SIGNIFIKANSI KETELADANAN SPIRITUALITAS NABI NUH DAN IMPLIKASINYA KEPADA ORANG KRISTEN MASA KINI
Natama Halawa
I. PENDAHULUAN
Dalam
memahami atau mengkaji spiritualitas sikap nabi Nuh, terlebih dahulu mengetahui
kondisi atau keadaan pada zaman itu lalu bagaimana jika situasi pada saat itu
terjadi pada zaman sekarang. Alkitab
memberikan informasi yang jelas tentang
kondisi masyarakat di mana Nuh hidup bersama keluarganya. Apabila membaca dari Kejadian
5-6:1-8, memberikan gambaran betapa
bumi sudah rusak akibat perbuatan manusia
yang lebih cenderung untuk melakukan dosa. Namun satu hal yang mencengangkan
bahwa di tengah-tengah kondisi dunia yang rusak benar akibat dosa manusia, hiduplah
seorang pahlawan iman (Ibr.11:7) yang bernama Nuh. Kejadian 6:9 memberikan informasi bahwa Nuh adalah seorang
yang benar dan tidak bercela diantara orang-orang
sezamannya, bahkan dikatakan hidup
bergaul dengan Tuhan’.
Menurut Bakker,
“antara Kejadian 6:4 dan 5mungkin sekali terdapat
suatu masa yang panjang, manusia tidak (mau) bertobat kepada Tuhan; mereka berkeras hati
dan makin lama makin banyak berbuat dosa.
Tuhan melihat, bahwa manusia itu makin banyak berbuat dosa”.[1]
Pendapat Bakker
diatas memiliki kemiripan dengan pendapat Andrew E.Hill dan John H. Walton bahwa,
“peristiwa Kain membunuh Habel, saudaranya menunjukkan bahwa tatanan yang baru telah
makin berurat dan berakar. Bahkan pada zaman Nuh, kekerasan, sudah menjadi suatu
cara hidup”.[2]
Besar kemungkinan bahwa Nuh hidup pada zaman
ini. Pendapat ini didukung oleh Pdt.Abraham Park, dengan mengatakan,“Nuh bertemu
dengan semu bapa leluhur, kecuali Adam, Set dan Enos; bahkan setelah air bah, Nuh
masih hidup sampai pada zaman Abraham”.[3]
Alkitab pun dengan gamblang memberikan
informasi bahwa alasan Tuhan memberikan hukuman kepada manusia adalah kejahatan
keturunan Kain yang juga berhasil mempengaruhi
keturunan Set untuk berbuat dosa. Sehingga sangat tidak mungkin ketaatan
(spiritual) Nuh kepada Tuhan terbentuk dalam masyarakat tempat hidupnya. Dimana Nuh adalah seorang yang benar diantara orang sezamannya
adalah penilaian Allah (penilaian tertinggi), serta mengungkapkan penekanan
bahwa hanya Nuh dan keluarganya orang yang berbeda dengan orang sezamannya.[4]
Dalam penelitian ini
penulis sangat tertarik memilih sosok Nuh menjadi bahan kajian dalam tulisan
ini karena Nuh memiliki nilai-nilai spiritualitas yang masih relevan dan sangat
dibutuhkan hingga saat ini. Nuh adalah salah satu orang terpenting dalam Alkitab.
Alkitab mengungkapkan dia sebagai orang benar, tidak bercacat di antara
orang-orang di masanya meskipun dunia sekitarnya dikuasai oleh kejahatan,
kekerasan, dan perilaku yang menyimpang, Nuh tidak tercemar dengan lingkungan
sekitarnya. Dalam Kejadian 6:5-7 dijelaskan tentang respon Tuhan ketika melihat
perbuatan manusia yang selalu berbuat jahat dan bertentangan dengan isi
hati-Nya, sehingga menimbulkan penyesalan bagi Tuhan, maka Tuhan memutuskan
untuk menghapus segala sesuatu yang ada di muka bumi. Di tengah kemerosotan
moral dan keputusan Tuhan untuk memusnahkan semua makhluk hidup, pada ayat 8
dijelaskan bahwa Nuh menerima anugerah dari Tuhan, karena Nuh hidup saleh,
tidak bercacat di antara orang-orang sezamannya, dan Nuh hidup bergaul dengan
Tuhan.
Keteladanan figur Nuh
dapat dilihat dalam dua aspek: pertama,
hidup saleh di mata Allah meskipun ia berada di tengah-tengah dunia yang jahat;
kedua, menjalankan perintah Tuhan
untuk membangun bahtera di tengah ejekan orang lain. Pada kondisi ini Nuh membuktikan
bahwa dia benar-benar sepenuhnya percaya kepada Tuhan bahwa kenapa dia di
perintahkan membangun sebuah bahtera. Tindakan Nuh disini bahwa dia tidak
meragukan Tuhan, seperti orang-orang yang kaget dan merasa terheran-heran
bahkan bisa dikatakan dengan logika
bahwa sedang gila atau aneh karena membangun bahtera di pedaratan bukan di
daerah tepi laut atau pelabuhan. Jadi spiritualitas itulah yang membuat penulis
tertarik membahas ini. Apabila di zaman sekarang ada perintah semacam itu tentu
dia berpikir dan bertanya seribu kali baru mengerjakan karena itu tidak masuk
akal (membangun bahtera di daerah daratan) dan itu perintah yang di luar nalar
manusia. Tetapi Nuh pada waktu itu tidak meragukan hal tersebut.
Tujuan penulis membahas
judul ini karena ingin berkontribusi pemikiran untuk mengingatkan bahwa nilai
Spiritualitas itu seyogianya di punyai setiap orang kristen seperti teladan
yang di berikan oleh Nuh. Dimana tidak cela, ada perintah dari Tuhan langsung
bertindak tanpa banyak tanya, dan percaya sepenuhnya kepada Allah.
II. METODE
PENELITIAN
Penelitian ini
menggunakan metode penelitian kualitatif dengan menggali sumber-sumber Pustaka
melalui Alkitab, buku-buku, jurnal artikel-artikel dan daftar Pustaka. Dengan
tujuan memahami signifikansi teladan spiritualitas nabi Nuh dan mengharapkan
agar orang kristen masa kini dapat mengamplikasikan teladan spiritualitas Nabi
Nuh ini dalam kehidupannya sehari-hari
serta semakin mempererat hubunganya dengan Allah dan dalam hidup
bermasyarakat sosial.
III. PEMBAHASAN
A. Keadaan dan Kondisi Pada Zaman Nuh
Kondisi
merosotnya nilai-nilai spiritualitas dan moralitas manusia pada zaman Nuh dapat
ditemukan dalam teks Kejadian .6:1-7. Tuhan melihat ke bumi, betapa rusaknya
moralitas manusia, bahkan semua manusia telah merusak jalan mereka sendiri di
bumi. Orang-orang jahat di dunia berdosa secara terbuka tanpa rasa malu, dengan
berani tanpa rasa takut akan Tuhan. Pada zaman Nuh manusia telah jatuh dalam
dosa. Allah telah menilik bumi dan sungguh rusak karena mereka melakukan apa
yang mereka kehendaki (Kej 6: 12). Dosa adalah kata Ibrani khattat, yang
berarti meleset dari sasaran atau keluar dari jalan. Bukan hanya kejahatan yang
kita lakukan, tetapi dosa-dosa yang menahan kita adalah penyimpangan sadar dan
pribadi dari norma-norma yang pada akhirnya ditujukan kepada Tuhan.
Dosa adalah penyakit moral yang luar biasa yang mempengaruhi umat manusia. Dosa adalah perbuatan, perkataan, pikiran, atau imajinasi yang tidak menuruti pikiran dan hukum Allah.[5] Dosa ialah kejahatan dalam segala bentuknya. Dosa adalah ketidakberimanan, dosa adalah keraguan terhadap kehendak baik dan kebenaran Allah.[6] Tuhan berkata bahwa kehidupan semua makhluk hidup harus diakhiri karena kehidupan di bumi dirusak oleh dosa (Kej 6:13). Kejahatan dan kemerosotan moral di bumi membuktikan bahwa tidak ada yang mengalahkan perilaku manusia terhadap diri sendiri dan orang lain.[7]
B. Peperangan Rohani Nuh Di Tengah Bumi Yang Rusak
Seperti yang dikemukakan oleh Dick Mak dengan mengutif
pendapat House, Bahwa Nuh menjadi ‘katalisator’ bagi kasih karunia dan
penghukuman Tuhan. Nuh harus membuat sebuah bahtera dan dengan demikian dia
serta keluarganya dan binatang-binatang akan diselamatkan (Kej.6:14-22).
Melalui proses ini rencana Allah untuk menghukum dosa dan menyelamatkan
minoritas atau sisa yang benar direalisasikan. Nuh menjadi sarana Allah yang
penuh anugerah untuk menyelamatkan umat manusia dan sekaligus simbol yang
kelihatan dari cara Allah untuk membedakan antara orang-orang yang taat dan
orang-orang yang tidak taat”.[8] Nuh mampu bertahan dalam
kondisi dunia yang jahat, oleh karena Tuhan selalu memproteksinya dengan cara
Tuhan menjadikannya instrumen di tangan Tuhan. Sekali lagi hal ini
menunjukkan kuasa kasih karunia yang sangat besar efeknya terhadap kualitas
spiritualitas Nuh.
Jadi, peperangan rohani Nuh dapat dibagi dalam dua aspek, yakni: Pertama, peperangan dalam mempertahankan hidup yang benar, di tengah-tengah dunia yang jahat; Kedua, peperangan dalam menjalankan perintah Allah untuk membuat bahtera karena sepertinya hal itu tidak logis dan menjadi tertawaan orang lain. Namun kemampuan Nuh dalam melewatinya memperlihatkan ke-sejatian dari spiritualitas Nuh. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas spiritual Nuh dapat mengalahkalogika dan pengalaman manusia. Ini menjadi sangat urgen bagi orang Kristen pada zaman modern ini di mana hidup di tengah-tengah masyarakat providensia Tuhan kepada Nuh.
C. Nuh Mampu Membangun Relasi Dengan Allah Dan Relasi Kepada Sesamanya
Pertama, relasi
dengan Allah. Justru relasi inilah yang sangat menentukan kualitas spiritual
Nuh. Meskipun harus disadari bahwa kemampuan Nuh untuk berelasi dengan Tuhan
semata-mata karena anugerah saja. Jangan pernah berpikir bahwa itu karena
memang keinginan yang tiba-tiba muncul dari dalam hatinya. Ingat! Nuh juga
adalah keturunan Adam yang berdosa, yang secara natur sudah mengalami kerusakan
akibat dosa. Sehingga pastilah Nuh juga memiliki kecenderungan untuk bergaul
dengan dosa. Berangkat dari pemahaman ini, maka satu hal yang pasti bahwa kasih
karunia-lah yang akhirnya ‘memaksa’ Nuh untuk hidup berbeda dengan manusia
sezamannya. Kasih karunia pula yang ‘memaksa’ Nuh untuk membangun relasi dengan
Tuhan. Sebuah pilihan yang menjadi tertawaan manusia pada zaman itu. Seperti
yang dikatakan dalam (Kejadian 6:9), Nuh itu hidup bergaul dengan Allah”.
Beberapa penafsir melihat ayat ini dari perspektif Nuh
dengan berkata, “frasa ini menunjukkan tentang Nuh yang tetap setia kepada
Tuhan”.[9] Hal ini tidak salah, namun
sifatnya parsial. Oleh karena mereka lupa bahwa ‘kemampuan Nuh untuk
hidup bergaul dengan Tuhan bukan datang dari dirinya sendiri, melainkan berasal
dari Tuhan’. Dalam pengertian, Tuhan-lah yang memampukan Nuh untuk hidup
bergaul dengan-Nya. Inilah yang di maksud dengan kasih karunia. Nuh
berlaku benar terhadap manusia dan Tuhan .
Kedua, Relasi dengan Sesamanya. Sesuatu yang sulit bagi Nuh untuk dapat membangun relasi yang baik dengan masyarakat di sekitarnya. Bahkan dengan saudara-saudaranya-pun dia tidak dapat bergaul karib. Oleh karena ‘gaya hidup’ mereka sangatlah berbeda. Nuh adalah orang yang tidak suka melakukan kejahatan atau pun kekerasan. Sedangkan orang lain waktu itu lebih suka untuk melakukannya. Sehingga nyaris Nuh tidak dapat hidup akrab dengan mereka. Dapat dibayangkan bahwa Nuh akan terus mendapat hinaan, ejekan, bahkan tertawaan orang lain waktu itu. Secara khusus ketika Nuh mendapat perintah dari Tuhan untuk membuat bahtera. Kemungkinan besar Nuh hanya menjalin relasi yang baik dengan keluarganya saja, yakni: istrinya, Sem, Ham dan Yafet, dan ketiga istri anak-anaknya. Relasi ini sangatlah bermanfaat oleh karena berdampak kepada luputnya (selamatnya) kedelapan orang di atas dari hukuman Tuhan. Menunjukkan bahwa orang benar tidak mungkin disamakan dengan orang jahat. Dasar atau pondasi dari relasi yang Nuh bangun bersama dengan istri dan anak-anaknya adalah relasinya dengan Tuhan. Jadi, dapat dikatakan: ‘relasi dibangun di atas relasi’.
D. Teladan Spiritualitas Nuh Yang Dapat Diteladani
Dalam
kekristenan, teladan dinyatakan dalam sikap perilaku yang senantiasa taat pada
firman Tuhan, beriman, suka bersekutu dengan Allah dan mengasihi Allah secara
totalitas bahkan juga mengasihi orang lain.[10]
Seorang yang bernama Leda menyampaikan pendapat mengenai spiritualitas yang
merupakan upaya untuk mengintegrasikan semua aspek kehidupan ke dalam cara
hidup yang secara sadar bersandar pada iman kepada Yesus Kristus atau sebagai
pengalaman iman Kristen dalam situasi konkret setiap orang. Dengan demikian,
spiritualitas dapat disebut mengikuti jejak Kristus atau mengikuti panggilan,
yang didasarkan pada praktik baptisan dengan bertobat dan percaya.[11]
Demikian juga halnya dengan pendapat Buulolo, spiritualitas merupakan keadaan
atau pun keyakinan spiritual seseorang yang dapat dilihat, dirasakan dan ditiru
oleh orang-orang di sekitarnya, dalam hal kedisiplinan rohani yang pengaruhnya
sangat besar bagi para pengikutnya.[12]
Dalam tulisan ini Spiritualitas Nuh dapat dilihat beberapa hal penting yang
menyangkut kehidupan Nuh di dalam kitab Kejadian 6:9.
Pertama,
Teladan spiritualitas Nuh sebagai pribadi yang benar di mata Tuhan (Kejadian
6:9a). Istilah benar yang
dimaksudkan dalam hal ini adalah dalam konteks hubungan moralnya dengan Tuhan.
Brian menyebut Nuh adalah sosok yang berani melawan logika alamiah saat
menerima perintah dari Tuhan untuk membangun bahtera. Nuh memilih taat
sepenuhnya ketika mendapat peringatan dari Tuhan. Dengan iman Nuh diselamatkan
dari bahaya penghukuman.[13]
Dari Teladan Iman yang penuh percaya kepada Allah yang mengindahkan perintah
Allah tanpa banyak bertanya. Kondisi merosotnya nilai-nilai spiritualitas dan
moralitas manusia pada zaman Nuh dapat ditemukan dalam teks Kejadian .6:1-7.
Tuhan melihat ke bumi, betapa rusaknya moralitas manusia, bahkan semua manusia
telah merusak jalan mereka sendiri di bumi. Orang-orang jahat di dunia berdosa
secara terbuka tanpa rasa malu, dengan berani tanpa rasa takut akan Tuhan.
Herlina memaparkan bahwa di tengah era seperti itu, kondisinya rusak karena
ulah manusia seperti di atas, ada kisah Nuh yang mempertahankan hidup dengan
kualitas spiritual yang tinggi berbeda dengan orangorang pada zamannya
(Kejadian .6:9), sehingga ia menerima kasih karunia dari Tuhan. Tuhan selalu
mengungkapkan niat baik-Nya bagi ciptaan-Nya.[14]
Nuh
adalah contoh seorang figur yang bisa menjadi teladan yang baik karena dia
hidup dengan benar di mata Tuhan. Nuh menjadi seorang pemimpin yang merupakan
penyelamat bagi keluarga dan teladan bagi anak-anaknya. Nuh adalah contoh
seorang figur yang berhasil hidup dari peristiwa banjir dimana Tuhan murka
dengan Kejahatan manusia.[15]
Hal ini diperkuat dengan pandangan Mangunwijaya bahwa Nuh adalah simbol dari
sosok semua manusia yang baik hati, yang tidak mengikuti arus kebanyakan orang.[16]
Bagi penulis sosok Nuh tidak saja berfungsi sebagai simbol manusia yang baik
tetapi juga sebagai simbol pemimipin yang memimpin dengan kebenaran spiritual
yang masih dapat bermanfaat bagi umat manusia hingga saat ini.
Kedua,
Teladan Spiritualitas Nuh sebagai seorang yang tidak bercela di antara
orang-orang sezamannya (ayat 9b). William Menerjemahan untuk ayat tersebut
menjadi Nuh adalah orang yang sangat baik dan hanya dia satu-satunya orang yang
menaati Allah pada zamannya, atau Nuh adalah orang yang tulus dan hanya dia
satusatunya orang yang setia kepada Allah pada zamannya.[17]
Penulis sangat sependapat dengan istilah hanya dia satusatunya orang yang
menaati Allah pada zamannya. Ini menunjukkan bahwa meskipun orang-orang
memiliki Tuhan yang sama namun hanya Nuh mengambil sikap yang berbeda dalam hal
ketaatan.
Dalam
Alkitab versi KJV istilah tidak bercelah diterjemahkan dalam kata perfect yang berarti sempurna. Sedangkan
dalam teks Ibrani berasal dari istilah ~ymiT' (tamiym) yang berarti lengkap atau utuh seluruhnya dan sesuai dengan
kebenaran dan fakta. Walter Lemmp berpendapat Penggunaan istilah tamiym menitikberatkan pada tingkah-laku
(etika) dan menggambarkan sikap dan kedudukan Nuh terhadap Allah, ia terpaut
dengan puji syukur kepada Allah. Hatinya tidak bercabang. Ia tidak dan tidak
mengabdi kepada dua tuan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Nuh tidak
memiliki celah kesalahan di generasinya. Konsep kesempurnaan juga dicatat dalam
catatan kitab Matius 5:48 yang memerintahkan orang percaya untuk menjadi
sempurna. Kata sempurna yang digunakan dalam teks ini adalah Teleios yang mirip dengan tamiym.
Ketiga, Nuh
adalah sosok figur teladan dalam komitmennya kepada Tuhan. Kehidupan spiritual
Nuh yang takut akan Tuhan, hidup tidak bercela dan bergaul dengan Tuhan
memiliki dampak yang positif dalam kehidupan Nuh. Adapun yang menjadi dampak
dari kehidupan spiritual Nuh dapat diketahui secara menyeluruh berdasarkan
kitab Kejadian Pasal 6:1-9, yaitu tidak akan mengalami kemerosotan moral,
tetapi dapat menjadi teladan bagi orang sezamannya, dan juga dapat
diaplikasikan dalam kehidupan pada masa kini untuk menghadapi pengaruh
moralitas yang buruk.
Keempat,
Figur Nuh dengan ketaatan totalitasnya untuk melakukan semua yang Tuhan
perintahkan. Masa hidup Nuh yang panjangnya dihabiskan untuk menjadi seorang
figur yang takut akan Tuhan. Dia melayani Tuhan sejak awal babak baru dalam
hidupnya. Dari kehidupan spiritual Nuh, dapat terlihat bahwa iman selalu
memiliki hubungan yang kuat dengan ketaatan. Nuh tidak peduli apa yang akan dia
peroleh sebagai upah ketaatannya. Nuh hanya taat kepada perintah Tuhan dan
menyerahkan apapun yang akan terjadi selanjutnya kepada kebijaksanaan Tuhan.
Nuh menampilkan dirinya sebagai sosok yang berkenan kepada Tuhan. Sebagai
pemimpin Kristen, tentunya dapat memprioritaskan terlebih dahulu panggilan
Allah kemudian Tuhan menyediakan semua yang berkenaan dengan panggilan itu,
Inilah pertimbangan dan integritas Nuh yang menjadikan dirinya sebagai figur
teladan bagi pemimpin Kristen masa kini.
IV. Kesimpulan
Dari Kajian mengenai
Keteladan Spiritualitas Nuh, penulis menarik dua kesimpulan yaitu pertama,
sikap Nuh yang beriman dan taat sepenuhnya kepada Allah meskipun dia hidup di
lingkundan orang-orang yang jahat bahkan bisa dikatakan bahwa lingkungan yang
moralnya merosot tapi Nuh tetap bisa mempertahankan diri sebagai orang yang
cuci dan tidak bercela. Bahkan ketika Allah memberi dia perintah untuk
membangun sebuah bahtera, dia melakukan dan langsung bertindak tanpa banyak
bertanya. Kedua, implikasinya kepada orang kristen pada saat, seyogianya
meneladani nilai-nilai spiritual yang di berikan oleh Nuh agar bisa memelihara
iman di tengah-tengah dunia yang makin modern dan digital. Sehingga dengan
teladan ini tidak bercela di hadapan Allah.
[1] “Dr. F. L. Bakker, Sejarah
Kerajaan Allah 1 (Perjanjian Lama), (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), Hlm.
57,”.
[2] “Andrew E. Hill, Dan John H.
Walton, Survei Perjanjian Lama, (Malang: Gandum Mas, 2008), Hlm. 150.,”
[3] “ Pdt. Abraham Park, Silsilah Di
Kitab Kejadian, (Jakarta: Grasindo, 2007), Hlm. 144,”
[4] “William D. Reyburn Dan Euan McG.
Fry, PEDOMAN PENAFSIRAN ALKITAB KITAB KEJADIAN (Jakarta: Yayasan Karunia Bakti
Budaya Indonesia, 2020), 169.,”
[5] “Yetris Elbaar and Peniel
Maiaweng, ‘Tinjauan Teologis: Allah Menyesal Berdasarkan Perspektif Kitab
Kejadian Pasal 6:6-7,’ Jurnal Jaffray 11, No. 2 (October 2, 2013): 114–139,
Accessed June 27, 2022, Https://Ojs.Sttjaffray.Ac.Id/JJV71/Article/View/78,”
[6] “Janes Sinaga et Al., ‘Pertobatan
Yakub: Si Penipu Menjadi Israel,’ Journal of Social Interactions and Humanities
1, No. 1 (May 29, 2022): 15–26, Accessed June 27, 2022, Https://Journal.Formosapublisher.Org/Index.Php
/Jsih/Article/View/450.,”
[7] “Yetris Elbaar and Peniel
Maiaweng, ‘Tinjauan Teologis: Allah Menyesal Berdasarkan Perspektif Kitab
Kejadian Pasal 6:6-7,’ Jurnal Jaffray 11, No. 2 (October 2, 2013): 114–139,
Accessed June 27, 2022, Https://Ojs.Sttjaffray.Ac.Id/JJV71/Article/View/78.”B.
[8] “Dick Mak, Sejarah Penyataan
Allah Perjanjian Lama, Jakarta: SETIA , Hlm. 39,”
[9] “Penafsir-Penafsir Itu Seperti:
Pauline A. Viviano Dan Juga Tim Penyusun Dari Buku Tafsiran Alkitab Masa Kini 1.
[10] “Tobing, N. A. L., &
Siringo-Ringo, E. (2019). Penerapan Keteladanan Hidup Menurut 1 Timotius 4:12
Bagi Remaja Gereja Kristen Maranatha Indonesia Jemaat Isa Almasih Medan Tahun
2018. PROVIDENSI : Jurnal Pendidikan Dan Teologi, 2(1), 1–19.,”.
[11] “Kanak, K., Bagi, Y., Suster, P.,
& Kekal, B. (2020). Telaah Spiritual Jalan Kecil St. Theresia Dari. 1(1),
71–76.,”
[12] “Buulolo, F., Telaumbanua, G.,
Fitriani, R., & Setiawan, D. E. (2021). Spiritualitas Gembala Sidang Dan
Implikasinya Bagi Keteladanan Pembinaan Warga Gereja. CARAKA: Jurnal Teologi
Biblika Dan Praktika, 2(2), 161–174. Https://Doi.Org/10.46348/Car.V2i2.59,”
[13] “Brian J. Bailey. (2020). Pilar-Pilar Iman (P. Dan B. Caram (Ed.),”
[14] Herlina Ratu Kenya, “Injil
Menurut Kejadian 7 : 9-17 Dan Implikasinya Bagi Tanggung Jawab Manusia Terhadap
Ciptaan Lain Herlina Ratu Kenya A . Latar Belakang Masalah Pada Umumnya , Saat
Orang Kristen Mendengar Kata Injil , Yang Terbersit Dalam Benak Kita Adalah
Hal-Hal Yang B” 2, no. 2 (2016): 9–17.
[15] “Jarot Wijanarko, Y. S. (2009).
Menjadi Seorang Di Era Milenial. Keluarga Indonesia Bahagia.,”
[16] “Y.B. Mangunwijaya, P. (2020).
Gereja Diaspora (Pp. 1–230). Kanisius.,”.
[17] Fry,
W. D. R. dan E. M. (2020). Pedoman
Penafsiran Alkitab Kitab Kejadian. Pdf (A.R.T.M.K.Sembiring,Bryan D.Hinton
(ed. ); Cetakan Pe). Lembaga Alkitab Indonesia.
Posting Komentar untuk " SIGNIFIKANSI KETELADANAN SPIRITUALITAS NABI NUH DAN IMPLIKASINYA KEPADA ORANG KRISTEN MASA KINI"
Berkomentar yg membangun dan memberkati.