tidak bisa diabaikan, karena pada dasarnya adalah hambatan bagi terlaksanaya kekudusan. Beberapa ahli seperti Abineno melihat “keserakahan” sama halnya dengan percabulan dan rupa-rupa kecemaran, di mana ini menegaskan bahwa ketiga hal ini harus di jauhi.[10] Dengan demikian, Rasul Paulus mengatakan bahwa memang itulah yang sepatutnya dihindari orang-orang kudus. Kata “sepatutnya” dalam bahasa Yunani adalah πρέπει (pres. act. ind. yang berarti to be fitting, to be suitable, to be proper), di mana ini merupakan pernyataan akan hal yang pantas diberlakukan bagi orang-orang kudus secara terus-menerus (menjauhi perilaku-perilaku tersebut). Rasul Paulus juga menyampaikan beberapa hal lain yang juga harus dihindari, yaitu menyangkut perkataan yang kotor, kosong atau sembrono, tetapi sebaliknya ia mengatakan ucapkanlah syukur. Hal ini menjelaskan bahwa perkataan juga mencerminkan kekudusan seseorang, di mana ada tiga hal negatif yang tidak pantas dalam perkataan. Kata “tidak pantas” dalam bahasa yunaninya adalah ουκ ανηκεν (impf. Act. ind. dari kata ανήκει, yang berarti it is proper, it is fitting). Dengan demikian, ini menegaskan bahwa perkataan-perkataan yang dimaksudkan tidak layak ada pada orang-orang kudus. Namun demikian, Rasul Paulus menegaskan bahwa perkataan yang seharusnya adalah perkataan yang mencerminkan/menyatakan ucapan syukur.

Beberapa ahli seperti Abineno mengatakan bahwa bagi Rasul Paulus (ucapan syukur) adalah suatu pengertian yang fundamental, di mana ini bersesuaian dengan (Kol. 2:7) yang mengarahkan mereka (penurut-penurut Allah) untuk mengucap syukur dalam segala hal.[11] Dengan demikian, hal ini menjelaskan bahwa perkataan-perkataan yang harusnya diperlihatkan oleh orang-orang kudus adalah perkataan yang mencerminkan ucapan syukur, bukan sebaliknya. Rasul Paulus mengutarakan alasan yang jelas mengapa hal-hal tersebut di atas harus dihindarai, karena memang orang-orang yang berbuat demikian tidak mendapat bagian dalam kerajaan Kristus dan Allah (ay. 5). Kata “bagian” dalam bahasa yunaninya adalah κληρονομία yang berarti warisan. John Stott mengatakan bahwa pernyataan Rasul Paulus ini tidaklah mengajarkan suatu pemikiran yang immoral, perkataan atau tindakan yang tidak senonoh akan mengucilkan kita dari surga. Namun demikian, Rasul Paulus memaksudkannya untuk orang yang menyerahkan diri kepada perbuatan jahat, tanpa malu dan tanpa menyesalinya.[12]

Hal itulah yang membuat Rasul Paulus mengingatkan mereka supaya jangan disesatkan oleh kata-kata yang hampa, karena hal-hal itu mendatangkan murka Allah atas orang-orang durhaka. Kata “disesatkan” dalam bahasa yunaninya adalah απατάτω (pres. act. imp. dari kata απατάω yang berarti to lead astray, to mislead, to deceive). Dengan demikian ini berarti bahwa dalam mewujudkan kekudusan penurut-penurut/imitator Allah diperintahakan agar tidak turut dalam hal yang menyesatkan. Lebih dari itu Rasul Paulus mengatakan agar jangan berkawan dengan orang yang menyesatkan.

Namun demikian, beberapa ahli seperti Peter T. O’brien mengatakan bahwa Rasul Paulus tidak sedang melarang semua kontak atau hubungan dengan orangnya, tetapi lebih kepada sifat buruknya.[13] Dengan demikian Rasul Paulus tidak bersiakp permisif dalam hal komproni terhadap kata-kata yang menyesatkan, karena hal tersebut mendatangkan murka Allah.

2.      Hidup sebagai anak-anak terang (ay. 8-14)

Pada bagian ini Rasul Paulus menegaskan dua kondisi yaitu antara dahulu dan sekarang. Kondisi tersebut menjelaskan akan keberadaan manusia  yang berada atau dikuasai oleh kegelapan, sehingga ia mengatakan “kamu dahulu adalah kegelapan.” Dengan perkataan lain, bahwa nature atau keberadaan manusia dahulu adalah nature kegelapan. Namun demikian, itu adalah kondisi masa lalu (dahulu), sehingga Rasul Paulus kemudian menegaskan bahwa keadaan sekarang adalah “terang di dalam Tuhan.” Beberapa ahli seperti John Stott mengatakan: “Paul bases on the past and present (the difference between what his readers once were and now are.”[14] Dengan demikian ini menunjukkan kontras antara keberadaan dahulu dan sekarang, di mana terang itu dihadirkan di dalam Tuhan (melaui Yesus Kristus). Berdasarkan kondisi tersebut Rasul Paulus menegaskan bahwa mereka harus hidup sebagai anak-anak terang. Kata “hiduplah” sama dengan yang telah disampaikan Rasul Paulus pada ayat ke-2 (lih. hlm. 4), sehingga ini menunjukkan bahwa hidup dalam terang yang dimaksudkan juga harus terjadi terus-menerus (tanpa henti). Berdasarkan hal tersebut Rasul Paulus kembali memaparkan tentang karakteristi/buah yang harus dihasilkan oleh anak-anak terang. Beberapa buah/karakteristik tersebut adalah sebagai berikut:

 

2.1  Buah terang (ay. 9-10)

Rasul Paulus menjelaskan bahwa buah yang harus dimiliki oleh anak-anak terang adalah tiga hal utama yaitu kebaikan, keadilan dan kebenaran. Dengan demikian, hal tersebut menjadi penting untuk diperhatikan, sebab Rasul Paulus menyatakan bahwa hanya ketiga hal itulah yang harusnya dihasilkan oleh anak-anak terang. Kata “hanya” dalam bahasa yunaninya adalah πάση yang memang berarti hanya, atau dapat dikatakan tidak ada buah/hasil lain yang dihasilkan. Dengan perkataan lain, secara sederhana dapat diibaratkan seperti sebuah pohon, sebut saja pohon apel maka pohon itu akan menghasilkan buah apel. Demikianlah halnya dengan anak-anak terang akan menghasilkan buah terang (kebaikan, keadilan dan kebenaran).

Beberapa ahli seperti Abineno mengatakan bahwa secara harfiah bagian ini menjelaskan atau berbunyi “karena buah terang ialah segala macam kebaikan dan keadilan dan kebenaran.”[15] Di sisi lain, Peter T. O’brien menambahkan bahwa ketiga hal yang dimaksudkan adalah karakteristik supernatural, hasil aktivitas kreatif Allah. Dengan demikian, hal ini menegaskan bahwa memang ketiga hal tersebutlah yang harusnya dihasilkan anak-anak terang dalam hal ini dapat dikatakan manusia baru (4:24). Pada akhirnya Rasul Paulus menambahkan  bahwa sebagai anak-anak terang harus juga menguji apa yang berkenan kepada Tuhan. Kata “menguji” dalam bahasa yunaninya adalah δοκιμάζοντες (pres. act. part. dari kata δοκιμάζω yang berarti to approve after examination). Dengan demikian hal ini berarti bahwa diluar ketiga hasil dari buah terang itu, harus terus-menerus dilakukan pengujian, apakah hal tersebut berkenan kepada Tuhan. Berdasarkan hal ini, bebarapa ahli seperti John Stott mengatakan “certainly if they are to live consistently as ‘children of light,’ they will try learn (to test, discern and approve) what is pleasing to the Lord.”[16] Memang seperti itulah yang seharusnya dilakukan oleh anak-anak terang. 

2.2  Menelanjangi perbuatan-perbuatan gelap (ay. 11-14)

Pada bagian ini Rasul Paulus menjelaskan bahwa anak-anak terang harus menelanjangi perbuatan-perbuatan gelap. Rasul Paulus menasihati mereka agar jangan turut mengambil bagian dalam perbuatan-perbuatan gelap, sebab hal itu tidak berbuahkan apa-apa. Kata “mengambil bagian” dalam bahasa yunaninya adalah συγκοινωνειτε (pres. act. imp. dari kata συγκοινωνέω yang berarti to join in fellowship, to have part in a thing). Dengan demikian, Rasul Paulus memberikan perintah untuk tidak bergabung/turut dalam perbuatan-perbuatan gelap. Beberapa ahli seperti Peter T. O’brien mengatakan bahwa hidup sebagai anak-anak terang juga berarti keluar dari partisipasi dalam perbuatan-perbuatan kegelapan yang tidak berbuahkan apa pun, karena gelap dan terang sangat berbeda.[17]

Hal itulah yang membuat Rasul Paulus memerintahkan anak-anak terang untuk menelanjangi perbuatan-perbuatan kegelapan. Kata “menelanjangi” dalam bahasa yunaninya adalah ελέγχετε (pres. act. imp. dari kata ελέγχω yang berarti to bring to light, to expose, etc.). Dengan demikian, ini mengarah kepada perintah untuk tidak menyembunyikan kegelapan tersebut, tetapi sebaliknya membawa kepada terang, sehingga kegelapan itu akan sirna. William Barclay mengatakan, selama sesuatu perbuatan dilakukan sembunyi-sembunyi, kejahatan itu akan berjalan terus; tetapi jika dibawa ke dalam terang maka perbuatan jahat itu akan musnah secara alamiah.[18]

Rasul Paulus sendiri telah menegaskan bahwa segala sesuatu yang sudah ditelanjangi oleh terang menjadi nampak, sebab semua yang nampak adalah terang. Dengan perkataan lain, ini menegaskan bahwa dengan hadirnya terang maka secara otomatis tidak ada lagi kegelapan. Namun demikian, hal ini juga memberikan kemungkinan bahwa ketika terang tidak dihadirkan maka kegelapanlah yang ada. Melalui hal tersebut telihat bahwa begitu pentingnya “terang” itu, di mana terang itu sendiri membuat segala sesuatunya nampak.

Kata “nampak” dalam bahasa yunaninya adalah φανερουται (pres. pass. ind. dari kata φανερόω yang berarti dibuat terlihat, menjadi jelas/nyata). Dengan demikian, terang membuat segala sesuatunya menjadi jelas/terlihat. F.F Bruce mengatakan “that all things are exposed when they are revealed by the light.”[19] Selanjutnya Rasul Paulus mengatakan “bangunlah, hai kamu yang tidur dan bangkitlah dari antara orang mati dan Kristus akan bercahaya atas kamu.” Kalimat ini merupakan kutipan yang kemungkinan ditujukan kepada anak-anak terang, di mana mereka diperintahkan untuk “bangun dari tidur dan bangkit dari antara orang mati.” Kata “bangunlah dan bangkitlah” menurut Abineno suatu nyanyian-baptisan yang terkenal, hal itu terlihat dari cara Rasul Paulus memakainya, di mana terdiri dari dua baris yang mengandung nasihat.”[20] Di pihak lain, hal ini juga dilihat sebagai kutipan dari suatu nyanyia rohani yang dinyanyikan pada hari paskah atau dalam upacara pembaptisan, yang kemungkinan merupakan ringkasan dari PL (Yes. 60:1).”[21] Dengan demikian, ini menunjukkan bahwa menjadi anak-anak terang adalah sama halnya bangun dari tidur dan bangkit dari kematian, di mana Kristuslah cahaya/terangnya.

3.      Hidup arif-bijaksana (ay. 15-20)

Pada bagian ini Rasul Paulus kembali mengajak setiap anak-anak terang untuk memperhatikan cara hidup mereka. Rasul Paulus menasihatkan mereka agar tidak hidup seperti orang bebal, tetapi seperti orang arif. Dengan demikian, setiap anak-anak terang harus sungguh-sungguh mampu memperhatikan bagaimana hidup arif yang sebenarnya. Kata “memperhatikan” dalam bahasa yunani adalah βλέπετε (pres. act. inf. yang berarti to watch, to give heed). Di sisi lain, kata ini dipadankan dengan kata yang sama pada ay. 2 (lih. hlm. 4), di mana ini bertujuan untuk menegaskan bahwa di dalam menjalani kehidupan sebagai anak-anak terang harus sungguh-sungguh memperhatikannya dengan arif/bijak. John Stott mengatakan “so as Christians we must treat is as the serious thing it is.” Beberapa hal yang harus diperhatikan untuk dapat hidup arif-bijaksana adalah sebagai berikut:

3.1  Membeli waktu (ay. 16-17)

Rasul Paulus kemudian menjelaskan bahwa hal praktis utama yang harus dimiliki orang arif adalah masalah penggunaan waktu. Penggunaan waktu menjadi penentu apakah seseorang itu arif atau sebaliknya. Dengan perkataan lain, hanya orang ariflah yang mampu menggunakan waktunya dengan baik. Kata “pergunakanlah” dalam bahasa yunani adalah εξαγοραζόμενοι (pres. mid. part. dari kata εξαγοράζόμαι yang berarti to buy up). Hal ini menggambarkan begitu berharganya waktu sehingga harus “dibeli,” atau dapat dikatakan bahwa waktu itu harus dibayar dengan melakukan hal-hal yang bermanfaat, bahkan lebih. Waktu harus dibayar/dibeli, karena memang hari-hari ini adalah jahat. F.F Bruce mengatakan “the statement that the days are evil may imply that, whatever difficulties lie in the way of Christian witness now, they will increase as time goes on.”[22] Di pihak lain, ini dilihat sebagi kontinuitas apokaliptik PL dan Yahudi, di mana Rasul Paulus membedakan dua zaman, “zaman sekarang” dan “zaman yang akan datang,” yang adalah waktu keselamatan.”[23] Dengan perkataan lain, pembelian waktu yang dimaksudkan Raul Paulus adalah dengan melihat waktu sebagai proses/waktu untuk memperoleh keselamatan.

Berdasarkan hal tersebut Rasul Paulus menasihatkan lebih tegas lagi agar mereka jangan menjadi bodoh, tetapi berusaha mengerti kehendak Tuhan. Kehendak Tuhan yang dimaksudkan adalah merujuk kepada usaha untuk mengerti/memperoleh waktu keselamatan itu sendiri. Kata “mengerti” dalam bahasa yunani adalah συνίετε (pres. act. imp. dari kata συνίημι yang berarti to understand). Dengan demikian, Rasul Paulus memerintahkan mereka untuk terus-menerus berusaha mengerti kehendak Tuhan. Abineno mengatakan Rasul Paulus hendak mengatakan kepada anggota-anggota jemaat, bahwa mereka harus terus-menerus (dari saat ke saat atau dari waktu ke waktu) berusaha untuk mengerti kehendak Allah.

3.2 Hidup dipenuhi Roh (ay. 18-20)

Pada bagian akhir ini Rasul Paulus menyimpulkan bahwa anak-anak terang harus hidup oleh Roh. Rasul Paulus menasihatkan mereka untuk tidak mabuk oleh anggur, karena pada dasarnya anggur menimbulkan hawa nafsu. Kata “mabuk” dalam bahasa yunani adalah μεθύσκεσθε (pres. mid. imp. dari kata μεθύσκομαι yang berarti to get drunk, to be drunk). Dengan demikian, ini merupakan perintah secara kontinuitas agar setiap anak-anak terang tidak dimabukkan oleh anggur, melainkan harus dipenuhi oleh Roh. Abineno mengatakan penuh dengan Roh yang dimaksudkan adalah “penuh dalam Roh” karena Roh adalah kuasa, sehingga mereka diisi dengan Roh atau dikuasai Roh itu sendiri.[24]

Setelah kehidupan anak-anak terang itu dikuasi oleh Roh, maka Rasul Paulus memerintahkan mereka untuk berkata-kata dalam mazmur, kidung pujian dan nyanyian rohani dengan ucapan syukur atas segala sesuatu dalam nama Tuhan Yesus Kristus. Dengan perkataan lain, ini menggambarkan sebuah persekutuan diantara anak-anak terang yang dipenuhi oleh Roh itu sendiri. Istilah yang digunakan Rasul Paulus dalam perintah tersebut dalam bahasa yunani adalah λαλουντες, ψάλλοντες, ευχαριστουντες yang keseluruhannya adalah dalam bentuk (pres. act. part).

Dengan demikian, ini menunjukkan bahwa anak-anak terang yang hidupnya dikuasai oleh Roh harus terus-menerus berada dalam persekutuan kepada Tuhan yang dilakukan dengan segenap hati. John Stott mengatakan bahwa imbauan ini ditujukan kepada Tuhan, bukan untuk sesama manusia, di mana  ungkapan “dengan segenap hati” merujuk kepada ketulusan. Dengan perkataan lain, bukan persoalan persekutuan lahiriah terhadap sesama, tetapi persekutuan pribadi (batin) kepada Tuhan.

Hal inilah yang menjadi tujuan akhir dari seluruh kehidupan anak-anak terang yang dikuasai oleh Roh, di mana mereka selalu berada dalam persekutuan kepada Tuhan dengan ucapan syukur atas segala sesuatu dalam nama Tuhan Yesus Kristus kepada Allah Bapa. Kata “segala sesuatu” dalam bahasa yunani adalah πάντοτε, di mana ini berarti always (selalu dalam suasana bersyukur), ucapan syukur tersebut adalah dalam nama Tuhan Yesus Kristus kepada Allah Bapa.

 

BAB III

KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa Rasul Paulus memaparkan beberapa hal akan karakteristik yang harus dimiliki anak-anak terang untuk dapat hidup dalam terang. karakteristik anak-anak terang yang dimaksudkan adalah hidup sebagai penurut-penurut Allah yang tercermin melalui hidup di dalam kasih dan hidup dalam kekududusan. Anak-anak terang juga harus menghasilkan buah terang dan menelanjangi perbuatan-perbuatan kegelapan. Dengan demikian, anak-anak terang juga harua hidup arif-bijaksana dan dipenuhi atau dikuasai oleh Roh.


DAFTAR PUSTAKA

Tenney, Merrill C.

2009. Survei Perjanjian Baru. Malang: Gandum Mas.

Abineno, J. L. Ch.

2009. Surat Efesus. Jakarta: Gunung Mulia.

Stott, John.

1989. The Message of Ephesians. England: IVP.

Barclay, William.

2011. Surat-surat Galatia dan Efesus. Jakarta: Gunung Mulia.

O’brien, Peter T.

2013. Surat Efesus. Surabaya: Momentum.

Bruce, F. F.

1984. The Epistle to the Collosians, to the Philemon, and to the Ephesians. Michigan: Wm. B.  Eerdmans.

 

 



[1]Merrill C. Tenney, Survei Perjanjian Baru (Malang: Gandum Mas, 2009), 393-394

[2]J. L. Ch. Abineno, Surat Efesus (Jakarta: Gunung Mulia, 2009), 170

[3]Ibid

[4]John Stott, The Message of Ephesians (England: IVP, 1989), 191

[5]Op.cit, Abineno, hlm 171

[6]William Barclay, Surat-surat Galatia dan Efesus (Jakarta: Gunung Mulia, 2011), 241

[7]Ibid, hlm 244

[8]Peter T. O’brien, Surat Efesus (Surabaya: Momentum, 2013), 439

[9]Ibid

[10]Op. cit, Abineno, hlm 173

[11]Op. cit, Abineno, hlm 175

[12]Op. cit, John Stott, hlm 191

[13]Op. cit, Peter T. O’brien, hlm 447

[14]Op. cit, John Stott, hlm. 199

[15]Op. cit, Abineno, hlm 182

[16]Op. cit, John Stott, hlm 200

[17]Op. cit, Peter, hlm. 452

[18]Op. cit, William Barclay, hlm. 248

[19]F. F. Bruce, The Epistle to the Collosians, to the Philemon, and to the Ephesians (Michigan: Wm. B.  Eerdmans, 1984), 376

[20]Op. cit, Abineno, hlm. 188

[21]Op. cit, John Stott, hlm. 195

[22]Op. cit, F.F Bruce, hlm 379

[23]Op. cit, Peter T. O’brien, hlm 468

[24]Op. cit, Abineno, hlm. 195

Posting Komentar untuk " HIDUP DALAM TERANG"