Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Puasa Ibarat Ajaran Baru dan Ajaran Tradisional

Puasa Ibarat Ajaran Baru dan Ajaran Tradisional
 

Kisah tentang puasa dalam Matius 9:14-17 menggambarkan situasi ketika orang Farisi dan murid-murid Yohanes yang berpuasa bertanya kepada Yesus mengapa murid-murid-Nya tidak berpuasa. Yesus menjawab dengan perumpamaan tentang kain anyaman baru yang tidak bisa dijahit ke baju kuno, atau minuman anggur baru yang tidak bisa dituangkan ke botol kuno.

Pada waktu itu, berpuasa dianggap sebagai suatu bentuk ibadah yang penting dan dianggap sebagai tanda kesalehan dan kesucian seseorang. Orang Farisi dan murid-murid Yohanes mempraktikkan berpuasa secara teratur sebagai bagian dari kehidupan spiritual mereka. Namun, Yesus tidak mewajibkan murid-
murid-Nya untuk berpuasa seperti yang dilakukan oleh orang Farisi atau murid-murid Yohanes.

Perumpamaan kain anyaman baru dan minuman anggur baru yang tidak bisa dituangkan ke botol kuno menggambarkan perbedaan antara ajaran Yesus dan ajaran tradisional orang Farisi dan murid-murid Yohanes. Yesus mengajarkan tentang kerajaan Allah yang baru dan menyatakan bahwa ajaran-ajaran-Nya tidak dapat dipadukan dengan ajaran-ajaran lama atau tradisional. Ia datang untuk membawa sesuatu yang baru dan lebih baik, dan ajaran-Nya tidak dapat diikat oleh tradisi atau ritual.

Maka, makna dari puasa dalam kisah ini tidak berarti bahwa Yesus menolak praktek puasa itu sendiri. Namun, Yesus mengajarkan bahwa puasa tidak dapat dijadikan sebagai tanda kesalehan atau kebenaran dalam hidup seseorang. Ia lebih menekankan pentingnya hati yang tulus dan kerendahan hati dalam menghadapi Tuhan dan bukan hanya memenuhi kewajiban ritual semata.

Dalam hal ini, Yesus ingin menunjukkan bahwa praktek agama yang seharusnya membawa orang lebih dekat kepada Tuhan, bisa menjadi beban bagi mereka jika dijadikan sebagai tujuan utama tanpa memahami maksud yang sebenarnya. Yesus lebih mengutamakan kesetiaan dan hati yang terbuka untuk menerima ajaran-Nya yang baru dan lebih baik, daripada mematuhi tradisi dan praktek agama semata.

Dalam konteks yang lebih luas, kisah ini juga menunjukkan bahwa Yesus datang untuk membawa perubahan yang radikal dalam cara beribadah dan memandang agama. Ia mengajarkan bahwa kesalehan dan kebenaran sejati tidak hanya bergantung pada pemenuhan kewajiban ritual atau tradisi, tetapi pada perubahan hati yang mendalam dan perilaku yang benar.

Puasa dalam konteks ini lebih merupakan ekspresi dari kerendahan hati dan perbuatan yang sesuai dengan kehendak Tuhan, bukan sekadar praktik ritual. Dalam Matius 6:16-18, Yesus mengajar tentang pentingnya berpuasa dengan cara yang benar, yaitu tidak memperlihatkan diri di depan orang banyak atau mengumumkan puasa yang dilakukan. Puasa yang benar adalah puasa yang dilakukan dengan hati yang tulus dan penuh pengorbanan kepada Tuhan.

Kisah ini mengajarkan kita bahwa perubahan hati yang mendalam dan tindakan yang sesuai dengan kehendak Tuhan lebih penting daripada pemenuhan kewajiban ritual atau tradisi. Puasa dan praktik agama lainnya harus dilakukan dengan hati yang tulus dan diiringi dengan tindakan yang benar, bukan sekadar dilakukan karena kewajiban atau untuk memperlihatkan kesalehan kita kepada orang lain.

Sebagai pengikut Yesus, kita harus memahami bahwa Tuhan tidak hanya melihat perbuatan kita, tetapi juga hati dan motivasi kita di balik perbuatan tersebut. Oleh karena itu, puasa dan praktik agama lainnya harus dilakukan dengan hati yang tulus dan diiringi dengan tindakan yang benar, sebagai ungkapan pengorbanan dan kerendahan hati kita kepada Tuhan.

Posting Komentar untuk "Puasa Ibarat Ajaran Baru dan Ajaran Tradisional"